Soal Angelo Stiller dan Romano Schmid

Foto: Riiana Izzietova

Di Weserstadion dalam laga Bremen vs Stuttgart akhir pekan kemarin, saya menyaksikan dua pemain potensial yang layak jadi incaran banyak klub besar.

Tidak sulit untuk memahami mengapa Angelo Stiller menjadi perbincangan ketika berbicara soal pemain muda potensial, target banyak klub besar. Pada usia yang masih 23 tahun, Stiller sudah menunjukkan bahwa dia bisa tampil konsisten untuk menjadi dirigen lini tengah VfB Stuttgart.

Akhir pekan lalu di Weserstadion, saya menyaksikan Stiller melakukan hal-hal yang membuatnya ada pada trayektori untuk jadi seorang gelandang hebat. Pada laga itu, sepanjang 90 menit ia di-man-marking oleh pemain Werder Bremen—entah itu Leonardo Bittencourt atau Jens Stage. Namun, Stiller tak terlihat begitu terganggu. Ia acap bergerak untuk mencari ruang agar berada di jarak yang ideal untuk melepas umpan. Atau, ketika ia tau lawan terlalu dekat, ia akan memberi arahan pada rekannya soal ke arah mana bola harus dikirim.

Pada babak kedua, Stiller juga acap bertukar posisi dengan partner-nya untuk membuat lawan yang mengawalnya menjadi bingung. Mantan pemain Hoffenheim ini juga acap turun untuk sejajar dengan bek tengah saat Stuttgart melakukan build-up. Tujuannya juga untuk melepaskan diri dari kawalan lawan, membuat dirinya sendiri bebas.

Pada laga melawan Bremen itu, Stiller melepaskan total 85 umpan dengan persentase keberhasilan 87%. Ia juga melepaskan satu assist yang menunjukkan kebrilianan-nya sebagai pengumpan: Ia turun sedikit ke belakang, melepaskan diri dari penjagaan Stage, dan melepaskan umpan lambung akurat ke belakang pertahanan Bremen. Bola itu diterima Ermedin Demirovic dan penyerang berpaspor Bosnia-Herzegovina itu menyelesaikannya dengan sempurna.

Foto: Riiana Izzietova

Gol Demirovic itu menyelamatkan Stuttgart dari kekalahan. Skor berakhir 2-2 di Weserstadion, dan Stiller menjadi salah satu penampil terbaik bagi tim tamu. Sebab, gol pertama Stuttgart pun terdapat andil Stiller di dalamnya. Sebelum Maxi Mittelstädt melepas umpan untuk Demirovic, adalah Stiller yang mengirim umpan terobosan kepada sang full-back kiri agar bisa melepas umpan silang ke kotak penalti dengan sempurna.

Lewat umpan-umpannya, Stiller adalah penentu arah serangan Stuttgart. Dan ia punya umpan datar dan umpan lambung yang sama bagusnya. Pun soal akurasi dan jarak. Umpan-umpan pendek Stiller punya akurasi lebih dari 90%, sementara ia punya catatan 72% soal umpan jauh (hanya Joshua Kimmich gelandang di Bundesliga yang punya angka lebih baik dari Stiller). Di antara gelandang-gelandang Bundesliga musim ini, juga hanya Kimmich dan Granit Xhaka yang memiliki umpan ke kotak penalti lebih banyak dari Stiller.

Saya merasa tak berlebihan jika ada yang menyebut bahwa Stiller bisa jadi penerus Toni Kroos. Sebab, secara karakteristik, keduanya memang memiliki kesamaan. Stiller dan Kroos sama-sama mampu mengatur tempo serangan tim, melepaskan kawan dari lawan, menemukan ruang kosong untuk lawan, dan semua via umpan-umpan dekat-jauh, datar-lambung mereka. Dan mereka sama-sama mengumpan dengan kepercayaan diri dan visi.

