Tanpa Osimhen, Napoli Tidak Baik-baik Saja

Selebrasi gol pemain Napoli. Foto: @officialsscnapoli

Spalletti adalah pelatih genius dan bernyali tinggi, tapi mencari pengganti Osimhen yang absen tiga bulan bukan perkara mudah.

Langkah Luciano Spalletti gontai saat menjejak rumput Giuseppe Meazza. Tatapannya pun sayu. Kekalahan Napoli jadi gara-garanya. Ya, skuad asuhannya itu takluk 2-3 di tangan Inter Milan pada pekan ke-13 Serie A, akhir pekan lalu.

Hasil tersebut sangat menyebalkan karena catatan tanpa kekalahan Napoli di liga berakhir. Meski masih berada di puncak klasemen, gap poin Napoli dengan Inter terkikis. Target melebarkan jarak dengan AC Milan yang bertengger di posisi dua pun lenyap.

Semakin menyesakkan karena Victor Osimhen cedera setelah tubrukan dengan Milan Skriniar. Tulang wajah Osimhen dilaporkan patah dan harus menjalani operasi. Butuh waktu 90 hari bagi pemain berkebangsaan Nigeria itu untuk pulih.

Kehilangan Osimhen adalah masalah bagi Spalletti. Pria 22 tahun itu menjadi sumber gol Napoli. Predikat sebagai pencetak gol terbanyak klub sejauh ini bukti sahihnya. Jika dikalkulasikan, ia sudah merangkum 9 gol di Serie A dan Liga Europa.

Osimhen pun bertugas sebagai pengakhir serangan. Itu dapat dilihat dari rata-rata tembakannya yang mencapai 3,3 per laga. Torehan itu tertinggi di Napoli. Jika melihat skema bermain Napoli, tugas Osimhen tidak melulu urusan gol. Untuk membedahnya, kita perlu lihat cara bermain Partenopei.

Napoli versi Spalletti adalah Napoli yang bermain dengan intensitas tinggi. Mereka seperti tidak membiarkan lawan merancang serangan dengan benar. Pressing tinggi pun diterapkan. Pemain depan akan memburu pemain lawan yang menguasai bola dengan segera.

Cara bermain seperti itu terlihat dari PPDA atau passes per defensive action. PPDA Napoli sejauh ini berada di angka 10,4 atau terendah ke empat di antara konstestan Serie A musim ini.

PPDA merupakan statistik yang bisa mengukur intensitas pressing sebuah tim. PPDA biasanya menghitung umpan yang terjadi di area pertahanan lawan saja. Sebab, pressing yang intens sudah dilakukan sejak area pertahanan lawan. Semakin dikit angka PPDA berarti semakin intens pula pressing yang dilakukan klub.

Gaya bermain seperti itu membuat Osimhen rutin memberikan pressure kepada bek lawan ketimbang menutup aliran bola. Kecepatannya sangat berguna untuk merusak build-up sekaligus membuat syok lawan. Dan Osimhen pandai menunaikan tugasnya.

Hal itu dibuktikan dengan catatan pressures Osimhen. Merujuk data FBref, jumlah pressures eks pemain Lille tersebut mencapai 135 kali dengan persentase pressure sukses 25,2 persen. Jumlah itu menjadi tertinggi kelima di Napoli setelah Fabian Ruiz, Andre-Frank Zambo Anguissa, Giovanni Di Lorenzo, dan Lorenzo Insigne.

Permainan menekan Napoli dilengkapi transisi bertahan-menyerang yang mumpuni. Banyak gol yang tercipta berkat tekanan-tekanan pemain depan, termasuk Osimhen. Dua gol ke gawang Inter menjadi buktinya.

Oh, ya, saat melakukan build-up dari lini belakang, Napoli versi Spalletti memainkan umpan-umpan pendek dengan pergerakan dinamis sampai memasuki sepertiga akhir pertahanan lawan.

Setelah mendekati kotak penalti lawan, gelandang Napoli akan menyodorkan umpan terobosan ke sisi kanan-kiri. Selain itu, Osimhen pun menjadi salah satu opsi umpan. Lagi-lagi, kecepatan Osimhen betul-betul diandalkan untuk meneror gawang lawan. Apalagi, ia sangat kuat melindungi bola.

Pergerakan Osimhen di area pertahanan lawan juga cukup dinamis. Ia rajin turun untuk menjadi opsi umpan dan membantu rekan-rekannya menembus barikade pertahanan lawan. Hal itu turut menopang daya ledak tepi Napoli. 

