Simone Inzaghi Bukan untuk Mereka yang Paranoid

Foto: @Inter_en.

Inzaghi didatangkan Inter Milan dengan ekspektasi menjulang: Mengawetkan legacy Antonio Conte sebagai tim juara bertahan.

Keputusan Tommy Iommi sudah bulat. Meski sulit, ia hanya dihadapkan dua pilihan: Memecat Ozzy Osbourne atau membubarkan bandnya. Alkohol dan obat-obatan terlanjur meracuni Black Sabbath pada ujung 1970-an. Seluruh personel mereka kecanduan berbagai substance.

Osbourne, berada dalam tingkat yang lebih gila. Ia terlalu teler untuk berkarya. Jangankan itu, untuk sekadar latihan saja enggan. Menjadi makin rumit karena label rekaman juga memberi tekanan. Sebagai salah satu pendiri, Iommi memutuskan untuk menyelamatkan apa yang ia bangun. Walaupun itu dengan mementahkan pendiri lainnya, Osbourne.

Sulit membayangkan Black Sabbath tanpa Osbourne. Ia adalah frontman. Ia ibarat cerobong yang melepaskan asap-asap gelap khas Black Sabbath. Osbourne adalah penyempurna riff-riff kelam Iommi, ketukan "aneh" Bill Ward, dan berbagai lirik bikinan Geezer Butler. Karena Osbourne, Black Sabbath selalu mendapatkan platinum di empat album awalnya.

Manajer Black Sabbath, Don Arden, masih berusaha merukunkan mereka dengan Osbourne. Namun, keputusan Iommi dkk. sudah bulat. Mereka telah menemukan penggantinya, bekas vokalis Rainbow, Ronnie James Dio. "Tidak hanya dari segi suara, tetapi juga dari segi sikap," kata Iommi saat membandingkan Osbourne dengan Dio.

Apakah itu berarti kegagalan? Tidak juga. Tiga album lahir bersama Dio. Salah satu di antaranya 'Heaven and Hell' diganjar platinum di Amerika Serikat. Dio, meski hanya vokalis pengganti, berandil besar dalam menyambung eksistensi Black Sabbath sebagai mbahnya heavy metal sampai detik ini.

***

Dengan setelan jas hitamnya, Simone Inzaghi diperkenalkan sebagai pelatih anyar Inter Milan. Ia menjawab berbagai pertanyaan dan tentu saja, soal tekanan yang begitu masif. Segalanya masuk akal karena status Nerazzurri sekarang adalah juara bertahan Serie A.

“Aku sangat senang dengan pengalaman baru ini sekaligus termotivasi. Aku tahu ini adalah tugas sulit, tetapi aku juga melihatnya sebagai tantangan besar," begitu Inzaghi menjawabnya.

Inzaghi datang ke Milan dengan ekspektasi tinggi. Ia diharapkan melanjutkan legacy Antonio Conte yang tak main-main: Mendatangkan scudetto setelah puasa 11 tahun lamanya. Ini jelas berbeda dengan beban kerja Inzaghi di Lazio. Awalnya ia hanya sekadar opsi kedua Claudio Lotito dan Igli Tare. Keduanya mengangkat Inzaghi setelah Marcelo Bielsa mundur dari kursi pelatih.

Tak muluk-muluk keinginan sang presiden serta direktur olahraga Lazio itu. Lagi pula gelar juara memang nyaris enggan mampir ke kabinet trofi mereka. Mentok Coppa Italia yang berhasil Lazio rengkuh. Itu pun pada musim 2012/13 silam. Jadi, sekadar finis di empat besar saja sudah bersyukur.

Namun, Inzaghi melebihi gelembung harapan itu. 'Elang Biru' ia bawa terbang tinggi sambil menggamit tiga trofi di kedua kakinya. Dua di antaranya titel Super Coppa Italia dan satu lainnya, Coppa Italia. Hanya Sven-Goeran Eriksson yang bisa melebihinya sebagai allenatore Lazio tersukses. 

