Tapal Batas Pioli

Foto: Instagram acmilan

Di tepi lapangan, hampir di setiap pertandingan, Stefano Pioli mengaburkan batas antara pahlawan dan cecunguk.

Di tepi lapangan, hampir di setiap pertandingan, Stefano Pioli mengaburkan batas antara pahlawan dan cecunguk. 

Suporter AC Milan tidak bisa tidak bersorak ketika tim mereka kembali ke Liga Champions pada musim 2021/22. Ini pertama kali setelah delapan musim. Mereka percaya bahwa di tempat inilah seharusnya Milan berada.

Pioli adalah unsur penting yang membuat upaya membangunkan raksasa tidur berjalan. Ia menjadikan rumor kedatangan Ralf Rangnick yang sempat merebak terdengar konyol. Manajemen tak mau lagi melakukan kesalahan sama di bursa transfer. Alih-alih membakar uang, Milan lebih irit dan mendatangkan para pemain lewat negosiasi cerdik dan alot. Bukan sekali dua kali keputusan transnfer mereka membuat suporter mengerutkan dahi, menerka apakah si pemain bakal menjadi penyelamat atau perusak.

Pioli dengan pilihan yang secara kasatmata terlihat seadanya justru bergerak leluasa. Pemain-pemain seperti Sandro Tonali dan Theo Hernandez tidak hanya diorbitkan, tetapi juga ditempa menjadi permata yang membuat Milan bergelimang kemenangan.

Orang-orang melihat kisah 'The Buried Giant' yang ditulis oleh Kazuo Ishiguro yang diejawantahkan dalam perjalanan sebuah klub sepak bola. Jika dalam novel tersebut pasangan tua, Axl dan Beatrice, menempuh perjalanan panjang untuk mencari anak mereka yang hilang, dalam kisah Milan, dua orang tua--Paolo Maldini dan Pioli--bergegas menembus semak demi bertemu dengan Milan yang mereka kenal.


Milan tersebut adalah Milan yang terkubur dan tertinggal. Kejayaan tinggal cerita lama, ia ibarat legenda yang tak mungkin terjadi lagi sehingga cerita turun-temurun menjadi satu-satunya cara untuk membuatnya bertahan hidup. Ketika suporter Liverpool, Inter, dan Manchester City bergempita atas kehebatan tim mereka di masa kini, suporter Milan hanya bisa membusungkan dada atas gelimang prestasi di masa silam. Bagi para pencinta Milan, itu adalah cara bertahan hidup yang paling masuk akal.

Milan pada akhirnya kembali ke Eropa. Pioli menjadi pahlawan karena berhasil mengantar timnya ke tanah terjanji. Namun, di tanah berlimpah susu dan madu itu pula mereka babak-belur. Dihantam kekalahan demi kekalahan sehingga terlempar lagi. Bahkan di Liga Europa pun, Milan tak berkutik.

Pioli membentuk Milan menjadi tim yang mengandalkan permainan langsung dan cepat. Dengan cara itu mereka berharap dapat segera mencetak gol dan mengunci kemenangan. Sayangnya, permainan demikian terlampau muda di panggung elite Liga Champions. 

Tak semua tim terpancing dengan permainan Milan. Ingat-ingat lagi laga perdana Milan melawan Liverpool. Meski sempat tampil impresif, Milan kepayahan dan kebobolan gol cepat di babak kedua. Setelah turun minum, Liverpool tampil lebih dewasa sehingga sanggup mengontrol tempo dan menyeret Milan dalam jebakan permainan mereka.

Berlaga sekejap di Liga Champions untuk menjadi pesakitan. Ungkapan itu yang dilemparkan kepada Pioli atas kekalahan demi kekalahan yang menghantam di perburuan Si Kuping Besar. Sesaat menjadi pahlawan, lalu Pioli menjadi cecunguk.

Namun, bukan demikian yang terlihat di mata pemain Milan.

***

Ketika Milan menunjuk Pioli sebagai pelatih pada 2019, entah berapa banyak suporter yang kecewa. Bagaimanapun, Pioli adalah mantan pelatih Inter Milan, rival terberat sepanjang hayat. Apesnya, Pioli juga tidak sanggup mempersembahkan trofi apa pun buat Inter Milan. Semuanya serba-tanggung dan Milan tak butuh lagi sosok yang hanya memberikan narasi hampir: Hampir bangkit, hampir menang, hampir juara, hampir berjaya.

Pada kenyataannya, Pioli menjado orang yang tepat pada saat yang tepat untuk Milan. Pelatih 56 tahun ini tidak hanya sanggup mendidik, tetapi juga "mengemong" Milan yang berkomitmen untuk meregenerasi skuad. Milan telah melalui serangkaian guncangan transisi sebelum pengangkatannya pada Oktober 2019. Mulai dari dijual oleh Silvio Berlusconi kepada Li Yonghong yang penuh teka-teki, yang menyerahkan kendali dalam waktu dua tahun ke hedge fund, Elliott Management, setelah gagal membayar pinjaman.


Ada pula aktivitas belanja yang kacau--nilainya mencapai 100 juta euro--pada 2018. Namun, Milan ternyata hanya membutuhkan waktu sekitar tiga tahun untuk menghidupi kebijakan yang lebih koheren dengan merekrut talenta-talenta muda dan hanya sesekali menggaet veteran. Salah satu contohnya adalah Zlatan Ibrahimovic yang sampai saat ini masih jadi panutan bagi para pemain muda. 

