Stadtderby

Foto: HSV

Ini cerita saya dari Derbi Hamburg terakhir: Dari kegagalan St. Pauli meraih tiket promosi di kandang rival, dari keberhasilan HSV menjaga harga diri.

Jika hidup mudah ditebak, Johan Cruyff sudah punya satu medali emas Piala Dunia. Jika hidup mengikuti alur rencana, Harry Kane akan berseragam Arsenal alih-alih Tottenham. Jika hidup berjalan sesuai tebakan, Manchester City tak akan tersingkir di babak perempat final Liga Champions musim ini. Jika hidup berjalan untuk memenuhi harapan, Jürgen Klopp akan mengakhiri musim terakhirnya di Liverpool ini dengan empat gelar.

Jika hidup begitu mudah mengikuti angan, St. Pauli akan menutup musim ini dengan sempurna: Meraih tiket promosi ke Bundesliga di kandang rival sekota, HSV. Menang di laga Stadtderby itu, merayakan kemenangan di kandang tamu.

***

Tensi panas derbi sudah terasa satu pekan sebelum laga dimulai. Penyebabnya, pada pertandingan terakhir, St. Pauli meraih kemenangan atas Hansa Rostock yang membuat mereka mengunci status sebagai tim terbaik Hamburg musim ini. Mereka memiliki poin yang tak akan lagi mampu dikejar oleh HSV. Pencapaian ini adalah pencapaian pertama mereka dalam 70 tahun terakhir.

Ya, bisa dibayangkan bagaimana selama itu St. Pauli hanya berada di bawah bayang-bayang HSV. Mereka selalu jadi nomor dua di Hamburg. Bahkan tak sedikit—dengan sudut pandang HSV—yang menganggap St. Pauli sebagai klub level kecamatan. Well, jika merujuk dari namanya, St. Pauli memang merujuk pada sebuah distrik di Hamburg. Katakanlah seperti Kebayoran Baru atau Tanah Abang, bila merujuk Jakarta.

St. Pauli memang merupakan klub alternatif—ia semakin tumbuh ketika orang-orang di Hamburg yang jengah melihat tribune stadion HSV dipenuhi suporter berideologi kanan mencari klub baru untuk ditonton dan didukung. Orang-orang kemudian melihat St. Pauli sebagai klub yang menawarkan hal lain; keterbukaan, inklusivitas, kesetaraan, kebersamaan. Klub ini bukan klub kaya, dan juga bukan klub yang menawarkan piala sebagai sajian utama.

Dalam sudut pandang olahraga, sumber daya yang terbatas membuat St. Pauli sulit bersaing dengan HSV yang disokong korporasi dan dana besar. Lantas ketika HSV mampu menjadi kampiun Eropa, meraih gelar domestik, St. Pauli bisa berkubang di liga-liga level empat, tiga, dan belakangan—juga sering—dua. Hanya sesekali mereka mampu naik ke Bundesliga. Bahkan, ketika mampu menembus semifinal DFB Pokal pada 2006, itu sudah dianggap sebagai salah satu pencapaian terbesar klub.

Karena itu, ketika berhasil memastikan diri jadi klub nomor satu di Hamburg, sukacita mewarnai klub. Seorang teman, yang juga penulis dan pendukung St. Pauli, berkata kepada saya bahwa momen ini sangat amat berarti baginya. “Mereka (HSV) memandang St. Pauli dengan arogan, menganggap kami kecil. Karenanya momen ini sangat amat berarti.” Melihat wajah orang-orang di Millerntor hari itu, saya sepakat.

***

Hamburg cerah sepanjang pekan, cuaca panas. Ini adalah pekan panas pertama setelah berbulan-bulan musim gugur dan musim dingin menelan Hamburg dengan kegelapan, angin kencang, hujan yang tak beraturan, dan suhu yang acap kali di bawah angka delapan. Saya rasa alam pun tahu bahwa pekan itu adalah pekan yang sangat spesial untuk Hamburg. Pekan derbi.

Di media sosial saya menyaksikan pendukung kedua tim melakukan psywar. Tiket habis terjual, orang-orang yang tak kebagian menantikan keajaiban untuk bisa datang ke Volksparkstadion, entah untuk mendukung St. Pauli atau tuan rumah. Bahkan saya sendiri sempat pasrah, kabar perihal akreditasi datang lebih lambat dari biasanya. Buat kedua klub, ini memang pekan yang luar biasa sibuk dan menegangkan.

