Tentang Erik ten Hag

Foto: @AFCAjax

Erik ten Hag sedang jadi perbincangan karena kesuksesan di Ajax dan rumor keterkarikan klub top Eropa. Memangnya, siapa Ten Hag dan seperti apa taktik atau filosofinya?

Ajax adalah Amsterdam dan Amsterdam adalah Ajax. Keduanya tak bisa dipisahkan. Ajax dibangun, dibesarkan, dan diangkat derajatnya oleh orang-orang Amsterdam. Pun sebaliknya. Martabat Amsterdam sebagai kota sepak bola terangkat berkat Ajax.

Bukan kebetulan pula bahwa jika membaca sejarah tentang Ajax, kamu akan menemukan fakta bahwa sebagian besar pelatih sukses mereka adalah orang asli Amsterdam. Rinus Michels lahir di Amsterdam. Johan Cruyff tumbuh di rumah yang jaraknya hanya lima menit dari Amsterdam ArenA. Louis van Gaal juga sama, lahir dan tumbuh di Amsterdam.

Kalaupun tak lahir di Amsterdam, Ajax akan mencari seorang pelatih yang punya 'Ajax-blood'. Ini agar mereka mengerti betapa besarnya Ajax dan betapa besarnya Amsterdam. Ronald Koeman memilikinya, Frank de Boer tentu saja, dan Danny Blind pun begitu. Bahkan seorang Marcel Keizer yang gagal total saja punya. Memang ada pengecualian, tapi pengecualian itu tak akan diambil jika sang pelatih tak spesial-spesial amat.

Karenanya, ketika Erik ten Hag pertama kali ditunjuk jadi manajer Ajax, tak sedikit yang mengerenyitkan dahi. Ten Hag jelas bukan orang Amsterdam. Ia lahir di Haaksbergen, sebuah desa besar di wilayah Twente, timur Belanda. Sepanjang karier ia juga tak pernah bermain untuk Ajax. Klub paling tenar sepanjang kariernya sebagai pemain hanya FC Utrecht dan FC Twente.

Pun soal pengalaman melatihnya. Ten Hag sebelumnya tak pernah berada di klub mentereng. Memang ia pernah melatih Bayern Muenchen, tapi itu hanya Bayern Muenchen II. Klub terakhirnya sebelum tiba di Ajax pun cuma FC Utrecht. Pembedanya, di tiap klub yang ditangani, Ten Hag selalu mendatangkan legasi meski mungkin belum cukup membuatnya dipandang.

Ten Hag pun tak mengenal Amsterdamse Bluf. Ia tak gemar mendongak. Jika Anda perhatikan, Ten Hag lebih gemar menunudukkan sedikit kepalanya ketika berbicara di hadapan wartawan. Ia berbicara dengan aksen Belanda Timur dan terkadang gerak-geriknya terlihat seperti orang Jerman. Ten Hag memang agak kaku dan tak terlalu ekspresif, juga cukup keras kepala.

Namun, Marc Overmars, Direktur Sepak Bola Ajax, tahu betul bahwa Ten Hag adalah sosok yang tepat. Karenanya, ketika tim sedang jatuh di bawah Keizer dan Dennis Bergkamp--yang saat itu berstatus asisten--Overmars tahu harus memanggil siapa untuk memperbaiki Ajax. Pada Desember 2017 itu, ia menelepon Ten Hag untuk menawari posisi sebagai pelatih.

Overmars memang mengetahui kapabilitas Ten Hag karena keduanya pernah bekerja sama di Go Ahead Eagles pada medio 2012-2013. Saat itu Overmars berstatus sebagai pemegang saham klub dan Ten Hag berstatus sebagai pelatih. Overmars paham bahwa taktik Ten Hag bisa menyelamatkan klub kesayangannya dari keterpurukan.

Kita kemudian tahu bahwa Ten Hag tak cuma berhasil menyelamatkan Ajax, tetapi juga mengangkat klub ini untuk terbang tinggi lagi. Pada musim penuh pertamanya (musim 2018/19), Ten Hag berhasil membawa Ajax meraih trofi Eredivisie yang sudah empat musim terakhir pindah ke tangah PSV atau Feyenoord.

Tak cuma itu, di musim itu kita juga mengetahui bahwa Ajax menulis kisah luar biasa di Liga Champions. Ten Hag berhasil membawa Dusan Tadic dkk. menembus babak semifinal. Itu adalah pertama kalinya Ajax menembus fase gugur Liga Champions setelah terakhir kali melakukannya pada musim 2005/06.

Pada musim 2018/19 itu, Ajax berhasil mengalahkan Real Madrid dan Juventus di babak 16 besar dan perempat final. Mereka juga hanya kalah karena aturan gol tandang dari Tottenham Hotspur di semifinal. Ajax tampil luar biasa di musim itu dan, hebatnya lagi, itu dilakukan dengan skuad yang didominasi pemain muda.