Pioli membuat Milan yang awalnya tampak biasa-biasa saja menjadi lebih buas. Terlepas dari berbagai polahnya yang tak jarang membuat Milanisti berang dan statusnya sebagai "warisan" Mauro Giampaolo, Franck Kessie di bawah asuhan Pioli dapat diperhitungkan sebagai salah satu gelandang bertahan paling menjanjikan. Pun demikian dengan Gianluigi Donnarumma yang kian matang di depan mistar gawang walau akhirnya memutuskan menerima pinangan PSG. Puji Tuhan kini mereka memiliki Mike Maignan yang sangat dapat diandalkan untuk melindungi gawang.

Bagi para pemain muda Milan, Pioli adalah pelatih yang memberikan ruang bagi mereka untuk bersenang-senang di lapangan. Rafael Leao adalah pemain yang memiliki kecepatan mumpuni. Kualitas itu pula yang memampukannya melakukan dribel melewati pemain lawan. Masalahnya, terkadang Leao justru tampil menantang para pemain bertahan walau situasinya terlihat tak mungkin. Pioli mengakui kecenderungan anak asuhnya yang satu ini. 

Namun, dalam wawancaranya bersama Nicky Bandini untuk The Guardian, Pioli justru menyebut bahwa watak Leao yang seperti itu tak jarang membuatnya tersenyum. Ia memang tidak melepas para pemain mudanya begitu saja, tetapi menyadari bahwa para pemain muda, termasuk Leao, membutuhkan kebebasan untuk bersenang-senang di pertandingan. Selama tidak merusak permainan tim, Pioli akan mempersilakan mereka untuk bersenang-senang.

"Bersenang-senang adalah kebutuhan dasar setiap orang orang. Kami juga berusaha mewujudkannya di tim. Tentu saja kami berusaha keras untuk bermain serius, berkomitmen, dan profesional. Namun, sepak bola adalah renjana, kesenangan. Saat kamu melatih pemain-pemain muda, kamu harus membuat mereka bertanding dengan antusias,"  papar Pioli kepada The Guardian.

Memenuhi kebutuhan profesional dan renjana sekaligus menegaskan bahwa ide dasar yang dibawa Pioli ke Milan selalu tentang keseimbangan. Ia mengubah 4-3-1-2 Giampaolo menjadi 4-2-3-1. Dengan formasi tersebut, Milan bisa tampil sangat solid dalam membangun serangan. 

Selain itu, Milan punya kebebasan dalam menyerang karena dalam skema ofensif mereka memiliki 6-7 orang pemain dalam mode menyeramh. Salah satu atau kedua fullback bisa naik dan satu DM bisa menambah kreativitas. Ia juga bisa menjadi orang pertama yang memutus serangan balik. Dengan begitu, Milan bermain dalam keseimbangan tim. Jika tidak dihantam badai cedera, lini pertahanan Milan pun menjadi salah satu yang tersolid. Begitulah, Pioli tampaknya benar-benar harus memikirkan bagaimana memastikan lini pertahanannya tak rapuh usai winter break.

Pun demikian dengan struktur skuad. Meski didominasi oleh pemain muda dan mengusung misi regenerasi, Milan juga memiliki para veteran yang sarat pengalaman. Bahkan juara Piala Dunia macam Olivier Giroud yang tak lagi muda bukan hanya jadi pemanis bangku cadangan. Ia tetap bisa diandalkan sebagai striker mematikan.

***

Lima belas pertandingan lagi. Itulah waktu yang dimiliki Pioli untuk membuktikan bahwa ia bukan pelatih "hampir" belaka. Ia, dengan segala yang ada di tangannya, harus bisa mewujudkan apa yang tertanam dalam kepala para suporter: Gelar juara.

Dengan waktu yang tak panjang-panjang amat itu, Milan tetap punya kans untuk menggamit scudetto. Toh, kini mereka ada di peringkat tiga, berjarak empat poin dari Inter, si pemuncak sementara. Namun, menyalip Inter bukan perkara mudah. Jangan lupa, sialnya, Milan belakangan tampil angin-anginan. Tak perlu jauh-jauh membicarakan hasil imbang melawan Juventus. Melawan Spezia pun, Milan kalah 1-2. 

Performa yang demikian sedikit banyak membangkitkan kenangan menyebalkan musim lalu. Setelah tampil perkasa di paruh musim, Milan justru sering tergelincir di paruh kedua sehingga akhirnya hanya menutup musim sebagai runner up.

Bagi tim yang baru bangkit kembali, menjadi runner up jelas pencapaian besar. Namun, Milan adalah Milan. Label sebagai juara Eropa, raksasa Italia, dan sebagainya, telanjur melekat sehingga tak menjadi juara bermusim-musim sama dengan perkara memalukan. Jika tergelincir kembali, bukan tak mungkin Pioli hanya akan menjadi pesakitan. Hebat di awal musim, melempem di tengah jalan. 

Situasi ini pula yang membuat Pioli ibarat berdiri di antara dua titik. Titik pertama sangat dekat dengan gelar pahlawan, titik kedua begitu dekat dengan label cecunguk. Titik mana yang akan dipijaknya, semua bergantung pada apa yang terjadi di akhir musim.