Tanah Terjanji para Yankee

Markas Bologna, Stadio Renato dall'Ara. Bologna adalah salah satu klub Italia yang dimiliki pengusaha Amerika Utara. (Twitter/@BolognaFC1909en)

Sembilan klub Italia, tujuh di antaranya merupakan peserta Serie A, kini dikuasai oleh investor Amerika Utara. Mengapa jumlah mereka semakin banyak meskipun sang pionir, James Pallotta, gagal total bersama AS Roma?

Semua bermula di Roma, tujuh belas tahun silam, ketika Joe Tacopina pulang ke tanah leluhurnya.

Tacopina lahir dan besar di New York, Amerika Serikat. Di sana, dia membangun karier cemerlang sebagai pengacaranya para pesohor. Daftar klien Tacopina akan membuat mata siapa pun terbelalak. Ada Alex Rodriguez, Michael Jackson, Jay-Z, Daniel Snyder, lalu Sean Hannity. Mereka bukan orang sembarangan dan, ini artinya, Tacopina juga bukan orang biasa.

Saking populernya, Tacopina bahkan sampai menjadi inspirasi untuk sebuah serial televisi yang tayang pada awal 2000-an. Dibintangi aktor asal Australia, Simon Baker, serial "The Guardian" sempat menghiasi layar CBS selama tiga tahun. Karakter yang diperankan Baker, Nick Fallin, memiliki gaya yang sama dengan Tacopina kala beraksi di ruang pengadilan.

Sebagai pengacara yang sukses dan beken, Tacopina terbiasa mendapatkan segalanya. Namun, dalam perjalanan ke tanah leluhurnya, Italia, ada satu hal yang tak bisa dia dapatkan: Pengalaman menonton sepak bola yang layak.

Kendati lahir dan besar di Amerika, Tacopina tidak pernah kehilangan ke-Italia-annya. Dari seberang Atlantik, pria kelahiran 14 April 1966 itu senantiasa mengamati perkembangan sepak bola Italia. Dia pun kemudian menjadi penggemar AS Roma. Akan tetapi, AS Roma pulalah yang membuatnya kecewa pada kunjungan tahun 2004 itu.

“Papan skornya tidak berfungsi. Selain itu, ketika aku ingin membeli jersi untuk anakku, tak ada satu pun yang dijual. Stadionnya juga kotor,” keluh Tacopina kala itu, dikutip dari New York Times.

Joe Tacopina (tengah) menyaksikan pertandingan Venezia. (Twitter/@VeneziaFC_EN)

Tacopina kecewa, tetapi dia adalah seorang pengacara. Keahlian utamanya adalah mengeluarkan seseorang dari situasi sulit dan itulah yang kemudian dilakukannya untuk AS Roma. Tacopina mencatat segala kekurangan yang dia saksikan di Stadio Olimpico itu di kertas pembungkus sandwich-nya. Tacopina sulit menerima kenyataan bahwa klub sebesar AS Roma tidak dijalankan dengan semestinya. Dia pun pulang ke Amerika dengan satu tujuan: Mencari investor untuk membangkitkan Sang Serigala.

Catatan di kertas bungkus itu menjadi modal Tacopina. Namun, upaya sang pengacara mencari pemodal ternyata memakan waktu lama. Baru enam tahun kemudian dia berhasil meyakinkan sekelompok investor dari Boston untuk mengambil alih kepemilikan AS Roma dari Keluarga Sensi. Saat itu, patron Keluarga Sensi, Franco, telah meninggal dunia dan kepemilikan AS Roma berada di tangan sang putri, Rosella.

Akhirnya, pada 2011, Raptor Group yang berisikan James Pallotta, Thomas Di Benedetto, Michael Ruane, dan Richard D'Amore membeli kepemilikan AS Roma dengan harga 160 juta dolar AS. Tacopina sendiri ikut ambil bagian dalam pengambilalihan itu dan menjabat sebagai wakil direktur dari 2011 sampai 2013. Dari sinilah cerita dimulai.

***

Pallotta punya mimpi besar untuk AS Roma. Baginya, Roma sebagai sebuah kota memiliki jenama yang tiada duanya. Oleh karena itu, AS Roma sebagai (salah satu) perwakilan Kota Roma pun sudah selayaknya dikenal semua orang di dunia. Dalam kepalanya, AS Roma harus menjadi simbol Kota Roma serta Italia.

