Soal Relasi, Bukan Posisi

Foto: SV Werder Bremen

Sepak bola dewasa ini tak lagi bertumpu pada posisi pemain berdasar formasi, tapi kepada relasi antarpemain di lapangan.

Saya sepakat dengan apa yang ditulis oleh Antonio Gagliardi dan Francesco Bordin dalam tulisan mereka yang berjudul “A New Era”. Dalam tulisan 17 halaman itu, keduanya menyebut bahwa cara sebuah tim bertahan di era sepak bola sekarang makin kompleks: sistem man-to-man semakin agresif, makin fisikal, ruang semakin dipersempit, dan waktu lawan memegang bola semakin dipercepat.

Cara bertahan yang sedemikian advanced ini, membuat cara menyerang (atau saya akan menyebutnya dengan fase in-possession) juga semakin beragam. Salah satu poin penting dalam tulisan tersebut adalah bagaimana fase in-possession dalam sepak bola berkembang dari yang tadinya fokus kepada posisi, berubah menjadi fokus pada relasi.

Apa maksudnya? Kira-kira begini: Ketika fase in-possession fokus pada posisi, relasi antarpemain bergantung pada posisi mana yang mereka tempati/isi. Misalnya, ketika sebuah tim menyerang melalui sisi kanan, pemain-pemain yang akan berkontribusi pada serangan itu adalah bek sayap kanan, gelandang/penyerang sayap kanan, gelandang tengah kanan, atau striker tengah kanan. Gelandang sayap kiri, misalnya, akan tidak–atau sangat jarang–ikut berkontribusi dalam rangkaian serangan ini.

Namun, situasi tersebut tidak berlaku pada sistem in-possession yang fokusnya pada relasi. Di sini, pemain tidak dituntut harus bekerja dan patuh pada posisi yang mereka tempati atau isi. Artinya, ketika sebuah tim menyerang melalui sisi kanan, siapa pun bisa berkontribusi di sana asalkan kehadiran atau keberadaan mereka memiliki fungsi: Untuk melancarkan overload, menjadi opsi umpan tambahan, sebagai jembatan untuk melakukan switch, dsb.

Sepak bola menjadi lebih fungsional, ketimbang posisional. Saya juga pernah menulis ini dalam artikel “Apakah Formasi Masih Relevan?”, yang menjelaskan bagaimana pelatih memandang formasi hanya sebagai struktur besar untuk mempermudah para pemainnya, terutama dalam fase bertahan (out-of possession), menempatkan diri (agar tak terjadi disorganisasi, misalnya).

Di artikel ini sendiri, saya ingin lebih menjelaskan tentang sistem in-possession yang fokusnya pada relasi. Sebab, pada akhir pekan lalu saya baru saja melihat bagaimana Werder Bremen mampu, dengan amat baik, menjalankan sistem ini dalam kemenangan 4-1 atas VfL Bochum pada laga pamungkas Bundesliga.

Di Weserstadion siang itu, Bremen di atas kertas bermain dengan formasi 3-4-2-1 seperti mereka biasanya. Namun, ketika dalam fase in-possession, pola tersebut tak lagi terlihat. Saya menyaksikan bagaimana Michell Weiser, wing-back kanan, lebih sering mengisi pos second striker–alias lebih dekat ke sang striker, Marvin Ducksch, ketimbang ke bek tengah kanan.

Ducksch sendiri acap menempatkan diri di tepi, kiri atau kanan, alih-alih stay di tengah. Sementara dua gelandang serang yakni Nick Woltermade dan Romano Schmid, juga satu gelandang tengah, Leonardo Bittencourt, diberikan kebebasan bergerak ke manapun bola atau serangan Bremen berada. Empat nama dalam paragraf ini, bersama Ducksch, adalah pemain-pemain yang memiliki peran “free roaming”.

Dalam sepak bola berbasis relasi, seperti yang ditulis oleh Gagliardi dan Bordin, hanya terdapat dua fungsi pemain: Pertama pemain perimeter atau perimetral (iya, seperti basket) dan spatial atau free roaming. Pemain-pemain yang memiliki fungsi sebagai perimetral biasanya akan lebih fokus untuk bertahan pada struktur/posisi agar tim tetap pada organisasinya untuk mempermudah fase bertahan atau switch. Sementara pemain dengan fungsi spatial dibebaskan bergerak sesuai objektif tertentu.

Dalam kasus Bremen akhir pekan kemarin, pemain perimetral adalah tiga bek tengah, Senne Lynen (salah satu gelandang tengah), dan wing-back kiri Felix Agu. Tiga bek tengah bertugas dan Lynen bertugas pada posisi dan strukturnya untuk mempermudah dalam melakukan build-up, menentukan sisi, dan juga mengakomodir rest-defense. Sementara Agu tak banyak bergerak underlap karena ia menjaga kedalaman di kiri.

