Simone Inzaghi, the Pied Piper

Simone Inzaghi tidak diikuti oleh tikus-tikus pengerat dan destruksi yang beranak cucu. Kedatangannya diikuti dengan kemenangan dan harapan bagi para pelatih bahwa ruang bagi underdog menjadi top dog akan selalu ada di atas lapangan sepak bola.
Simone Inzaghi mirip tokoh peniup seruling dalam kisah Pied Piper of Hamelin. Namun, ia tidak diikuti oleh elegi yang beranak cucu. Kedatangannya diikuti dengan kemenangan dan harapan bagi para pelatih bahwa ruang bagi underdog menjadi top dog akan selalu ada di atas lapangan sepak bola.
Inter masih ada di puncak klasemen Serie A 2021/22 ketika pekan 18 tuntas. Tiga belas kemenangan, empat imbang, dan satu kekalahan adalah hasil yang dicatatkan oleh tim asuhan Inzaghi.
Ketika orang-orang sibuk memperbincangkan kebangkitan AC Milan bersama Stefano Pioli dan agresivitas Napoli, Inzaghi meniup serulingnya dalam diam dan mengajak kemenangan demi kemenangan untuk mengikutinya. Pertanyaannya, apa yang membuat Inzaghi mampu melakukan gebrakan seperti itu? Apa yang membuat Inzaghi sanggup memperlihatkan bahwa ia adalah suksesor yang pantas bagi Antonio Conte?
Asumsi tentang jurang perbedaan antara gaya melatih Conte dan Inzaghi membuat orang-orang meragukan nasib Inter. Namun, melihat permainan Inter bersama Inzaghi rasanya kita bisa mulai menyingkirkan keraguan itu. Bukan hanya bicara tentang nasib Inter, tetapi juga kemiripan taktik yang diterapkan Inzaghi dan Conte di Inter.
Fase Bertahan
Dalam fase bertahan, Inter akan beralih formasi menjadi 5-3-2. Dalam situasi ini, penyerang Nerazzurri mengambil posisi di tengah untuk memotong jalur umpan tengah dan memaksa bola ke arah sayap. Mengarahkan bola mendekati garis tepi lapangan dan setengah pertahanan akan memampukan gelandang tengah menekan bek tengah sisi (kanan atau kiri) atau fullback.
Yang membuat skema ini efektif, para penyerang yang berada di lini pertahanan dan pemain di lini tengah Inter juga diikuti oleh para pemain bertahan. Cara ini diharapkan dapat menggagalkan lawan menerima bola. Kalaupun menerima bola, sebisa mungkin tidak dapat dibelokkan ke arah gawang.
Untuk mengacaukan umpan silang dan mencegah bola bergulir ke kotak penalti, pemain bertahan akan melakukan pendekatan man to man marking. Dengan cara ini, mereka dapat mengontrol pergerakan lawan sehingga walaupun bola ada di kaki lawan, yang mengendalikan situasi saat itu adalah para pemain Inter.
Bicara tentang pertahanan Inter, mustahil mengesampingkan trio magnifico, De Vrij, Skriniar, dan Bastoni. Keberadaan nama pertama sangat penting bagi skema pertahanan Inter yang dirancang Inzaghi. Alasan pertama, ia telah melakoni musim-musim pertandingan bersama Inzaghi di Lazio. Dari situ dapat disimpulkan bahwa bek Belanda ini paham apa yang diinginkan oleh sang pelatih.
Alasan kedua berbicara seputar kemampuan taktiknya sebagai pemain bertahan. Kemampuan tersebut tidak menjadi De Vrij sebagai sosok one man show, tetapi mampu menjadi tandem sempurna bagi agresif seperti Skriniar.
Pakem tiga bek yang digunakan Inzaghi menuntut Skriniar untuk melakukan cover pada area yang lebih luas. Sebenarnya ini bukan hal baru. Masalahnya, jika tak punya tandem yang pas, lini pertahanan Inter bisa penuh dengan lubang.
Dalam skema tiga bek, alih-alih cuma berkutat di tengah dan berduel melawan penyerang, bek tengah seperti Skriniar juga punya tugas untuk berduel dengan para winger maupun fullback yang lincah. Memiliki bek dengan watak sebebas Skriniar, Inzaghi mesti memasangkannya dengan bek tengah yang lebih statis untuk menetralkan serangan lawan setelah lolos dari adangan Marcelo Brozovic sebagai gelandang bertahan. Solusi itu didapatkannya dari De Vrij.
Excellent team win… more to come! ⚫️🔵💪🏼 #ForzaInter
— Stefan de Vrij (@Stefandevrij) September 18, 2021
Grande vittoria di squadra! Avanti così ⚫️🔵💪🏼 #ForzaInter pic.twitter.com/BvJr93OdlE
Bastoni melengkapi trio bek multifungsi Inter. Meski termuda di antara ketiganya, Bastoni punya kedewasaan taktik. Sebagai ball-playing defender ia tahu persis menggunakan kekuatan terbesar yang terletak pada kaki kirinya.