Pada periode pemungkasnya, Inzaghi berhasil membuat Lazio berbicara banyak di Eropa. Ciro Immobile dkk. dituntunnya melewati fase grup Liga Champions untuk pertama kalinya dalam dua dekade terakhir.


"Kami sangat bangga memiliki Inzaghi karena artinya Inter akan terus berada di tangan yang tepat," ujar Giuseppe Marotta. Direktur Sepak Bola Inter itu juga melontarkan pujian bahwa Inzaghi merupakan pelatih muda Italia yang paling sukses.

Perkataan Marotta itu tak sepenuhnya salah. Umurnya masih 45 tahun atau termuda kelima di Serie A musim ini setelah Thiago Motta, Paolo Zanetti, Alessio Dionisi, dan Vincenzo Italiano. Soal prestasi sebagai pelatih, Inzaghi lebih mentereng dari mereka. Torehan tiga gelarnya juga boleh diadu dengan juru taktik senior macam Gian Piero Gasperini, Stefano Pioli, bahkan Maurizio Sarri.

Bagi beberapa klub, termasuk Inter, merekrut pelatih muda mendatangkan banyak keuntungan. Faktor ekonomis salah satunya. Sebagaimana dilaporkan Finance Football, Conte merupakan pelatih dengan bayaran termahal di Serie A musim lalu dengan angka 12 juta euro per tahun. Bandingkan dengan Inzaghi yang nantinya cuma menghabiskan ongkos sekitar 4,5 juta euro.

Belum lagi dengan attitude Inzaghi yang terkenal kalem. Ia tak begitu cerewet dalam mengkiritik kebijakan klub. Di luar lapangan, Inzaghi dicintai suporter karena minim kontroversi. Ia juga diketahui sebagai kawan baik dan panutan para pemain.

Personel Lazio, Joaquin Correa, pernah menuturkan betapa intensnya Inzaghi menjalin kontak dengan anak asuhnya semasa liga terhenti akibat pandemi. "Dia terus mengirimkan pesan untuk menenangkan kami. Walaupun kami berada berjauhan, kami selalu berusaha untuk mendekatkan diri," terang Correa kepada Sky Italia.

Inzaghi membawa treatment semacam ini pada awal-awal kedatangannya di Inter. Ia sudah melakukan bonding dengan para pemain. Romelu Lukaku salah satunya. Inzaghi menyempatkan diri mengobrol banyak hal, mulai dari performanya di Euro hingga tentang adiknya, Jordan Lukaku (yang pernah bermain di bawah arahan Inzaghi).

Foto: @Inter_en

Terkesan sepele. Namun, pendekatan pemain adalah komponen penting dalam kesuksesan pelatih nantinya. Inzaghi tak luput soal itu. Tidak heran kalau beberapa pemain kemudian mampu mencapai form terbaik di bawah arahannya.

Immobile bisa dijadikan sampel. Inzaghi menyulapnya dari striker yang terbuang menjadi penyerang paling disayang seantero Italia. Torehan 36 golnya mengukuhkan dirinya sebagai capocannoniere tersubur bersama Gino Rossetti dan Gonzalo Higuain. Belum ditambah dengan Francesco Acerbi, Luis Alberto, dan Sergej Milinkovic-Savic.

Di atas kertas, kerjaan Inzaghi di Inter seharusnya lebih mudah. Mereka punya seabrek pemain bintang. Seenggaknya lebih banyak daripada SDM Lazio. Mulai dari personel veteran macam Samir Handanovic, kemudian Lukaku yang berada dalam puncak performanya, serta bibit potensial macam Alessandro Bastoni.

Sementara dari sudut pandang Inter, pertimbangan paling utama dari perekrutan Inzaghi ini adalah kesamaannya dengan Conte. Keduanya mafhum menggunakan format dasar tiga bek. Tidak persis, tetapi ada benang merah di antara mereka. Conte dan Inzaghi adalah pakar soal menyeimbangkan area tengah. Dari sana mereka kemudian membentuk tim yang kuat dalam menyerang sekaligus kokoh saat bertahan.

