Takdir Gareth Southgate

Foto: @England

Dulu, Southgate adalah pecundang. Cap buatnya banyak: Bek medioker, pelatih gagal, pelatih hoki, sampai miskin taktik. Namun, bagaimana kalau Southgate ternyata ditakdirkan lahir sebagai pahlawan buat Inggris?

Suratan takdir tak ada yang tahu. Nasib buruk atau nasib baik bisa datang kapan saja. Mereka tak kenal jam besuk dan kau juga tak bisa mengantisipasi atau bahkan memperkirakannya. Hari ini kau bisa jadi pecundang, di kemudian hari kau bisa tiba-tiba jadi pahlawan.

***

Anda mungkin bosan mendengar kisah ini saat kita berbicara soal Gareth Southgate. Namun, izinkanlah kami, kali ini, menggunakannya lagi.

26 Juni 1996, di Wembley, Southgate untuk pertama kali jadi seorang pecundang. Saat itu ia mengajukan diri jadi penendang penalti keenam Inggris pada laga semifinal Piala Eropa. Sebelumnya laga melawan Jerman itu berakhir imbang 1-1 selama waktu normal plus babak tambahan.

Di babak adu penalti, lima penendang Inggris dan lima penendang Jerman berhasil menunaikan tugasnya dengan baik. Lalu tibalah giliran Southgate. Nahas, sepakannya gagal, ditepis kiper lawan. Inggris takluk 5-6 di babak adu penalti dan tak jadi lolos ke final.

Southgate dihardik publik, ia dijadikan kambing hitam atas kegagalan Inggris itu. Semua tahu ia adalah pecundang utama di partai semifinal itu.

***

20 Oktober 2009, Southgate sekali lagi jadi seorang pecundang. Ia dipecat oleh klubnya, Middlesbrough, hanya dua jam selepas pertandingan. Telepon pemecatan itu diangkatnya di depan para pemain sehingga seluruh awak tim tahu bahwa Southgate akan segera pergi meninggalkan klub.

Situasi tim pun langsung berubah 180 derajat. Dari yang tadinya penuh euforia, karena mereka baru saja menang 2-0 atas Derby County, berubah penuh nelangsa setelah muncul kabar soal pemecatan Southgate.

Secara hasil, pemecatan Southgate itu memang terbilang unik jika tidak mau kita bilang aneh. Sebab kemenangan 2-0 atas Derby itu membuat posisi Middlesbrough ada di peringkat empat Championship, terpaut satu poin saja dari West Brom sebagai pemuncak klasemen.

Semusim sebelumnya, Southgate memang gagal. Middlesbrough terdegradasi dari Premier League setelah melalui awal musim dengan cukup meyakinkan. Southgate juga membawa timnya punya catatan amat buruk: Cuma menang sekali dalam rentetan 18 pertandingan.

Apa yang dilakukannya di Championship sudah tepat. Middlesbrough saat itu ada dalam trek yang benar untuk bisa kembali ke Premier League. Namun, apa boleh buat. Kesabaran manajemen sudah habis buat Southgate. Pria kelahiran Watford itu pun angkat kaki dengan kepala tertunduk, pergi sebagai pecundang.

***

11 Juli 2021, Gareth Southgate adalah seorang pahlawan. Terlepas apa pun hasil di final Piala Eropa 2020, ia sudah jadi pahlawan buat publik Inggris. Pria yang 12 tahun lalu didepak Middlesbrough itu sudah berhasil jadi pelatih pertama yang bisa membawa Tim Nasional Inggris ke final turnamen besar setelah terakhir Alf Ramsey melakukannya pada Piala Dunia 1966.

Southgate sudah berhasil mengangkat derajat Inggris. Dari yang tadinya hanya berstatus sebagai 'favorit yang selalu gagal', kini Tiga Singa dibikinnya sebagai calon juara. Benar-benar tim yang bisa kita perhitungkan untuk jadi juara di sebuah turnamen besar.

Southgate juga berhasil mempersatukan Inggris secara tim. Jika di generasi sebelumnya banyak yang bilang bahwa masih ada rivalitas antarklub yang dibawa para pemain ke tim, kini itu tak ada lagi. Southgate berhasil mempererat tim.

Sebagaimana dijelaskan Gabriel Clarke, jurnalis senior Inggris yang sudah meliput tim sejak 2006, dalam wawancaranya dengan The Athletic, para pemain dibawah arahan Southgate terlihat lebih rileks, karib, dan tak memperlihatkan ego pribadi.