Saya baru dua kali menyaksikan HSV berlaga di Volskparkstadion—dua-duanya menghadapi St. Pauli, dan harus saya akui stadion ini sangat berisik. Tentu dalam arti bahwa suporter HSV, terkhusus Ultras mereka, mampu berteriak keras dan lantang untuk memberikan dukungan. Seorang rekan berkata bahwa Volkspark adalah stadion tandang paling berisik yang pernah ia datangi selama jadi pendukung St. Pauli.

Saya sepakat. Siang itu saya tiba di Volkspark satu jam sebelum laga dimulai dan suasana sudah tegang, stadion sudah sedemikian berisik. Saat pemain HSV memasuki lapangan, suar menyala di tribune utara tempat Ultra HSV berdiri. Warna hitam dan biru kemudian menyelimuti stadion. Nyanyian dan teriakan dukungan kemudian menggema. Para suporter St. Pauli yang ada di tribune kandang juga coba bersuara, tapi jumlah mereka yang kalah banyak membuat nyanyian mereka kadang tenggelam.

Di atas lapangan, tensi panas juga terasa. Para pemain dan staf bersitegang, sempat terjadi sedikit keributan setelah St. Pauli mengakhiri pemanasan mereka dengan melakukan lari bersamaan ke arah lapangan HSV, yang kemudian menunjukkan gesture tak senang. Saya melihat kedua kubu saling dorong, saling tunjuk, saling berteriak satu sama lain, dan saling melerai pula. Jackson Irvine menyebut insiden ini sebagai sesuatu yang “kekanak-kanakan”.

Saat pertandingan tiba, sayangnya laga tak berjalan mengikuti friksi yang ada. Kedua tim memang saling bergantian menyerang, beberapa peluang emas didapatkan, ada gol yang digagalkan. Namun, secara keseluruhan, kehati-hatian membuat mereka kesulitan: HSV kesulitan keluar dari pressing yang diterapkan sang lawan, St. Pauli kesulitan mencari umpan tambahan untuk melakukan switch baik dari kiri maupun dari kanan.

Kesalahan memang tak bisa dilakukan. St. Pauli jelas mengincar kemenangan dan mereka tak mau kebobolan. Sementara HSV sekuat tenaga menjaga harga diri mereka. Tak boleh ada lubang sekecil apa pun, tak boleh ada konsentrasi yang hilang bahkan untuk sepersekian detik pun. Mereka tak boleh kalah. Melihat rival sekota mendapatkan tiket promosi di kandang mereka adalah sesuatu yang lebih terlarang dari kata haram.

Saat laga saya kira bakal berakhir imbang, HSV mencetak gol. Gol dari sepak pojok. Gol yang tak saya ekspektasikan karena St. Pauli teramat baik dalam situasi ini—gol Robert Glatzel tersebut hanyalah kebobolan kedua St. Pauli dari situasi sepak pojok musim ini. Gol yang membuat Volkspark kembali bergemuruh. Gol yang datang saat laga sudah tak memiliki banyak waktu tersisa, gol yang menyadarkan saya bahwa ini memang bukan harinya.

Saat peluit akhir berbunyi, para pemain HSV mengangkat tangan mereka tinggi-tinggi. Mereka berpelukan, kemudian berlari ke arah tribune utara tempat para suporter mereka berdiri. Mereka bernyanyi bersama, bersorak bersama. Di tribun, tifo besar bertulisan bahwa Kota (Hamburg) menjadi milik mereka terbentang. Well, kalau meihat konteks malam itu, tulisan tersebut ada benarnya: HSV menang, mereka sukses menghentikan rival sekota jadi juara.

***

St. Pauli pada akhirnya tak mampu menutup musim dengan tiket promosi di Volkspark. Mereka tak bisa mengikuti jejak Inter Milan atau Arsenal yang mampu meraih prestasi paling menentukan di kandang rival sekota. Selepas laga, saya melihat raut kecewa dari para pemain. Beberapa dari mereka tak bisa menjelaskan apa yang terjadi selama sembilan puluh menit laga selain rasa kecewa.

Namun, yang saya dan mereka tau, asa naik tingkat masih ada. 2. Bundesliga masih menyisakan dua laga. Mungkin Volkspark memang bukan tempatnya, mungkin memang bukan saatnya menjadi yang terbaik di kota dalam dua konteks yang berbeda. Mungkin juga, jalannya ternyata jauh lebih sempurna: Memastikan promosi ke Bundesliga di depan suporter setia, di Millerntor tercinta.