Tantangan Julian Nagelsmann

Foto: Twitter @fcbayern

Begitu menerima tawaran melatih Bayern Muenchen, sederet tantangan bakal dihadapi oleh Julian Nagelsmann. Mampukah ia menyelesaikan semuanya dengan sempurna?

Dengan usia yang baru 34 tahun, Julian Nagelsmann seperti memasuki hutan belantara saat menerima tawaran melatih Bayern Muenchen. Dia tahu hutan itu berisi banyak hewan buas, tumbuhan beracun, tapakan terjal. Salah langkah sedikit saja, nyawanya bisa berada dalam bahaya.

Sejarah mencatat bahwa hutan itu adalah tempat yang sanggup melahap juru taktik sekaliber Carlo Ancelotti. Hutan itu pula yang sempat membuat Jupp Heynckes ‘disingkirkan’ dari tim treble winner-nya. Pep Guardiola, yang kelak menjadi pengganti, bahkan enggan bertahan lama.

Yang terkini adalah kisah tentang Hansi Flick. Para pemain menyukainya, para fans memujanya. Ketika enam gelar dalam satu tahun kalender berhasil dia persembahkan, semua rasa suka dan puja-puji itu kian membesar. Namun, sebuah konflik kecil dengan manajemen membuat ia terpaksa menepi.

Semengerikan itulah tempat yang kini Nagelsmann jejaki.

Banyak yang memujinya karena berhasil memasuki tempat itu dengan masa karier yang pendek. Setelah menyelamatkan Hoffenheim, lalu membuat RB Leipzig semakin berkembang, ia sudah diminta untuk memegang kemudi Die Roten. Semua terjadi dalam waktu singkat: Kurang dari lima tahun.

Walau begitu, sekali lagi, Bayern Muenchen adalah hutan belantara. Ia berbeda dengan Hoffenheim dan Leipzig. Agar bisa survive, Nagelsmann tak boleh sekadar meracik taktik mumpuni, sebab tempat itu jauh berbeda dengan dua tempat sebelumnya.

Di sini, yang dituntut adalah kesempurnaan.

Tantangan Pertama

Salah satu masalah yang membuat tiga pelatih terakhir Bayern — tanpa menghitung Jupp Heynckess dan William Sagnol yang berstatus interim — tersingkir adalah hubungan yang buruk. Pertama, hubungan buruk dengan pemain. Kedua, hubungan buruk dengan manajemen dan petinggi.

Kita mulai dari Carlo Ancelotti. Pada musim keduanya di Bayern, Ancelotti jadi sorotan karena performa tim yang memburuk. Jelang pertengahan 2017/18, Bayern bahkan terlempar dari dua besar. Semua tambah parah usai kekalahan 0–3 dari Paris Saint-Germain di Liga Champions.

Kekalahan itu membuka banyak tabir yang memang sudah tercium sejak beberapa pekan sebelumnya. Ternyata, hubungan Ancelotti dengan sejumlah pemain teramat buruk. Tiga di antaranya dengan Robert Lewandowski, Franck Ribery, dan Arjen Robben.

Satu nama lain yang juga bermasalah adalah Thomas Mueller. Kepada media, Mueller mengaku tidak dimainkan dengan peran terbaiknya. Inilah yang bikin performanya kala itu menurun drastis. Pada musim pertama Ancelotti, cuma lima gol yang Mueller bikin.

Sial buat Ancelotti, keempat nama tersebut adalah para pemain penting Bayern. Mereka juga merupakan nama-nama yang cukup vokal di dalam skuad, terutama Mueller. Ucapannya sanggup memengaruhi ruang ganti tim, bahkan jajaran manajemen dan para petinggi.

Lantas, ketika kabar ini sampai ke mulut Presiden Bayern Uli Hoeness, rencana untuk menendang Ancelotti keluar dari Allianz Arena muncul. “Ada lima pemain yang melawan Carlo Ancelotti. Mustahil bisa keluar dari situasi seperti itu,” ujar Hoeness.

