Taman Bermain Bruno
Tepat pada 29 Januari, dua tahun lalu, Bruno Fernandes menggamit takdirnya sebagai pemain Manchester United. Kini, ia menjadikan lapangan tengah United sebagai taman bermainnya.
Melihat Bruno Fernandes tidak bisa tidak membayangkan betapa degilnya ketika ia bocah dulu. Ini tidak lepas dari bagaimana ia memperlakukan lapangan sepak bola: Seperti taman bermain untuknya.
Bruno lahir di Maia, sebuah kota yang berjarak 11 kilometer dari pusat kota Porto. Tidak ada hal lain di dalam kepala Bruno kecil, cuma sepak bola. Anak-anak yang lain boleh punya beragam cita-cita, tetapi Bruno sudah memutuskan sejak kecil bahwa ia kelak bakal menjadi pemain sepak bola profesional, tanpa ada plan b.
Katanya, kalau kamu bersungguh-sungguh membayangkan dan betul-betul berusaha mengejar apa yang kamu inginkan, besar kemungkinan ia bakal menjadi kenyataan. Barangkali, itulah yang terjadi dalam hidup Bruno. Tidak hanya keinginannya untuk menjadi pemain sepak bola profesional, tetapi juga perkara keterkaitannya dengan Manchester United.
Pada suatu ketika, ia pernah mengaku lewat sebuah tulisan di The Players’ Tribune. ‘Cover Your Ears’, begitu judul tulisan tersebut, merujuk pada perayaan favorit Bruno tiap kali mencetak gol: Menutup kedua telinganya sembari memekik puas. Namun, hal terpenting yang ia ceritakan di situ bukanlah tentang perayaan golnya.
Sebagai bocah, Bruno harus berbagi kamar dengan kakaknya yang berusia 5 tahun lebih tua. Ketika masih kanak-kanak, kata Bruno, itu bukanlah masalah. Lain cerita begitu kakaknya menginjak remaja. Karena sang kakak semakin sering membawa teman untuk bermain di dalam kamar, Bruno pun mau tak mau “diusir” untuk bermain di luar.
Buat Bruno, ini adalah berkah. Dengan begitu, ia bisa menghabiskan waktu di lapangan dengan bermain sepak bola. Tiada hari, kata Bruno lagi, tanpa pergi keluar rumah dengan menggamit bola sepak di tangan, termasuk ketika pergi ke sekolah juga. Saya membayangkan, Bruno melakukannya dengan senyum lebar dari satu sisi wajah ke sisi lainnya.
Karena sang kakak juga, Bruno kecil merintis jalan untuk menentukan takdirnya sendiri. Ketika ditanya siapa pemain terbaik dunia, dia tidak akan ragu menjawab “Cristiano Ronaldo”. Sementara, sang kakak—yang merupakan suporter Barcelona—akan menjawab “Lionel Messi”. Dari situ, keterikatannya dengan United bermula.
Pada suatu Natal, Bruno dan sang kakak pergi ke Swiss untuk menemui ayah mereka. Ketika itu, sang ayah tinggal jauh dari keluarga karena urusan pekerjaan. Sebagai hadiah Natal, ayah Bruno memilih membawa kedua anaknya ke toko Nike untuk membeli kostum sepak bola.
Kakak Bruno, tentu saja, memilih kostum Barcelona. Sementara bagi Bruno, tidak ada pilihan yang lebih jelas lagi. “Tentu saja, aku memilih Manchester United.”
Cerita masa kecil itu yang membuat Bruno, ketika resmi menjadi pemain United pada 29 Januari 2020 (hari ini, tepat dua tahun lalu), membuatnya sebisa mungkin menahan air mata. Bagi Bruno, itu adalah berkah. Buat para pendukung United, itu adalah anugerah; kehadiran Bruno membuat tim mereka memiliki gelandang kreatif yang langsung memberikan impak instan.
Barangkali, semasa SMU dulu, kita sama-sama memiliki teman dengan tipe seperti Bruno: Dia yang tidak betah duduk di dalam kelas dan seolah-olah tubuhnya diisi oleh deretan baterai Energizer yang tidak pernah habis. Ia selalu banyak bicara, tidak bisa diam, dan lebih gampang ditemui di lapangan ketimbang di kantin tiap jam istirahat. Begitu kelas dimulai lagi, ia akan kembali ke tempat duduknya dengan seragam basah kuyup karena keringat.
Energi Bruno yang seolah-olah tidak pernah habis itu kelihatan dengan jelas di atas lapangan. Ia jarang betul absen karena cedera. Sudah begitu, menit dan jumlah bermainnya tiap musim terhitung tinggi. Sejauh ini, ia sudah mengantongi 108 penampilan hanya dalam dua setengah musim. Artinya, rata-rata Bruno bermain sekitar 43 laga di setiap musimnya.
Banyaknya kesempatan bermain yang ia terima membuat sejumlah jurnalis sempat bertanya, apakah ia tidak ingin meminta kepada pelatih untuk dirotasi supaya ia bisa mendapatkan kesempatan beristirahat. Dengan enteng, Bruno lantas menjawab bahwa ia akan mendapatkan banyak kesempatan beristirahat ketika pensiun nanti. Sekarang, kata dia, bukanlah saatnya.
Dari sudut pandang United, ini adalah simbiosis mutualisme. ‘Iblis Merah’ sempat punya ketergantungan pada Bruno dan Bruno sendiri membalasnya dengan kontribusi positif. Torehan 47 gol dan 46 assist dalam 108 laga jelas bukan catatan sembarangan, menunjukkan Bruno memang sepenting itu buat lini serang United.