Barangkali kita menganggap kaki kiri dan kaki kanan sebatas persoalan kebiasaan para pemain semata. Kalau mereka terbiasa menggunakan kaki kanan, kaki terkuatnya adalah kaki kanan dan sebaliknya. Namun, persoalan kaki terkuat lebih dari itu.
Sepak bola adalah olahraga sederhana yang sialnya membutuhkan taktik kompleks. Kaki terkuat juga menentukan posisi. Posisi sebagai bek tengah di sisi kiri, bagi pemain kidal seperti Bastoni, akan sangat menguntungkan.
Jika bermain di pos sebaliknya, kemungkinan Bastoni akan membutuhkan waktu lebih lama untuk memahami kapan boleh bermanuver dengan kaki terkuat dan terlemahnya. Salah mengambil keputusan, bisa celaka, apalagi posisinya adalah bek. Jangan lupakan pula bahwa kaki terkuat sangat lekat dengan posisi tubuh yang biasanya terbentuk secara alamiah.
Sistem pertahanan kedua yang digunakan Inzaghi adalah dengan beralih dari mid atau low block yang kompak ke fase menekan lawan. Setelah umpan paralel atau umpan belakang, penyerang harus memicu tekanan untuk mendorong lawan sejauh mungkin dari gawangnya sendiri.
Dengan kedua cara ini, Inter mengukuhkan diri sebagai salah tim dengan sistem pertahanan terbaik di Serie A. Dalam 18 laga, mereka baru kebobolan 15 gol alias kedua terbaik.
Fase Menyerang
Pada masa kepelatihan Conte, Inter akan menggunakan salah satu gelandang mereka untuk turun di antara bek tengah, sementara dua bek sayap akan mendorong hingga membentuk garis dengan dua penyerang dan membentuk formasi 4-2-4. Ini membuat Inter unggul jumlah pemain di area penyerangan. Selain itu, formasi demikian jauh lebih seimbang karena Inter akan bermain dengan empat bek. Keseimbangan penting untuk mengantisipasi serangan balik atau transisi cepat lawan.
Pada fase build-up awal, tiga bek akan intens mengedarkan bola ke samping guna mencari peluang untuk mengirimkan bola kepada gelandang penyalur. Sistem ini tidak banyak berubah ketika Inzaghi menjabat sebagai pelatih. Trio magnifico tetap menjalankan fungsinya, sedangkan kiper digunakan sebagai distributor serangan awal.
Pembedanya adalah bagaimana Inzaghi merancang sistem penyerangan dengan lebih dinamis. Watak ini sebenarnya sudah terlihat saat ia membesut Lazio. Lucas Leiva, Luis Alberto, dan Sergej Milinković-Savić lebih sering bertukar posisi.
Sistem permainan Conte dan Inzaghi sebenarnya mirip. Namun, pembeda terbesar adalah metodologi pelatihannya.
Conte adalah pelatih yang sangat ortodoks, dalam artian ia memegang penuh kendali arah pemain. Seluruh gerakan dan eksekusi para pemain di atas lapangan harus persis dengan instruksinya saat latihan dan ruang ganti.
Metode kepelatihan Inzaghi jauh lebih bebas dan memberi banyak ruang untuk berimprovisasi. Ia memang memiliki rencana taktik detail, tetapi tetap menyerahkan keputusan kepada para pemainnya di atas lapangan. Watak demikian membentuk tim asuhan Inzaghi, termasuk Inter, menjadi lebih dinamis. Mereka tampil luwes dengan mengalirkan bola-bola pendek secara cepat ke depan.
Gaya kepelatihan Conte memang brilian, membentuk para pemain sebagai petarung tulen. Namun, bukan tak mungkin keketatan metode itu membuat pergerakan timnya mudah tertebak. Metode Inzaghi pun punya kelemahan karena kebebasan seringkali menjadi pedang bermata dua yang menghujam jantung sendiri. Namun, kebebasan dapat menjadi senjata yang mematikan karena membuat tim jadi lebih adaptif dengan kondisi yang terjadi di lapangan.
Pada akhirnya, Conte dan Inzaghi memang memiliki banyak kemiripan tanpa mengesampingkan sejumlah perbedaan. Inzaghi adalah pelatih yang jeli. Kemiripan sistem permainannya diadaptasikan dengan Inter yang ditinggal banyak tokoh kunci.
Kemiripan tersebut membuat Inter tidak gagap bermain walau perubahan besar-besaran, sampai tahapan krusial berupa kepergian pelatih, baru saja terjadi. Itulah sebabnya, bukan tidak mungkin tiupan seruling Inzaghi sebagai the pied piper tidak hanya diikuti oleh kemenangan, tetapi juga gelar juara.