Tangan Midas Luis Campos
Yang terpenting bagi Luis Campos bukan apa yang sekarang dilakukan seorang pemain, tetapi apa yang dilakukan pemain tersebut satu atau dua tahun lagi.
Jika tangan Raja Midas membuat apa pun yang disentuhnya menjadi emas, tangan Luis Campos membuat pesepak bola yang disentuhnya menjadi buruan klub besar.
Dalam tulisannya untuk Bleacher Reports, Tom Williams bertanya bagaimana kalau sebenarnya buruan terbesar di lapangan bola itu bukan pemain bintang seperti Kylian Mbappe, tetapi lelaki berkepala hampir botak seperti Campos?
Pertanyaan itu masuk akal karena pada dasarnya, Campos-lah yang pertama kali membukakan pintu bagi pemain-pemain yang pada akhirnya menjadi kenamaan. Nama Campos mulai jadi perbincangan ketika ia menjabat sebagai Direktur Olahraga Monaco.
Ketika tiba di Monaco pada 2013, Campos menyadari bahwa Mbappe tak senang berada di klub itu. Namun, ia melihat dengan jelas dan tahu persis bahwa Mbappe adalah pemain yang dibutuhkan Monaco. Dari titik itu, Campos juga percaya bahwa Mbappe juga membutuhkan Monaco agar dapat terus berkembang. Campos bermain siasat. Ia memindahkan Mbappe ke tim Monaco B agar dapat berlaga penuh di sana.
Perhitungan Campos, Mbappe hanya perlu waktu dua hingga tiga bulan untuk membuktikan bahwa ia adalah pemain yang dibutuhkan tim utama. Perhitungan Campos benar. Bermain di Monaco II, Mbappe mendapat jam terbang yang cukup. Lantas sejak 2016 anak muda ini berhasil menjadi tulang punggung Monaco. Yang terdengar setelahnya ada cerita-cerita gemerlap ala pemain bintang. Mbappe diboyong PSG seharga pada 2018.
Mbappe tidak menjadi satu-satunya pemain yang diselamatkan oleh Campos.Sebelum bertugas di Monaco, ia pernah terbang ke Copa Sao Paulo demi memantau pemain Fluminense yang berlaga melawan Paulinia yang merupakan tim senior Fabinho. Kala itu ia yakin akan ada pemain Fluminense yang tepat untuk klubnya.
Beberapa tahun sejak perjalanan itu ia mengingat Fabinho. Ketika itu, Fabinho tengah tertatih-tatih sebagai pemain Rio Ave. Lantas pada 2013, Campos justru memboyong sang pemain Brasil ke Monaco tanpa gembar-gembor.
Fabinho kemudian bertahan lama di Monaco, dari berstatus pemain pinjaman di 2013 menjadi permanen di 2015. Di sana pula posisinya berubah. Sejak di Fluminense, Castilla, Madrid, sampai di tiga tahun awal berseragam Monaco, Fabinho merupakan seorang full-back kanan.
Namun, pandangan Leonardo Jardim, pelatih Monaco kala itu, berganti. Menurutnya, masa depan Fabinho di pos full-back kanan akan suram. Jardim justru menilai pemain berkepala plontos ini akan punya masa depan cerah jika dipindahtugaskan jadi pemain tengah.
"Fabinho akan jadi gelandang terbaik yang akan kita lihat di Eropa," begitu kata Jardim saat ia dan orang-orang di AS Monaco sepakat untuk memperpanjang kontrak sang pemain pada 2016. Perhitungan Jardim tak keliru, penglihatan Campos tak keliru. Fabinho akhirnya melangkah ke Liverpool dan menjadi juara, bahkan juara Liga Champions. Bayangkan seperti apa jadinya nasib Fabinho jika Campos tak mengangkutnya ke Monaco?
Tangan Campos juga pernah menjangkau Bernardo Silva. Meski memiliki kecerdasan tinggi, Silva tersingkir di Benfica. Campos akhirnya mengajaknya untuk bergabung bersama Monaco pada 2014 sebagai pemain pinjaman. Ketika itu, Silva tahu ia bukan pemain pilihan pelatihnya, Jorge Jesus. Ia tak mendapatkan tempat di tim senior Benfica.
Itulah alasan Silva menerima pinangan Monaco. Lagi pula, waktu itu Dmitry Rybolovlev lagi gencar-gencarnya menggabungkan pemain veteran dan potensial dalam timnya, termasuk dua pemain Portugal, Ricardo Carvalho dan Joao Moutinho, yang kemudian membantu proses adaptasi Silva.
Orang-orang di Monaco heran bukan kepalang melihat Silva saat itu. Ini bukan perkara kagum dengan kemampuannya sebagai pesepak bola, tetapi posturnya yang begitu kecil. Mereka pikir, Silva hanya pemain ringkih yang akan menyusahkan tim.