Yang menarik adalah bagaimana Bruno juga acap terlibat dengan kerja-kerja lain yang tidak menyangkut dengan penguasaan bola. Ambil contoh kinerjanya dalam melakukan pressing. Menurut catatan Fbref, ia rata-rata melakukan 17 pressing per 90 menit di Premier League musim ini—dan ini tidak hanya ia lakukan di final third (alias lini depan) saja.
Catatan yang Fbref lansir itu terbaca seperti ini: Bruno rata-rata melakukan 3,31 pressing per 90 menit di defensive third, 8,55 pressing di middle third, dan 5,14 pressing di final third. Untuk seorang gelandang ofensif, catatan ini tergolong impresif sekaligus menunjukkan bahwa Bruno punya work rate bagus.
Oleh karena itu, tidak jarang kamu bakal melihat Bruno berdebat dengan rekan setimnya sendiri soal siapa yang mestinya menutup ruang lawan atau mengejar lawan yang sedang menguasai bola. Bagi Bruno yang memperlakukan lapangan seperti arena bermain itu, mengejar bola sama menyenangkannya dengan membobol gawang lawan. Meski begitu, tidak melulu keputusan Bruno itu tepat.
Seperti halnya bocah yang beranjak dewasa, lambat laun Bruno mesti memahami bahwa tidak melulu segala sesuatu harus dilakukan dengan menggeber penuh tenaga dan antusiasme. Ada kalanya, ia harus menahan diri, melihat, dan menunggu untuk mendapatkan sesuatu yang lebih besar lagi.
Dalam hal melakukan pressing, tentu bakal repot kalau ia bertindak reaktif yang pada akhirnya justru membuatnya meninggalkan posisi dan berimbas muncul lubang di belakang dirinya. Oleh karena itu, perlahan tapi pasti, Ralf Rangnick, pelatih interim United, menata cara Bruno bermain dan role yang ia emban.
Pada suatu waktu, Rangnick mengatakan bahwa Bruno tidak hanya bisa bermain sebagai “nomor 10”—seperti yang selama ini ia lakukan di United— tetapi juga “nomor 8”. Dengan bermain sebagai “nomor 8”, area yang bisa Bruno cover justru lebih luas dan pengaruhnya terhadap permainan justru bakal lebih besar, tidak cuma terpatok pada gol dan assist saja.
Sebagai “nomor 10”, Bruno bakal menempati area di antara lini tengah dan lini depan. Hal ini bekerja dengan amat baik ketika para pemain depan United berisikan pemain-pemain yang bisa bergerak cair atau tidak diisi oleh seorang penyerang tengah murni. Dengan begitu, Bruno bisa leluasa membagi operan atau masuk ke dalam ruang yang tercipta oleh pergerakan pemain-pemain depan lainnya.
Lain soal ketika Cristiano Ronaldo datang dan ia menjadi titik fokus dari lini serang United. Area gerak Bruno, secara teori, menjadi lebih sempit. Oleh karena itu, untuk tetap memaksimalkan kemampuan ofensifnya, Rangnick beberapa kali memainkannya sebagai “nomor 8”. Ini berkaitan dengan perubahan formasi United menjadi 4-3-3 atau 4-1-4-1 dalam mode ofensif.
Dalam kedua formasi tersebut, Rangnick biasanya bakal memasang satu orang gelandang bertahan (entah itu Nemanja Matic atau Scott McTominay meski itu bukan posisi asli gelandang asal Skotlandia ini) dan memasang dua “nomor 8” pada diri Bruno dan Fred. Keduanya mendapatkan keleluasaan untuk menjelajah lapangan dengan tugas utama yang berbeda; yang satu untuk mengalirkan bola, sedangkan yang lainnya sebagai perebut bola.
Tentu saja, bermain sebagai “nomor 8” membutuhkan kedisiplinan tersendiri meskipun diberikan kebebasan bergerak. Pada intinya, Bruno tetap harus peka menjaga posisi dan tahu kapan waktunya melakukan pressing serta kapan waktunya menunggu.
Pertandingan melawan West Ham United, yang berkesudahan 1-0 untuk United lewat gol injury time Marcus Rashford, sesungguhnya bisa dipandang dari dua sisi. Sisi pertama, United kesulitan membongkar pertahanan West Ham hingga membutuhkan pemain-pemain yang sabar mengorek lini pertahanan (dan punya kemampuan teknis bagus) untuk mencetak gol; sisi kedua, lini tengah mereka bermain dengan disiplin malam itu.
Kedisiplinan itu juga terlihat pada diri Bruno yang makin peka situasi. Dalam peran barunya, ia tidak akan langsung bergerak maju untuk menghentikan lawan yang menguasai bola. Sebaliknya, ia disiplin menjaga posisinya dan sering berkomunikasi dengan Fred atau McTominay untuk mengawasi area masing-masing. Ini yang menjadikan West Ham cuma punya persentase 19% serangan lewat tengah pada pertandingan tersebut.
Kendati begitu, Bruno tidak kehilangan tajinya sebagai gelandang ofensif. Situs Understat mencatat, ia masih bisa membuat 4 umpan kunci pada laga tersebut. Kalau United mampu mempertahankan (atau bahkan mungkin mengasah kedisiplinan dalam bermain), bukan tak mungkin mereka mendapatkan Bruno dalam versi yang komplet.