Ini tentu berbeda dengan Inggris di era-era sebelumnya. Di era Sven-Göran Eriksson, tim memang santai. Namun, saking santainya, pemain seperti tak merasa sedang berada di sebuah turnamen besar. Garry Neville bilang bahwa sikap santai itu terbawa hingga ke lapangan dan jadi biang keladi kegagalan Inggris.

Mereka dibiarkan dekat dengan para pasangan dan itu justru membuat fokus mereka terbagi selama berada di kamp latihan. Ditambah dengan sorotan media yang amat besar, Rio Ferdinand bahkan menggambarkan situasi tim seperti sirkus.

Pada eranya Fabio Capello, tim menjadi begitu tegang. Aturan diperketat, aktivitas sudah diatur. Beberapa pemain kemudian protes dan merasa seperti di penjara. Mereka merasa aktivitas di kamp latihan pada Piala Dunia 2010 amat membosankan: Latihan, makan, tidur, repeat.

Di era Southgate, tim lebih santai. Di kamp latihan Anda bisa melihat para Harry Kane cs. bermain bowling, dart, dan bahkan tersedia komputer untuk mereka bermain Fortnite. Di era Southgate pula Anda bisa melihat Bukayo Saka terbang di atas kolam renang dengan balon unicorn yang imut.

Ini klise, tetapi Southgate juga menekankan aspek patriotik pada setiap pemainnya. Anda bisa baca pada tulisannya di The Players' Tribune untuk tahu bagaimana pria 50 tahun itu selalu memotivasi para pemainnya sebelum pertandingan karena mereka akan turun ke lapangan mewakili seluruh penduduk Inggris. Jadi harus tampil sepenuh jiwa.

Soal taktik, Inggris di bawah Southgate memang lebih pragmatis, terutama di Piala Eropa 2020 ini. Southgate tahu bahwa untuk bisa menang, yang pertama dibutuhkan adalah tidak kebobolan. Karena tak seperti di liga, di turnamen macam Piala Eropa dan Piala Dunia kita mengenal babak adu penalti.

Lagi pula kita juga tahu bahwa Prancis dan Portugal yang sukses di dua turnamen mayor terakhir (Piala Eropa 2016 dan Piala Dunia 2018), juga menerapkan strategi pragmatis. Mereka berusaha tak kebobolan dulu dulu, lalu mencoba menyerang ketika ada kesempatan.

Karena itu, fokus Southgate adalah untuk membangun tim yang amat sulit dibobol lawan. Ini terbukti jitu. Di Piala Eropa 2020 ini, Inggris baru kebobolan satu kali hingga semifinal. Itu pun bukan via open play. Selain itu, sepanjang turnamen, Jordan Pickford baru menerima 11 tembakan tepat sasaran. Di turnamen ini, catatan itu adalah salah satu yang terbaik.

Tampil dengan fokus pada pertahanan dulu nyatanya mampu membuat Inggris meraih kemenangan demi kemenangan. Lalu apakah Southgate miskin taktik? Tentu tidak. Pilihan pertamanya memang pragmatis. Namun, ia juga reaktif. Ketika ingin membuat Inggris tampil lebih cepat, mendominasi pertandingan, dan terus menyerang, ia bisa melakukannya dengan baik.

Ia mampu membuat Inggris lebih dewasa di dalam maupun luar lapangan. Itu yang kemudian jadi salah satu alasan penting kenapa Southgate bisa mengubah diri jadi pahlawan. Ia mungkin tak terlalu sukses sebagai pemain dan pelatih di level klub. Namun, ia mampu menahbiskan diri sebagai salah satu pelatih tersukses dalam sejarah Inggris.

Jika pada akhirnya ia mampu membawa Inggris jadi kampiun Piala Eropa 2020, sekaligus gelar Piala Eropa pertama Inggris, itu akan semakin menegaskan bahwa Southgate telah meninggalkan status pecundangnya di ruang ganti Middlesbrough 12 tahun yang lalu.

***

Berbicara soal takdir, saya jadi teringat cerpen Haruki Murakami yang berjudul "Family Affair". Ada satu kalimat yang menyebut bahwa takdir adalah sesuatu yang melampaui semua pemahaman seorang manusia.

Bahwa kita mungkin tahu pada awalnya bahwa Gareth Southgate seperti dilahirkan sebagai seorang pecundang. Namun, takdir yang tak mengenal jam besuk itu, bisa mengubah pandangan kita bahwa Southgate ternyata juga dilahirkan sebagai pahlawan. Kebetulan, tempat ia ditahbiskan juga sama: Wembley Stadium.