Tentang Arti Kita… Pada Hattrick yang Sempurna

Alvin Martin (ketiga dari kanan, memegang bola) setelah laga melawan Newcastle United. Foto: theyflysohigh.

Apa, sih, hattrick yang sempurna itu? Apakah cuma sekadar mencetak gol dengan kaki kanan, kaki kiri, dan sundulan? Lalu, bagaimana bila mencetak hattrick lewat tiga gol ke tiga kiper berbeda?

Kita mengenal begitu banyak istilah dalam dunia sepak bola, meski beberapa di antaranya menurut kami hanya menjadi kitsch belaka —ambil contoh: ‘Sepak Bola Menyerang’. Beberapa lainnya biasanya menjadi perdebatan sampai mampus di tempat yang banalnya minta ampun: Linimasa media sosial.

Tanpa bermaksud untuk menambah perdebatan-perdebatan tidak penting soal istilah-istilah dalam sepak bola, izinkan kami bertanya, apa, sih, sebetulnya yang bisa disebut sebagai hatttrick yang sempurna itu?

Kita tentu sudah sering mendengar dan membacanya, ‘the Perfect Hattrick’. Biasanya, untuk mendefinisikannya sebagai hattrick yang sempurna, penulis (atau siapa pun pemberi label maupun pengucapnya) memberikannya kepada para pemain yang sukses mencetak gol dengan kaki kanan, kaki kiri, dan sundulan dalam satu pertandingan.

Lantas, apabila ada pemain yang mencetak gol dengan kaki kanan, kaki kiri, dan yang terakhir (katakanlah) dengan pinggul, apakah itu tidak menjadi sesuatu yang sempurna? Apa yang membuat kedudukan kepala, sebagai alat untuk melakukan sundulan, menjadi di atas pinggul? Toh, mencetak gol dengan bagian selain tangan dan lengan tetap dianggap sah.

Tapi, ya, sudahlah… Kami akan membiarkan Anda memikirkannya setelah membaca tulisan ini. Kami tidak mengharapkannya bikin Anda menjadi berkontemplasi. Tapi, kalau sampai Anda memikirkannya seolah-olah itu sepenting arti hidup, kami tidak bertanggung jawab.

Perkara hattrick, ada banyak perkara menarik. Misal, tentang kiper yang mencetak tiga gol dalam satu pertandingan. Tidak banyak “tersangka”-nya untuk urusan yang satu ini. Oleh karena itu, apabila Anda menyebut nama Jose Luis Chilavert, kami akan membenarkannya. Chilavert pernah melakukannya pada 28 November 1999, ketika kesebelasannya, Velez Sarsfield, mengalahkan Ferro Carril 6-1.

Lalu, pernahkah Anda mendengar nama Alvin Martin? Well, kiprahnya sebagai pemain bola sudah lama berakhir. Ia pensiun setelah bermain bersama Leyton Orient pada 1997. Sebelum itu, dari 1978 hingga 1996, ia menghabiskan waktunya bersama West Ham United.

Martin sebetulnya seorang scouser, lahir dan besar di Liverpool sebelum menimba pengalaman di tim akademi Everton. Namun, sebelum menjalani karier profesionalnya, ia pindah ke London Timur dan mengasah diri di akademi West Ham.

Alvin Martin pada sebuah laga bersama West Ham

Bersama West Ham, melakoni 469 pertandingan liga. Dari total ratusan laga tersebut, ada satu pertandingan yang akhirnya mengabadikannya dalam salah satu kisah paling unik dalam dunia sepak bola. Martin disebut-sebut telah mencetak hattrick paling langka dalam sejarah olahraga ini.

21 April 1986, West Ham menjamu Newcastle United di Upton Park. Setidaknya 25.000 penonton hadir pada pertandingan tersebut, dan mereka sepertinya belum tahu bahwa mereka akan menjadi saksi dari serangkaian cerita dengan hattrick Martin sebagai twist-nya.

Newcastle datang ke Upton Park dalam kondisi serbasulit. The Guardian, lewat David Lacey, sempat meramalkan bahwa kalau Newcastle tampil semelempem ketika menghadapi Chelsea —pertandingannya berakhir 1-1, omong-omong— beberapa hari sebelumnya, The Magpies bakal kemasukan banyak gol.

Martin Thomas, kiper utama Newcastle ketika itu, sebetulnya sedang cedera. Namun, karena pelapisnya cedera pada pertandingan melawan Chelsea, Thomas mau tak mau mesti tampil sebagai starter pada laga melawan West Ham.

Jeff Clarke, palang di jantung pertahanan Newcastle, juga kudu absen karena cedera lutut. Jadilah Newcastle tampil dengan sedikit pincang. Dan The Magpies boleh jadi mengalami salah satu hari paling aneh dalam sejarah mereka.

“United sebaiknya melupakan saja hasil akhirnya. Saya tidak pernah melihat sebuah tim mengalami begitu banyak kesialan hanya dalam satu laga,” ujar asisten pelatih West Ham yang kebetulan seorang Geordie, Mick McGiven.

Kami beri tahu saja: West Ham menang 8-1 pada pertandingan tersebut. Untuk makin memperburuk keadaan bagi Newcastle, bek mereka yang baru sembuh dari keracunan makanan, Glenn Roeder, bikin gol bunuh diri pada pertandingan tersebut. Sedangkan satu pemain lainnya, John Anderson, terpaksa main dengan cedera —waktu itu, Liga Inggris cuma boleh mengizinkan satu pergantian pemain. Jangankan berlari, menendang bola saja Anderson sulit.

Martin, yang bermain sebagai pemain belakang, ketiban untung. Ia memelintir pisau yang sudah tertikam dalam-dalam di tubuh Newcastle. Hari itu, Martin mencetak hattrick ke gawang yang dikawal tiga kiper berbeda.

Gol pertama ia sarangkan ke gawang Thomas, yang sudah kepayahan dengan kondisinya sendiri (ingat, dia sudah cedera bahkan sebelum pertandingan dimulai). Pada babak kedua, Thomas menyerah. Posisinya digantikan Chris Hedworth, seorang centre-half.

Martin kemudian satu kali membobol gawang Hedworth, sebelum Hedworth akhirnya cedera dan cuma bertahan 30 menit sebagai penjaga gawang. Posisinya kemudian digantikan oleh pemain outfield lainnya, Peter Beardsley. Sama seperti Thomas dan Hedworth, Beardsley juga kebagian gol Martin.

Martin sebetulnya hampir tidak mencetak hattrick itu. Ketika West Ham mendapatkan penalti, Ray Stewart sebetulnya lebih layak maju untuk mengambilnya karena dialah algojo tim. Namun, Martin memohon untuk mengambilnya dengan tujuan untuk menorehkan trigol pada laga tersebut.

“Saya tidak pernah mengeksekusi penalti sebelumnya. Malah, itu satu-satunya penalti yang saya eksekusi sepanjang karier saya. Harus saya bilang, Peter tidak membuat saya takut,” kata Martin.

Martin pulang dengan tersenyum. Ia mendapatkan match ball dan sebuah cerita, lengkap dengan beragam ocehan pelatihnya karena nekat mengambil penalti itu.