Bremen sendiri menggunakan lima pemain free roaming pada laga vs Bochum itu dengan satu tujuan: Meloloskan diri dari man-to-man marking yang dilakukan lawan. “[Dengan pendekatan man-to-man itu] masuk akal untuk terus bergerak, terutama di area tengah, dan pemain melakukannya dengan baik, sehingga kami mampu membuka [dan menemukan] ruang. Kami tentu juga punya ide yang jelas tentang zona mana yang ingin kami tuju,” ucap pelatih Bremen, Ole Werner, kepada saya soal sistemnya itu.

Ucapan Werner sangat berkaitan dengan apa yang saya tulis pada paragraf-paragraf awal: Bahwa sistem in-possession yang fokus pada relasi ini memang digunakan untuk membongkar man-to-man pressing dan menemukan atau menciptakan ruang pada pertahanan lawan. Bremen berhasil melakukan keduanya pada sore itu, bahkan di area tengah pertahanan Bochum.

26 total tembakan yang diciptakan Bremen pada laga tersebut berasal dari kepala atau kaki 10 pemain berbeda. Total 21 umpan kunci yang dilepaskan juga berasal dari 11 pemain berbeda. Memang ada situasi bola mati dalam angka-angka tersebut, tapi ini juga menunjukkan bahwa, dalam sistemnya Bremen, siapa pun bisa menjadi eksekutor dan siapa pun bisa jadi penyuplai. Sebab, tugas atau fungsi tersebut tak lagi berkaitan dengan posisi pemain, tapi siapa yang berada pada ruang atau momen yang tepat.

Werner juga menjelaskan bahwa ia menginstruksikan pemainnya untuk bekerja pada/menuju zona, bukan pada posisi. Bahwa formasi memang ada, tapi bukan itu yang jadi dasar pergerakan pemain–terutama mereka yang memiliki fungsi spatial. “Kami memiliki formasi, tapi kami juga bisa membuat formasi itu berubah–yang mana mungkin orang tak bisa melihatnya. Namun, yang terpenting bukanlah pemain A harus ada di sana, pemain B harus ada di sini,” ujarnya.

“Mereka bisa melakukan switch, bisa bergerak dengan bebas. Yang terpenting adalah bagaimana, ketika kami pada situasi tanpa bola, kami mampu membuat bola bergerak ke zona yang kami mau. Dan setelahnya (pada situasi in-possession), kami mampu membuka ruang, dan menyerang melalui ruang tersebut,” tambah Werner, menguatkan bahwa sistem yang ia gunakan juga untuk membuat Bremen mampu mengontrol dua fase pertandingan.

***

Sepak bola berkembang. Ketika Pep Guardiola muncul, ia menyodorkan bagaimana menyerang berbasis posisi (dengan menggunakan shape tertentu, jarak yang rapat antarpemain) mampu bekerja dengan baik untuk menghasilkan dominasi terhadap lawan. Pelatih-pelatih dari Jerman seperti Jürgen Klopp dan Thomas Tuchel kemudian menghadirkan solusi bahwa cara tersebut bisa diminimalisir dengan pressing agresif yang bisa berbasis man-to-man, juga para pragmatis seperti Jose Mourinho plus Diego Simeone datang dengan meminimalisir ruang sekecil mungkin.

Ketika pertahanan makin berkembang, pelatih-pelatih muda seperti Werner, Xabi Alonso, Fabian Hürzeler, Thiago Motta, Simone Inzaghi, sampai Henrik Rydström (saya juga ingin memasukan nama Fernando Diniz, tapi ia sudah berusia 50 tahun so…) muncul dengan cara menyerang yang mengandalkan relasi. Cara yang, disebut Rydström dalam wawancaranya dengan Sky Sports, tidak lagi menunjukkan pelatih sebagai “Tuhan”.

Sebab seperti judulnya, relasi, sepak bola yang mereka usung tidak hanya berkaitan pada teori, taktik, tapi relasi antara pelatih dengan pemain dan pemain dengan pemain. Bahwa benar, pelatih memberikan instruksi, strategi, ide, dan pemain menjalankannya. Namun, di lapangan, pada sistem ini, pemain juga dituntut harus bisa mengambil keputusan. Di sinilah sepak bola menjadi lebih fluid. Di sinilah pemain mampu bergerak lebih liat, ruang mulai terbuka, pertahanan lawan mulai longgar, dan gol demi gol mulai tercipta.