Solskjaer Bukan Urasawa, Van de Beek Bukan Kain Pel Tak Berguna
Donny van de Beek tak lagi menemui sungai kecil tanpa arus. Sebaliknya, kini ada arus deras yang harus ia taklukkan. Lalu, apa yang sebaiknya Ole Gunnar Solskjaer lakukan pada Van de Beek?
Jika Ole Gunnar Solskjaer secerdas Naoki Urasawa, ia tentu paham bahwa tiap-tiap pemain bisa berfungsi dengan baik asalkan mendapatkan takaran yang pas. Tidak terkecuali Donny van de Beek.
Urasawa memang bukan pelatih sepak bola; ia adalah mangaka sekaligus musisi. Atribut terbaik Urasawa bukan sekadar menggambar ekspresi atau mengkreasikan tokoh dari beragam etnis, tetapi juga membangun jalinan cerita yang utuh dan nyaris tak pernah kedodoran, tak peduli seberapa rumit plot yang ia bangun.
Urasawa adalah Tuhan atas semesta yang ia ciptakan sendiri. Dia tahu bagaimana mengatur segalanya agar tidak bertabrakan dan tumpang tindih. Oleh karena itu, sebetulnya agak sayang menjejalkannya ke dalam label mangaka. Urasawa adalah penulis pilih tanding, amat jarang plot dan karakter yang ia bikin menjadi sia-sia.
Pada ‘Monster’, misalnya, ia memperlihatkan bahwa cerita dengan alur yang relatif sederhana tak mesti menjadi kempes. Dengan cermat, Urasawa sukses membangun tensi antara seorang pembunuh berantai, seorang dokter yang jadi buronan, dan seorang agen polisi.
Motif yang menjadi penggerak ketiga karakter tersebut saling berkelindan sehingga yang satu tidak mungkin melangkah tanpa yang lainnya. Ketiga tokoh tersebut pada akhirnya menjadi pondasi dari struktur cerita yang Urasawa bangun. Tak peduli berapa pun karakter sekunder yang muncul dan sub-plot yang jadi pelengkap, semuanya selalu berakar dari ketiganya.
Menyusun komposisi sebuah tim tidak jauh berbeda dengan membangun sebuah jalinan cerita yang utuh. Seorang pelatih (atau manajer) punya wewenang untuk membangun semestanya sendiri dengan membagi role para pemain, baik di dalam tim atau di dalam permainan, dengan takaran yang pas. Dari situ, barulah ia bisa menyusun struktur permainan yang rapi untuk timnya.
PR United (dan Solskjaer) ada pada struktur itu dan bagaimana mereka menerapkannya secara konsisten. Pada laga melawan RB Leipzig, misalnya, para pemain United kebingungan mesti berbuat dan bertindak seperti apa. Imbasnya, boro-boro tampil disiplin, mereka justru seperti hilang arah.
Beberapa hari setelahnya, United menunjukkan wajah berbeda. Berlaga melawan Manchester City, United tampil solid. Selain disiplin di lini belakang, struktur serangan mereka di lini tengah--plus pembagian peran yang terpetakan dengan baik--juga rapi. Yang kurang? Pengambilan keputusan dan penyelesaian akhir.
Selain itu, masih ada kesan bahwa United terlalu mengandalkan individu ketimbang membangun serangan secara kolektif. Oleh karena itu, manakala Bruno Fernandes dan Marcus Rashford (dua pemain dengan xG dan xA tertinggi di skuad sejauh ini) melempem, biasanya lini serang United ikut-ikutan loyo.
Salah satu hal terbaik dari pertandingan itu adalah munculnya Paul Pogba sebagai penampil terbaik. Tidak hanya proaktif dalam membangun serangan dan membantu pertahanan, Pogba juga rajin mengeksploitasi sisi kiri lapangan. Padahal, baru beberapa hari sebelumnya Pogba menjadi pusat dari pusaran rumor ketika agennya, Mino Raiola, menyebut dia bakal hengkang sesegera mungkin.
Pogba membuat 2 umpan kunci pada pertandingan tersebut, sama dengan Bruno. Pada babak kedua, ia memang terlihat kepayahan dan setidaknya 2 kali kehilangan bola. Namun, melihat performanya sepanjang laga dan betapa penting perannya di sisi kiri lapangan, keputusan Solskjaer untuk tidak menggantinya bisa dimengerti.