Mimpi besar Pallotta itu diwujudkan dalam sebuah rencana besar. Dia berniat membangun komplek stadion raksasa yang juga terintegrasi dengan jalur kereta api. Di komplek tersebut, rencananya, juga akan disediakan tempat untuk berbagai aktivitas, mulai dari ruang publik terbuka sampai pusat perbelanjaan. Proyek akbar itu diberi nama Stadio della Roma.

Rancangan Stadio della Roma (Twitter/@StadiodellaRoma)

Tak lama setelah Raptor Group mengakuisisi AS Roma, rencana pembangunan Stadio della Roma di Tor di Valle itu segera diaktifkan. Akan tetapi, mimpi besar Pallotta ini tak pernah terwujud. Alih-alih begitu, Stadio della Roma justru menjadi sumber kehancurannya sebagai pemimpin tertinggi Giallorossi.

Pallotta lupa bahwa Italia bukan Amerika. Italia adalah surga dan neraka sekaligus. Surga bagi para penunda, neraka bagi para pemimpi. Dalam proyek Stadio della Roma itu, Pallotta mesti menghadapi rintangan birokratis yang tak pernah dia bayangkan sebelumnya. Padahal, sebagian besar dana sudah dia kerahkan untuk menjalankan proyek ini.

Alhasil, penyesuaian harus dilakukan. Selagi proyek stadion mangkrak, masih ada klub yang harus dijalankan. Lantaran dana yang ada sudah dialokasikan untuk membangun stadion baru, AS Roma pun mesti rajin melakukan bongkar-pasang skuad untuk bertahan. Mereka menjual pemain bintang dengan harga tinggi lalu menggantikan mereka dengan pemain yang lebih murah. Harapannya, pemain murah tadi bisa makin hebat dan bisa dijual mahal pula. Begitulah modus operandi Roma dalam beberapa tahun terakhir masa kepemimpinan Pallotta.

Hingga akhirnya, pada 2020, Pallotta resmi mengibarkan bendera putih. Kepemilikan AS Roma dia serahkan kepada Dan Friedkin dengan harga sekitar 700 juta dolar AS. Mimpi besar Pallotta itu berakhir mengenaskan.

***

Apa yang dialami Pallotta semestinya menjadi pelajaran bahwa berinvestasi di persepakbolaan Italia bukanlah sesuatu yang cerdas. Meski demikian, setelah Pallotta menjadi pionir, jumlah investor asing, terutama dari Amerika Utara, justru semakin banyak. Teranyar, ada 777 Partners yang resmi membeli Genoa dari tangan Enrico Preziosi.

Dengan pembelian Genoa tersebut, artinya saat ini ada sembilan klub Italia yang dimiliki oleh investor dari Amerika Utara. Genoa, AS Roma, AC Milan, Fiorentina, Parma, Spezia, Venezia, dan Catania dimiliki orang Amerika Serikat, sementara Bologna dikuasai pengusaha Kanada. Ini belum termasuk Pisa yang dimiliki orang Rusia berpaspor Inggris-Amerika, Alexander Knaster.

Pallotta resmi menjadi pemilik AS Roma pada 2012. Sebelumnya, lewat Raptor Group, dia hanya menguasai 67% kepemilikan I Lupi. Baru pada 2012 itu Pallotta benar-benar menjadi penguasa baru di Trigoria. Dua tahun kemudian, setelah mundur dari Dewan Direksi AS Roma, Tacopina terlibat dalam proses akuisisi Bologna.

Namun, Tacopina tak bertahan lama di Bologna. Pada 2015, Joey Saputo datang dan mengambil alih kepemilikan klub. Tacopina lalu bergerak menuju Venezia dan membeli klub tersebut. Tacopina sendiri bertahan selama lima tahun di Venezia sebelum menjual sahamnya kepada investor Amerika lainnya, Duncan Niedarauer. Januari 2021 lalu, Tacopina resmi menjadi pemilik Catania yang kini bermain di Serie C.

Pada 2018, AC Milan juga jatuh ke tangan investor Amerika setelah pemilik sebelumnya, Li Yonghong, ternyata tidak sanggup membayar utang-utangnya. Sampai sekarang, Rossoneri masih menjadi milik Elliott Management Corporation yang dipimpin oleh Paul Singer.

Kemudian, pada 2019, pengusaha Amerika kelahiran Italia, Rocco Commisso, membeli Fiorentina dari tangan Keluarga Della Valle. Di 2020, Spezia dan Parma pun menjadi milik orang Amerika, masing-masing Robert Platek dan Kyle Krause. Seketika saja, sepak bola Italia jadi lahan yang tampak menggiurkan.