Anggapan itu ternyata keliru. Silva langsung menjadi bagian integral skuad Jardim pada 2014/15. Spot winger kanan dalam wadah 4-2-3-1 rutin ia isi. Bersama Anthony Martial yang juga didatangkan Campos, Silva bahkan menjadi pencetak gol terbanyak Monaco di Ligue 1 musim itu lewat 9 golnya. Kemudian kita tahu apa yang Silva torehkan bersama Monaco dua musim setelahnya. The Monegasques menjadi kampiun Ligue 1 sekaligus memutus hegemoni Paris Saint-Germain selama empat musim lamanya.
Campos meninggalkan Monaco pada musim 2016/17 dan hengkang ke Lille, setelah Gerard Lopez membeli klub tersebut. Salah satu langkah pertama Campos adalah memboyong seorang analis oposisi yang saat itu kurang dikenal bernama Joao Sacramento. Ternyata periode tersebut menjadi awal yang sulit. Belum lagi hubungan tak akurnya dengan pelatih Lille saat itu, Marcelo Bielsa. Pada akhirnya, Campos yang menang. Bielsa meninggalkan Lille walau baru 13 kali memimpin laga.
Periode sulit Campos belum usai. Ia tidak merekrut pemain-pemain bernama besar. Dari situ, mau tidak mau ia harus melihat dengan jeli agar dapat merekrut pemain-pemain yang belum menjadi bintang. Selain memenuhi kebutuhan tim, langkah itu diperlukan karena dapat berpotensi meningkatkan pendapatan klub di masa depan. Caranya tentu dengan bertransaksi di bursa transfer.
Karena alasan itulah, pemain yang dipilih harus benar-benar tepat. Ia harus memiliki potensi yang dapat diolah sehingga dapat berkembang di Lille. Jika sudah ‘jadi’, pemain tersebut akan dipersilakan untuk menentukan masa depannya sendiri, bertahan di Lille atau hengkang ke tim lain.
Kiprah Campos lantas diakui sebagai direktur olahraga terbaik di Prancis. Tugas tersulit direktur olahraga adalah menemukan pemain yang tidak diketahui oleh siapa pun. Mudah untuk menemukan pemain hebat di klub seperti Liverpool atau Manchester City. Campos dinilai cerdik mendeteksi potensi pemain. Prinsip yang dipegang teguh oleh Campos sederhana: yang terpenting bukan apa yang dilakukan sekarang oleh pemain, tetapi satu atau dua tahun lagi.
Dalam tulisannya di The Athletic, Jack Pitt-Brooke menjelaskan bagaimana Campos mencari pemain yang tepat untuk klubnya. Campos tak hanya melihat dari catatan statistik dan sepak-terjang di lapangan, melainkan juga di sesi latihan. Ia mau pemain pilihannya tidak hanya hebat di lapangan, tetapi juga dapat menyatu dengan tim dan dibentuk di sesi latihan. Baginya, percuma pemain hebat tetapi tidak dapat disatukan dengan tim. Kecocokan itu juga harus bertahan lama, bukan hanya sesaat.
Kejelian Campos membentuk Lille menjadi lumbung baru pemain bertalenta. Mike Maignan yang sekarang menjadi pahlawan di depan gawang AC Milan itu berasal dari Lille. Begitu pula dengan Victor Osimhen yang sudah hengkang ke Napoli. Campos mengikat Osimhen dengan kontrak seharga 12 juta euro.
Dari situ, sang pemain Nigeria menjadi pencetak gol terbanyak Lille dan diinginkan oleh banyak klub Eropa. Ketika ia pergi, Lille pula yang ketiban untung. Jangan lupakan pula mega transfer Nicolas Pepe ke Arsenal. Ia datang dari Angers ke Lille seharga 10 juta euro. Dua tahun kemudian, ia melenggang ke Arsenal dengan harga tujuh kali lipat lebih tinggi.
Bursa transfer pada akhirnya menjadi panggung bagi Lille untuk bersinar. Klub ini tercatat mengeruk keuntungan tertinggi di antara seluruh klub di lima liga top Eropa jika diakumulasikan dalam 10 tahun terakhir. Pada periode tersebut, Lille meraup keuntungan penjualan pemain sebesar 349 juta euro. Di peringkat kedua ada Lyon yang mengamankan keuntungan penjualan pemain sebesar 247 juta euro. Di dalam angka tersebut, tentu ada peran Campos yang tak sedikit.
Perjalanan Campos bersama Lille berakhir pada 10 Juni 2022. Di hari tersebut, ia diangkat sebagai Penasihat Sepak Bola yang fungsinya fokus pada penampilan, perekrutan, dan dan organisasi tim. Bersama Campos, PSG diperkirakan akan mengubah berbagai banyak kebijakan terkait manajemen pemain. Entah apa yang akan dipersiapkannya. Yang jelas, Campos tengah berada di tapal batas baru, titik awal yang akan menentukan seperti apa nasibnya nanti: bertahan di tangan para konglomerat atau terdepak jauh entah ke mana.