Sama seperti Kroos, Stiller juga membutuhkan Casemiro-nya untuk bisa beroperasi dengan baik. Well, Stiller memang punya catatan 62% duel darat sukses dan 4,07 recoveries per 90 menit yang mana menunjukkan bahwa ia juga bisa menjadi pemenang bola buat timnya sebagai seorang nomor 6. Namun, Stiller belakangan lebih sering bekerja dalam sistem double-pivot di mana rekannya juga aktif dalam melakukan tugas-tugas defensif.

Foto: Riiana Izzietova

Inilah mengapa, buat siapa pun yang berniat menelepon Fabian Wohlgemuth untuk menawar Stiller, harus mempertimbangkan sistem yang mereka punya dan peran apa yang akan diberikan kepada sang pemain. Sebab, Stiller mungkin butuh adaptasi yang lebih lama atau bisa jadi tak cocok untuk mengover area yang lebih luas jika pergi ke tim yang memiliki sistem single-pivot, misalnya. Memasangkanya dengan satu gelandang tengah lain akan terasa lebih ideal.

Jika Real Madrid mau membuat Aurelien Tchouameni atau Eduardo Camavinga menjadi Casemiro berikutnya, Stiller layak untuk ditawar. Atau jika Liverpool berpikir bahwa menambah pengumpan adalah hal bagus sebagai alternatif dari Ryan Gravenberch di nomor 6, Stiller adalah kandidat ideal. Pun dengan Barcelona di bawah Hansi Flick saat ini, atau bila Pep Guardiola berpikir untuk menduetkan Rodri dengan seorang pengumpan jauh lain—agar permainan direct buat Haaland semakin dikedepankan.

Bermain di Bundesliga bermusim-musim, punya pengalaman di Timnas Jerman, dan juga sudah merasakan atmosfer Liga Champions harusnya cukup untuk menjadi bekal bagi Stiller bila ia ingin merasakan panggung yang lebih besar.

***

Di kubu Werder Bremen, satu pemain yang mencuri perhatian saya dari pekan ke pekan adalah Romano Schmid. Saya memerhatikannya dari beberapa musim lalu dan menilai bahwa ia punya potensi besar, hanya terkadang masih terlihat sporadis. Peta tembakan dan catatan 0.10 xG dari 1.44 tembakan per 90 menit masih menunjukkan bahwa ia perlu memperbaiki pengambilan keputusan dalam menembak, tapi saya rasa ia ada di trayektori yang tepat untuk menjadi playmaker ulung.

Foto: Riiana Izzietova

Catatan assist-nya memang baru satu, tapi catatan umpan ke kotak penalti maupun sepertiga akhir lawan miliknya bisa dikategorikan bagus. Ia ada dalam 15 besar dalam kategori pemain yang mampu melepaskan umpan kunci berkualitas (dalam konteks expected assist) dari situasi open play. Buat Bremen sendiri, serangan mereka akan lebih berbahaya bila dibangun melibatkan seorang Schmid.

Saya pun tak kaget melihat akhir pekan kemarin ia dimainkan lebih ke belakang oleh Ole Werner. Alih-alih fokus di sepertiga akhir lawan, Schmid acap membantu build-up Bremen, bisa berdiri sejajar dengan dua gelandang tengah. Lewat umpan-umpannya, ia acap menjadi penentu arah serangan tim. Dan karenanya, Bremen bisa bermain direct atau mampu menguasai bola lebih lama dengan sama baik. Saat bertahan ia juga mampu mengover sisi sayap.

Satu hal yang masih menjadi pertanyaan saya soal Schmid adalah apakah fisik yang ia miliki akan menjadi pengaruh bila ia ingin pindah ke liga yang lebih physical seperti Premier League? Menemukan tim dan pelatih yang tepat mungkin akan dapat membantu, tapi bila Schmid mampu memperbaiki visi bermainnya, banyak tim akan mengenyampingkan aspek lain. Namun, yang saya rasa: Schmid masih butuh waktu di Bremen untuk mengasah visi itu, untuk berkembang lebih jauh lagi. Toh usianya masih 24.