Ten Hag juga berhasil membawa pulang sepak bola yang indah dan atraktif ke Amsterdam. Ajax dibuatnya kembali menari. Orang-orang menyebut sepak bola Ten Hag sebagai Total Football 2.0. Sepak bola Ten Hag, kata Edwin Van der Sar, CEO Ajax, adalah sepak bola yang akan membuat Johan Cruyff senang jika ia bisa menyaksikannya.

Sebagaimana Total Football, fondasi sepak bola Ten Hag adalah penguasaan bola dan kemampuan mengutilisasi ruang. Total Football 2.0 atau sepak bola miliknya itu lantas bertumpu pada tiga hal: Pergerakan tanpa bola (off-the-ball run), penempatan posisi, dan pergerakan orang ketiga (third man run).

Itulah yang membuat penguasaan bola Ajax begitu cair. Pemain selalu bisa menemukan ruang untuk melepas umpan atau menempatkan diri sebagai opsi umpan. Selain itu, bola bisa dijalankan dengan cepat karena ketepatan posisi tadi. Ditambah pemain Ajax juga lihai soal urusan melepaskan umpan satu sentuhan.

"Umpan dan terus maju, tariklah lawan," begitu kata Ten Hag soal penguasaan bola Ajax yang cepat dan cair. Itu lantas terbukti dari catatan mereka di Liga Champions musim ini. Catatan penguasaan bola Ajax adalah yang tertinggi ketiga. Mereka mencatatkan rerata 62,5% penguasaan bola per laga dengan persentase umpan sukses sebesar 87,8%.

Mereka bukan hanya mendominasi penguasaan bola, tetapi juga berhasil mengontrol jalannya pertandingan. Ini terbukti dari bagaimana mereka mampu terus menciptakan peluang berkualitas, sekaligus juga berhasil meminimalisir peluang lawan. Catatan di Liga Champions musim ini bisa dijadikan contoh.

Sejauh ini (empat laga), Ajax mampu mencatatkan angka harapan gol (xG) 11,1. Dari catatan itu, mereka mampu mencetak 13 gol. Ajax begitu klinis. Angka itu bahkan jadi yang terbaik ketiga di antara semua kontestan. Sementara angka ekspektasi kebobolan via open play (npxGA) mereka hanya 2,9 dan dari situ Ajax baru kebobolan dua gol. Catatan npxGA mereka jadi yang terbaik keempat.

Soal menciptakan peluang itu, pemosisian dan pergerakan pemain tadi yang jadi kuncinya. Pertama, Ten Hag biasanya akan menginstruksikan para pemainnya untuk mengisi semua koridor lapangan (flank/sayap, half-space, tengah) ketika sudah memasuki area lawan. Tujuannya: Untuk memperbanyak opsi yang pada akhirnya membuat serangan tak gampang putus dan untuk selalu menarik perhatian lawan.

Pemosisian ini juga menarik karena penempatan posisi tak mesti saklek. Pemain depan seperti Sebastian Haller bisa saja berada di half-space, pemain sayap seperti Dusan Tadic pun bisa berada di tengah, dan para full-back pun acap masuk ke area half-space atau tengah. Mereka (khususnya Daley Blind) diberi role sebagai inverted full-back.

Yang menarik, soal itu, Ten Hag mengaku terinspirasi dari Pep Guardiola. "Saya ingat bagaimana Pep berlatih dengan memindahkan full-back-nya ke tengah," ujar Ten Hag dalam wawancaranya dengan Sueddeutsche Zeitung. Guardiola merupakan salah satu sosok pelatih yang menjadi inspirasi Ten Hag.

Blind (pegang bola) acap masuk ke tengah/half-space sebagai gelandang ekstra.

Dalam wawancara yang sama, ia bercerita bagaimana saat masih melatih Bayern II, dia selalu menyaksikan latihan Bayern-nya Guardiola. Itu membuat Ten Hag belajar dan dari situ ia mengerti satu hal penting: Tentang cara mentransfer filosofi seorang pelatih ke lapangan. Sejauh ini hal itu tak hanya berhasil ia mengerti, tapi juga berhasil ia praktikkan.

Soal kedua yang penting dari sistem serangan Ajax-nya Ten Hag adalah pemain yang dituntut untuk terus bergerak. Dengan atau tanpa bola. Seperti yang sudah ditulis di atas, pemain akan rajin bergerak untuk menemukan ruang kosong. Namun, lagi-lagi, mereka juga bergerak untuk menarik perhatian lawannya. "Lure the opponent," begitu kata Ten Hag.

Salah satu contoh bisa dilihat dari aksi Noussair Mazraoui ini:

Mazraoui melepas umpan ke Berghuis, lalu bergerak tanpa bola ke dalam kotak penalti.
Pergerakan tanpa bola Mazraoui membuat pemain belakang Dortmund tertarik dan menghasilkan jalur tembakan buat Berghuis.