Heatmap Victor Osimhen. Foto: Sofascore

Deretan statistik dan gaya bermain itu memperlihatkan bahwa Osimhen adalah pemain krusial di lini depan Napoli. Maka saat ia absen, Spalletti harus putar otak.

Napoli memang masih mempunyai Andrea Petagna untuk mengisi pos penyerang tengah. Tapi, atribut Petagna tidak sekomplet Osimhen. Laga Napoli vs Spartak Moscow pada laga kelima Grup C Liga Europa, misalnya, pressing-pressing tinggi ke pertahanan lawan berkurang.

Petagna tidak mampu melakukan pressures sebaik Osimhen. Ia juga tidak mempunyai kecepatan untuk menerima umpan-umpan terobosan dari lini tengah, yang selama ini menjadi andalan Napoli.

Pada babak kedua laga Napoli vs Spartak Moscow, Spalletti mengubah skema menyerang. Tidak ada lagi umpan-umpan terobosan dari tengah ke depan. Mereka memainkan umpan pendek sampai kotak penalti lawan. Jarak antarpemain begitu rapat. Skema itu memudahkan Petagna untuk mengakhiri serangan.

Apa yang dilakukan Spalletti berbuah hasil. Petagna mampu mencatatkan satu asis. Meski begitu, daya ledak Napoli tidak sekuat sebelumnya. Buktinya, mereka tetap keok 1-2 dari Spartak Moscow. Kekalahan itu mengecilkan kans Napoli untuk lolos dari fase grup Liga Europa.

Jika keberadaan Petagna kurang optimal, Spalletti bisa berimprovisasi seperti yang ia lakukan saat mengarsiteki AS Roma pada musim 2005/06. Ketika itu, Roma krisis pemain depan. Antonio Cassano yang menjadi sumber gol hijrah ke Real Madrid. Kehadiran Mirko Vucinic pun tidak serta merta membuat lini depan Roma tajam.

Untuk mempertajam lini depan Roma, Spalletti menghidupkan kembali peran false nine. Ya, ia memainkan Francesco Totti sebagai penyerang dalam format 4-1-4-1. Totti sendiri merupakan gelandang serang pengatur serangan saat itu.

Apa yang diterapkan Spalletti berakhir indah. Roma tampil agresif dan Totti panen gol dengan rangkuman 32 lesakan. Berbicara gaya bermain, Roma saat itu tampil sangat cair. Totti mendapat kebebasan bergerak. Ia bisa ke kanan-kiri, depan-belakang.

Pergerakan Totti membuat pemain lain, mulai dari Mancini, Rodrigo Taddei, Simone Perrota, sampai David Pizzaro, leluasa untuk mengeksploitasi pertahanan dan meneror gawang lawan.

Laga melawan Inter pada final Coppa Italia 06/07 disebut-sebut sebagai penampilan terbaik Roma di Stadio Olimpico. Dalam laga itu, Roma bermain sangat mengesankan dengan determinasi tinggi dan menang 6-2.

Spalletti dapat meng-copy apa yang ia lakukan kepada Totti pada musim 2005/06 tersebut untuk menggantikan peran Osimhen. Pemain yang tepat untuk menggantikan Osimhen salah satunya adalah Lorenzo Insigne.

Insigne memiliki sejumlah kesamaan dengan Osimhen. Pertama, ia cepat. Kedua, kemampuan menekan lawan yang memegang sangat mumpuni. Mengacu data FBref, jumlah pressures Insigne mencapai 138 kali dengan persentase pressure sukses 29,0 persen.

Naluri mencetak gol Insigne meletup-letup. Musim ini, ia sudah merangkum 5 gol di Serie A dan Liga Europa. Selain itu, pria 30 tahun itu merupakan pencetak gol terbanyak Napoli musim lalu dengan torehan 19 gol.

Daya ledak Insigne jika mengembang peran false nine akan ditopang oleh gelandang-gelandang yang punya insting mencetak gol oke. Ada Fabian Ruiz dan Piotr Zielinski. Apabila dikalkulasikan, kedua pemain itu sudah mengemas 6 gol di Serie A.

Apapun keputusan yang diambil Spalletti untuk menggantikan peran Osimhen tentu sangat dinantikan. Apalagi, ia merupakan pelatih jenius dan bernyali tinggi. Ia siap menghadirkan kejutan di tengah kesulitan Napoli yang gagal menang dalam tiga laga terakhir.