Di Serie A 2019/20, Inter dan Lazio berurutan menjadi yang terbaik soal pertahanan. Inter kemasukan 36 kali sedangkan gawang Lazio bobol 32 gol. Pun dengan produktivitas. Cuma Atalanta yang mencetak lebih banyak gol dari mereka. Sebelas dua belas dengan Conte, Inzaghi mengandalkan sepasang penyerang dengan tipikal berbeda. Immobile dengan kekuatan fisik ditandemkan bersama Correa yang relatif lebih cair.

Bedanya, Inzaghi lebih menitikberatkan area sentral sebagai pusat produksi peluang. Khususnya, kepada Luis Alberto. Eks Liverpool itu diplot menjadi mezzala yang bergerak bebas di lini tengah dan mengeksploitasi channel antara full-back dan bek tengah. Maka masuk akal kalau kemudian ia mencatatkan rata-rata 2,4 umpan kunci per laga serta mencetak 9 gol--terbanyak kedua setelah Immobile.

Itulah kenapa Inter mendaratkan gelandang kreatif seperti Hakan Calhanoglu. Fungsinya, ya, untuk memuluskan metode Inzaghi itu. FYI, rata-rata key pass pemain asal Turki tersebut menjadi yang tertinggi di Serie A musim lalu.

Foto: @SpheraSports

Terkait kebutuhan gelandang box-to-box serta pelindung back four, Inzaghi akan mendapatkannya dari Nicolo Barella dan Marcelo Brozovic. Ini beririsan dengan bagaiamana ia menggunakan Milinkovic-Savic serta Lucas Leiva sewaktu di Lazio.

Sementara sektor wing-back kemungkinan tak akan lagi sama. Bukan karea faktor kepergian Achraf Hakimi saja, tetapi lantaran Inzaghi memang tak seagresif Conte dalam menggunakan peran wing-back. Ia relatif dinamis dalam memfungsikannya.

Dalam beberapa pertandingan, bek sayapnya justru bermain lebih ke tengah alih-alih melakukan overlap. Seperti yang diperlihatkan Senad Lulic di matchday terakhir versus Sassuolo. Ini bisa dibilang setipe dengan peran inverted full-back yang diemban Joao Cancelo di Manchester City.

Sementara sewaktu melawan AC Milan pada April lalu, Inzaghi menaruh Lulic dan Manuel Lazzari lebih dalam. Dengan begitu pertahanan mereka menjadi lebih kokoh dari ancaman Ante Rebic dan Theo Hernandez dari sisi tepi. Hasilnya tokcer, Rossoneri gagal mencetak satu gol pun ke gawang Lazio.

Well
, bukan hal yang tepat untuk menilai Inzaghi sebagai pelatih defensif. Ia adalah tipikal proaktif yang bisa menimbang berbagai keputusan sebelum bertindak dan tak melulu menganut satu pegangan. Menumpuk lima pemain di belakang adalah cara, bukan tujuan. Maka dari itu di waktu yang lain ia juga menunjukkan gaya main lebih intensif. Malah, bisa dibilang Simone sebenarnya bermain lebih intens dari Conte, terutama dalam hal pressing.

Menyitat data The Analyst, angka PPDA Lazio yang menyentuh 11,6. Bandingkan dengan Inter yang PPDA-nya mencapai 12,8. Soal progres bola, Lazio musim lalu lebih cepat ketimbang Inter. Pun soal possesion, Lazio lebih unggul. 

Betul bahwa counter attack menjadi senjata mematikan Inter di bawah rezim Conte. Total 9 gol mereka di Serie A lahir dari metode semacam itu. Lain cerita dengan Lazio-nya Inzaghi yang cuma mencetak 3 gol via serangan balik. Tapi bukan berarti Inzaghi tak cakap dalam bermain direct. Nyatanya, direct attack-nya Lazio musim lalu tertinggi kedua di Serie A.

Dio berbeda dengan Osbourne. Inzaghi juga bukan cetakan persis Conte. Ketidaksamaan itu tak lantas membuahkan kegagalan di belakang. Lagi pula, perkara sukses atau tidak, biarkan saja waktu yang menjawabnya dan bukan paranoid seperti kita.