Bagi pelatih berkepala plontos ini, semua pergerakan pemain ada gunanya. Ketika bola sedang bergulir di kanan, misalnya. Pemain sayap yang berada di kiri jauh juga harus terus bergerak dengan dua tujuan: Pertama, untuk siap jika rekan melakukan switch play. Kedua, untuk membuat lawan tetap waspada dengannya, sehingga diharapkan terjadi kerenggangan di pertahanan lawan dan dari situ muncullah ruang kosong.

Penempatan posisi yang jitu dan pergerakan tanpa bola yang cerdik membuat Ajax gampang mendapatkan peluang. Kenapa? Karena mereka, seperti kata Ten Hag di video yang belakangan viral itu, berhasil memunculkan beberapa pemain no.10 (pemain pencipta peluang yang biasanya berada di belakang striker). Bahkan pergerakan tanpa bola saja bisa menghasilkan peluang karena menghadirkan ruang kosong.

Semua bisa menciptakan peluang. Makanya tak heran kalau di Eredivisie musim ini, sudah ada 10 pemain Ajax yang menciptakan setidaknya satu assist. Di Liga Champions yang baru empat pertandingan, jumlahnya pun sudah tujuh pemain. Bahkan 19 dari 23 pemain yang pernah diturunkan Ten Hag di 23 pemain yang pernah diturunkan Ten Hag di seluruh kompetisi sudah pernah setidaknya melepas satu umpan kunci.

Soal bertahan, Ten Hag menerapkan aturan tiga detik (three seconds rule) untuk Ajax. Itu adalah aturan yang membuat para pemain harus bisa merebut bola kembali dari lawan dalam waktu tiga detik setelah kehilangan bola. Berat, tetapi dari situlah Ajax tumbuh sebagai tim yang sulit dibobol. Dari 14 laga di Eredivisie dan Liga Champions musim ini, mereka baru kebobolan empat gol.

Aturan tiga detik itu membuat para pemain Ajax harus lihai dalam melakukan pressing. Di Liga Champions, persentase pressing sukses mereka mencapai angka 30,3%. Sebagai konteks, persentase pressing sukses tertinggi di Liga Champions dipegang Liverpool dengan angka 38,5%. Catatan Ajax itu jelas tak buruk, bahkan lebih baik ketimbang Manchester City, Bayern Muenchen, atau bahkan Manchester United.

Soal efektivitas dalam melakukan pressing, yang dihitung berdasarkan statistik passes per defensive action (operan yang dilakukan lawan sebelum sebuah tim coba merebut bola kembali dengan aksi defensif), Ajax menempati urutan dua di bawah Chelsea. Catatan PPDA mereka, seperti dihimpun The Athletic, ada di angka 8,0.

Jika tidak sukses dalam melakukan pressing, Ajax bisa meminimalkan serangan lawan lewat pengorganisasian pertahanan yang rapat. Jarak antarlini dan jarak antarpemain dekat sehingga mereka mudah melakukan overload untuk mengepung lawan. Ini juga memudahkan pemain melakukan support ketika rekannya bisa dilewati lawan.

Well, pada akhirnya, itu semua yang membuat Ajax-nya Ten Hag begitu memukau. Membuat mereka berhasil menjuarai Eredivisie dua kali dan menembus semifinal Liga Champions sekali. Dan itu diciptakan Ten Hag lewat proses pembelajaran yang panjang. Sejak kariernya sebagai asisten pelatih hingga menjadi dirinya yang sekarang.

Ten Hag mungkin terinspirasi dari Guardiola atau pelatih Ajax sebelumnya macam Michels, Cruyff, atau Van Gaal. Namun, seperti yang ia katakan, "I'm not a copy of somebody else." Dia melatih dengan caranya sendiri. Dia melatih dengan cara Ten Hag dan apa yang ditampilkan Ajax di atas lapangan adalah sepak bolanya Ten Hag.

Ten Hag punya ide, punya filosofi, dan punya kepribadiannya sendiri sebagai pelatih. Ia kaku, tak terlalu ekspresif, bicara to the point, tetapi tetap sederhana dan rendah hati. Tak besar (meski mungkin keras) kepala. Dan itu semua, seperti tulis Willem Vissers di de Volkskrant, yang membuat Ten Hag cocok dengan Ajax meski tak punya Amsterdam-blood atau Ajax-blood.

Segala hal itu pula yang membuatnya diincar (atau dikaitkan) dengan banyak klub tenar Eropa. Memang tak salah tertarik dengan Ten Hag. Namun, jika boleh saran dan berharap: Ten Hag sebaiknya tetap di Ajax, membangun legasi seperti apa yang pernah dilakukan Michels, Cruyff, atau Van Gaal.