Sebaliknya, Solskjaer justru memasukkan Anthony Martial dengan menarik keluar Mason Greenwood. Mengingat Martial dan Greenwood memiliki atribut mirip, pergantian pemain yang Solskjaer lakukan itu tidak melibatkan pergantian peran. Padahal, pertandingan tengah berada dalam situasi deadlock. Alih-alih menjadi kunci pembuka deadlock itu, Martial ikut-ikutan tampil melempem.
Di bangku cadangan, Solskjaer masih memiliki Van de Beek. Ketika masih bermain untuk Ajax, gelandang berusia 23 tahun itu terbiasa bermain di belakang striker tunggal dalam formasi 4-2-3-1. Formasi ini cukup sering digunakan Solskjaer.
Namun, Van de Beek bukan berperan sebagai kreator serangan. Jadi, siapa pun yang menganggap Van de Beek merupakan pelapis sepadan untuk Bruno, tolong buang opini itu jauh-jauh.
Van de Beek berperan sebagai salah seorang pemain yang menjaga ball retention di lini depan sekaligus partner Dusan Tadic--yang biasanya diplot sebagai penyerang tunggal--untuk membuka ruang di lini pertahanan lawan. Van de Beek dan Tadic cukup sering bertukar posisi. Manakala Tadic turun ke second line dan membuka ruang, Van de Beek biasanya gantian naik dan mengeksploitasi ruang tersebut.
Van de Beek punya kemampuan melepas operan dengan baik dan biasanya jarang buang-buang waktu untuk memberikan operan. Oleh karena itu, Van de Beek cocok untuk dua hal: Membantu tim melakukan progresi serangan secepat mungkin dan menjaga ball retention di sepertiga akhir lapangan.
Selain itu, Van de Beek punya pergerakan tanpa bola yang cukup baik dan mampu mengendus ruang di lini pertahanan lawan. Maka, ketika United mengalami deadlock seperti yang terjadi pada laga melawan City, memasukkan Van de Beek--dan memberinya peran seperti yang ia dapatkan di Ajax--lebih masuk akal ketimbang memainkan Martial.
Skuad United memang tidak mewah, tetapi juga tidak jelek-jelek amat. Malah, kalau Solskjaer jeli, ia punya pemain dengan atribut yang berbeda-beda, memungkinkannya untuk memainkan berbagai macam pakem, formasi, taktik, dan strategi. Tinggal bagaimana dia saja mengaturnya dalam takaran yang pas dengan mempertimbangkan siapa yang ia lawan dan bagaimana situasi di tengah pertandingan.
Van de Beek, pada akhirnya, memang tidak seperti Bruno, Pogba, atau mantan-mantan rekannya seperti Hakim Ziyech dan Frenkie de Jong. Sulit untuk menjadikannya seorang katalis atau kreator serangan. Namun, bukan berarti ia kain pel tak berguna. Lagi pula, kamu tidak perlu menjadi pemain kelas dunia untuk betul-betul berguna di dalam sebuah tim.
CEO Ajax, Edwin van der Sar, mengakui bahwa Van de Beek bukanlah pemain yang sering melakukan stepover atau melakukan hal-hal spektakuler lainnya, tetapi bukan berarti ia tidak spesial. Van de Beek, kata Van der Sar, adalah pemain fungsional. Ia bisa bekerja dengan baik dalam sebuah sistem yang pas. “Dia selalu berada di posisi yang tepat,” kata Van der Sar menambahkan.
***
Van de Beek lahir di sebuah kota kecil bernama Nijkerkerveen, Provinsi Gelderland, 6 km dari Amersfoot. Provinsi tempat ia lahir meminjam nama dari sebuah kota di Jerman, Geldern, yang menurut legenda mendapatkan namanya setelah dua orang bangsawan, Wichard dan Lupold, membunuh seekor naga penyembur api.
Tepat sebelum menemui ajalnya, naga tersebut berseru: Gelre! Gelre!
Perjalanan karier Van de Beek memang tidak seterjal usaha Wichard dan Lupold membunuh naga. Namun, tetap saja ada arus deras yang harus ia taklukkan.
Van de Beek jika dialihbahasakan ke bahasa Inggris berarti ‘Of the Brook’ alias ‘dari anak sungai’. Oleh karena itu, Ajax pernah mengeluarkan candaan atas nama Van de Beek. “Donny from The Little River!” tulis mereka pada sebuah cuitan.
Namun, yang ia temui di Manchester bisa jadi bukan lagi sungai kecil tanpa arus. Sebaliknya, ia harus bertemu dengan samudera yang ganasnya bukan main.