Yang berikutnya ada Niko Kovac. Seperti Ancelotti, selain performa tim yang memang jeblok, masalah yang membuat ia terlempar dari kursi pelatih adalah hubungan yang buruk dengan pemain. Seperti Ancelotti pula, yang bermasalah itu adalah nama-nama penting.

Kalau Hansi Flick lain lagi. Ia tak punya hubungan buruk dengan pemain. Ia justru sangat dekat dengan semuanya. Mueller merasa kariernya membaik bersama Flick, begitu pula dengan Jerome Boateng. Bahkan Marc Roca menerima semua keputusan Flick meski jarang dimainkan.

Yang kemudian jadi masalah adalah hubungan buruknya dengan Hasan ‘Brazzo’ Salihamidzic, Direktur Olahraga Bayern. Pangkalnya adalah ketidakpuasan Flick terhadap beberapa keputusan transfer. Di sisi lain, komunikasi kedua orang ini cenderung bermasalah.

Konon, Flick juga tak disukai beberapa petinggi karena dianggap tidak bisa memahami situasi. Ini ada kaitannya dengan COVID-19. Karena pandemi tersebut, keuangan Bayern agak terbatas. Sementara itu, Flick beberapa kali meminta pemain-pemain dengan harga mahal.

Kondisi-kondisi seperti itulah yang jadi tantangan pertama buat Nagelsmann. Dia mesti mencuri hati para pemain, sekaligus membuat manajemen dan jajaran petinggi menyukainya.

Sejauh ini, Nagelsmann menunjukkan indikasi bahwa dua aspek itu bisa dia taklukkan. Beberapa pemain juga sudah memberi komentar-komentar bernada pujian. Roca, misalnya, yang mengatakan bahwa kepekaan Nagelsmann terhadap detail bisa membuatnya lebih berkembang.

Soal menjalin hubungan baik dengan pemain, Nagelsmann memang sudah terjamin. Omongan-omongan dari penggawa Hoffenheim dan Leipzig tentangnya selalu bernada positif. Angelino mengaku ingin terus bermain di bawahnya. Bahkan nama-nama yang lebih tua dari Nagelsmann seperti Sandro Wagner juga menyanjungnya setinggi langit.

Kondisi yang tak mengherankan karena selain sangat memperhatikan perkembangan tiap pemain, Nagelsmann juga punya pendekatan komunikasi yang sangat efektif dan manusiawi. Ketimbang membicarakan kesalahan pemain di tempat terbuka, ia lebih suka berbicara empat mata.

Ucapan Nagelsmann baru-baru ini menjelaskan semuanya.

“Ketika saya melihat kembali karier saya, saya tak hanya ingin dikenal sebagai pelatih yang baik. Saya juga ingin para pemain mengatakan bahwa saya adalah pribadi yang baik. Para pelatih bisa dilupakan dengan cepat daripada bagaimana sikapnya di depan para pemain,” ucap Nagelsmann.

Kesan serupa juga selalu dia tunjukkan di hadapan jajaran manajemen. Dengan kondisi begini, tampaknya Nagelsmann tak bakal mengalami masalah serupa Flick. Bahkan baru-baru ini Salihamidzic dan Presiden Bayern, Herbert Heiner, melontarkan pujiannya untuk Nagelsmann.

Penyebabnya? Karena Nagelsmann bisa memahami kondisi finansial tim saat ini. Selain itu, Nagelsmann juga pernah berucap sesuatu yang membuat Heiner yakin bahwa dia tak melakukan keputusan salah saat menggantikan Flick dengan sosok 34 tahun tersebut.

“Saya suka saat ia menjawab pertanyaan ‘siapa yang akan bertanggung jawab atas transfer di masa depan?’ Dia mengatakan bahwa klub yang bertanggung jawab, apa yang akan terjadi di masa depan, dan yang membayar biaya transfer. Jadi klub harus selalu memegang keputusan terakhir,” tutur Heiner.