Ketika Raptor Group membeli saham mayoritas AS Roma pada 2011, Presiden FIGC kala itu, Giancarlo Abete, sebetulnya sempat menyayangkannya. Abete tidak rela kalau keluarga-keluarga Italia kehilangan kontrol atas klub-klub yang selama ini mereka naungi. Namun, jarum jam tidak bisa diputar kembali. Saat ini, sepertiga dari Serie A telah dimiliki oleh investor Amerika Utara.


Pertanyaannya, apa yang membuat para investor Amerika Utara itu berduyun-duyun datang ke Italia? Bukankah mereka sudah melihat apa yang terjadi pada Pallotta? Lalu, mengapa mereka tak belajar darinya?

Well, karena ini sepak bola. Bahwa sepak bola adalah sebuah bisnis dan industri, itu benar. Namun, sepak bola memiliki nilai sentimental dan prestise yang, terkadang, tidak bisa dimasukkan ke dalam logika. Ambil contoh Commisso, misalnya.

Commisso tidak lahir dan besar di Amerika. Dia orang Italia tulen yang beremigrasi ke Amerika. Maka, sepak bola pun betul-betul mendarah daging dalam dirinya. Bahkan, ketika berkuliah dulu, Commisso merupakan seorang atlet sepak bola di universitasnya. Ketika sudah menjadi miliarder lewat perusahaan TV kabelnya, Commisso pun seperti ingin berbuat sesuatu bagi perkembangan sepak bola Italia.

Motivasi Palotta kurang lebih sama seperti Commisso, begitu pula Tacopina, Saputo, dan Krause. Mereka semua punya darah Italia dan nyaris tidak ada hal yang lebih Italia selain sepak bola. Mereka sebetulnya tahu bahwa berinvestasi di sepak bola Italia tak ubahnya misi bunuh diri. Namun, dalam diri mereka, ada bocah kecil yang selalu merengek untuk jadi bagian darinya.

Lagipula, berinvestasi di sepak bola Italia tidaklah semahal berinvestasi di sepak bola Inggris. Berbagai masalah yang dialami sepak bola Italia, mulai dari stadion yang usang, minimnya pendapatan, sampai skandal-skandal yang terjadi membuat klub-klub Italia menjadi bernilai rendah. Artinya, ada harapan untuk menaikkan nilai klub-klub itu dan mencari keuntungan dari margin yang ada.

Elliott Group dan 777 Partners punya misi seperti itu, begitu juga dengan Platek serta Niedarauer. Mereka semua melihat adanya potensi dari sepak bola Italia. Potensi yang selama ini belum tergali lantaran birokrasi yang berbelit-belit. Potensi yang selama ini tak terlihat karena cerita-cerita tak sedap yang berulang kali muncul. Pallotta gagal karena dia hanya sendirian. Sekarang, dengan adanya sembilan pemilik asing ini, mereka bisa menjadi kelompok penekan baru untuk otoritas Italia.

Lagi-lagi, Commisso menjadi contoh terbaiknya. Sejak pertama kali jadi bos baru Fiorentina, dia sudah ingin merestorasi Stadio Artemio Franchi. Namun, karena stadion itu merupakan cagar budaya, upaya Commisso menemui jalan buntu. Maka, dia pun mengalihkan dananya untuk membangun kamp latihan baru terlebih dahulu.

Untuk sementara, proyek stadion dia kesampingkan sembari terus berkoar di media mengenai kebusukan birokrasi Italia. Harapannya, tentu saja, agar suatu hari nanti Commisso bisa punya cukup modal sosial untuk menghadapi para birokrat tanah kelahirannya.

***

Sejauh ini, keberadaan para pemilik Amerika Utara memang belum memberi perubahan signifikan bagi perkembangan sepak bola Italia. Akan tetapi, semua butuh waktu. Sebagai gambaran, Juventus yang dimiliki "bangsawan Italia" saja butuh tujuh tahun untuk menyulap Stadio delle Alpi menjadi Allianz Stadium. Memang tidak mudah untuk berbenah di Italia, tetapi bukannya tidak mungkin.

Sembilan pemilik Amerika Utara, dengan tujuh di antaranya berstatus pemilik klub Serie A, merupakan sebuah terobosan dalam persepakbolaan Italia. Tidak semua perubahan positif akan terlihat dalam waktu dekat. Namun, bisa dipastikan upaya modernisasi bakal semakin gencar dilakukan, setidaknya dalam lingkup internal klub terlebih dahulu.