Tantangan Kedua

Ketika ditanya siapa yang bertanggung jawab atas kesuksesan Bayern sedekade terakhir, Uli Hoeness selalu menyebut bahwa salah satunya adalah Louis Van Gaal. Hoeness sebetulnya punya hubungan buruk dengan pelatih asal Belanda itu, tetapi ia mengakui peran besar Van Gaal.

Kata Hoeness, Van Gaal-lah yang membuat Bayern benar-benar berubah. Skema 4–3–3 dan beragam turunannya seperti 4–2–3–1, juga keinginan untuk selalu menguasai bola, semua bermula dari Van Gaal. “Jupp Heynckes dan Pep Guardiola kemudian mengembangkannya,” jelas Hoeness.

Semua peninggalan Van Gaal pada akhirnya menjadi inti permainan Bayern selama beberapa tahun terakhir ini. Siapa pun sosok yang ditunjuk sebagai juru taktik, maka pendekatan demikianlah yang digunakan, terutama skema bermain. Entah itu 4–3–3 atau 4–2–3–1.

Nagelsmann, sementara itu, tak terlalu akrab dengan dua skema tersebut. Di Hoffenheim ia kerap menggunakan skema dasar tiga bek. Malah, saat melatih RB Leipzig, ia secara perlahan meninggalkan skema 4–2–2–2 peninggalan mahaguru Ralf Rangnick.

Nagelsmann lantas menyulap Leipzig menjadi tim yang sangat mengoptimalkan wing-back dalam sistem tiga bek. Bakal agak rumit jika ia berencana menerapkannya di Bayern. Bahkan berdasarkan ucapannya belum lama ini, skema itu tampaknya tak bakal jadi pilihan utamanya.

Nagelsmann mengatakan bahwa Bayern tetap akan bermain dengan skema yang sudah akrab dengan mereka. Walau begitu, satu yang pasti: Nagelsmann ingin membuat Bayern jauh lebih fleksibel. Selama ini, ia memang dikenal sebagai pelatih yang sangat adaptif.

Jika mesti mengubah hingga 5 kali formasi bisa membawanya memenangi pertandingan, Nagelsmann tak segan melakukannya. Itulah kenapa Leipzig asuhannya jadi tim yang paling sering mengganti formasi di Bundesliga musim lalu, yakni sembilan kali.

“Saya tak menyukai formasi tertentu karena itu cuma angka,” kata Nagelsmann. “Tentu itu cara termudah untuk mengidentifikasi hal yang terjadi di lapangan, tetapi saat pertandingan dimulai, banyak hal di luar dugaan yang bisa terjadi.”

Tantangan Ketiga

Kecuali Leroy Sane, semua yang diminta Hansi Flick musim lalu tak ada yang terpenuhi. Thiago Alcantara dan David Alaba enggan memperpanjang kontrak, lalu Kai Havertz dan Sergino Dest tak berhasil didatangkan. Flick malah disuguhi Eric Maxim Choupo-Moting hingga Bouna Sarr.

Masalahnya adalah budget super tipis akibat pandemi. Mengingat pandemi belum usai, kondisi seperti inilah yang mesti Nagelsmann hadapi. Bahkan tanda-tanda bahwa dia tak akan didukung budget berlimpah sudah terlihat sejak jauh hari sebelum bertugas.

Namun, hal seperti itu sepertinya tak bakal jadi masalah berarti buat Nagelsmann. Pertama, meski tak spesial-spesial amat, skuad Bayern saat ini masih sangat bisa bersaing diandalkan. Kedua, Nagelsmann dikenal sebagai pelatih yang bisa mengoptimalkan talenta pemain.

Jika dia masih muda, Nagelsmann bakal memolesnya. Seandainya dia redup, Nagelsmann membuatnya terang kembali. Angelino, Timo Werner, Sandro Wagner, Niklas Suele, Marcel Sabitzer, Kevin Kampl, Christopher Nkunku, Nordi Mukiele, Dayot Upamecano. Panjang sekali daftarnya.

Tantangan Keempat

Tak ada yang lebih penting kecuali meraih trofi demi trofi. Pada akhirnya, inilah tujuan utama Bayern mendatangkan Nagelsmann.