Tentang Kesabaran

Foto: Twitter Bayer Leverkusen

Manajemen Bayer Leverkusen, Werder Bremen, dan Manchester United punya pandangan masing-masing soal kesabaran terhadap pelatih mereka.

Erik ten Hag hanya bertahan dua laga Bundesliga di Bayer Leverkusen. Dua laga.

180 menit sudah cukup untuk meyakinkan manajemen Bayer Leverkusen untuk tidak memperpanjang jasa pelatih asal Belanda itu. 180 menit sudah cukup untuk membuat manajemen menyatakan sikap: Kesabaran kami sudah habis.

Saya ada di Weserstadion siang itu, di laga terakhir Ten Hag bersama Leverkusen. Dan bila sebelum laga saya ditanya siapa yang akan lengser lebih dulu: Ten Hag atau pelatih anyar Werder Bremen Horst Steffen, saya akan jawab Steffen.

Well, sebagai konteks, sebelum laga Bremen vs Leverkusen itu dimulai, Steffen gagal membawa timnya lolos dari ronde pertama DFB Pokal menghadapi tim dari kompetisi level dua Arminia Bielefeld dan baru saja keok 1-4 di laga pembuka Bundesliga dari Eintracht Frankfurt.

Rangkaian kekalahan pada laga pre-season juga membuat keyakinan saya terhadap Steffen menipis. Namun, pertandingan siang itu mengubah pandangan saya.

Foto: Twitter Bayer Leverkusen


Hasil pertandingan imbang 3-3, tapi plotnya seperti ini: Leverkusen unggul 2-1, kapten Bremen Niklas Stark terkena kartu merah menit 63, Leverkusen unggul 3-1 satu menit setelahnya, dan kemudian Bremen mencetak dua gol pada menit 76 dan 90+4 untuk membuat laga berakhir 3-3.

Yang kemudian membuat pandangan saya berubah bukan hanya soal ketidakmampuan Ten Hag membawa anak asuhnya memertahankan keunggulan dan menang saat menghadapi 10 pemain, tapi tentang bagaimana anak asuhnya bermain.

Ten Hag memang bukan (lagi) pelatih yang dogmatis. Era di Manchester United menunjukkan bahwa ia mengesampingkan sistem yang membawanya meroket bersama Ajax untuk membuat sepak bola timnya menjadi lebih fleksibel.

Namun, melihat pertandingan Leverkusen siang itu, saya tak melihat fleksibilitas, juga tak melihat pola atau struktur yang ajeg untuk membuat Ten Hag berada dalam kategori dogmatis. Ia hanya ada di antara.

Timnya bermain dengan struktur, tapi selama 90 menit, struktur itu tak mampu membawa Leverkusen yang benar-benar mampu mengontrol laga dengan dominasi penuh dan keganasan di sepertiga akhir.

Saya juga melihat berkali-kali Ten Hag berteriak, memberikan instruksi dengan tegas, menunjukkan kekecewaan, saat pemainnya tak berada dalam posisi yang ia inginkan.

Leverkusen juga terlihat bermain seperti kurang energi, kurang arah. Bila fleksibilitas yang diberikan, pemain terlihat tak bisa mengejawantahkan kebebasan dengan baik. Tak mampu mencetak gol lebih banyak dan justru kebobolan dua gol saat lawan bermain 10 orang jelas menunjukkan kelimbungan Leverkusen.

Saya juga melihat Ten Hag mengubah struktur Leverkusen pada saat laga memasuki satu jam, melihat bagaimana ia tak puas karena Axel Tape-Kobrissa tak mampu menjaga kelebaran sesuai dengan keinginannya.

Pada akhir laga, saya bertaya pada Ten Hag tentang perubahan itu, karena nyatanya perubahan yang ia lakukan tak membuahkan hasil, dan ia memang mengakui bahwa ia tak puas dengan pemosisian para pemain di lapangan, dan menyatakan bahwa seharusnya timnya bisa lebih nyaman menyerang, memegang bola karena unggul jumlah pemain.

Namun, jawaban Ten Hag itu seolah menyiratkan bahwa memang belum ada koneksi antara dirinya dan pemain. Bahwa kedua pihak masih belum bisa “nyambung”. Bahwa masih ada salah-menyalahkan di sini, yang seharusnya bisa terminimalisir bila kedua pihak sudah menemukan chemistry, kepercayaan, satu sama lain.

Direktur Olahraga Bayer Leverkusen Simon Rolfes baru-baru ini mengungkapkan kepada Bild bahwa keputusan memecat Ten Hag sudah diambil bahkan sebelum laga vs Bremen ini. Dan apa yang terjadi di Weserstadion semakin membulatkan, bahwa memang tak bakal ada progres bila Leverkusen terus bersama Ten Hag.

Leverkusen lantas menunjuk Kasper Hjulmand sebagai pengganti Ten Hag dan mereka mampu meraih kemenangan perdana di Bundesliga bersama pelatih asal Denmark itu.

Secara permainan Leverkusen memang belum sepenuhnya membaik, tapi ada sinyal bahwa mereka berprogres dan, yang paling kentara, adalah soal bagaimana energi tim terlihat jauh lebih berapi-api dalam dua laga terakhir bersama Hjulmand.

Di sisi yang berbeda, Steffen masih tetap bersama Bremen. Setelah laga menghadapi Leverkusen itu, Bremen akhirnya mampu meraih kemenangan perdana di Bundesliga (meski kemudian keok lagi).

Namun, energi yang diperlihatkan para pemain Bremen menunjukkan bahwa mereka (hingga sejauh ini) memang percaya dengan sistem yang diterapkan Steffen.

Bahwa memang butuh waktu untuk beralih dari sistem tiga bek Ole Werner yang menuntut permutasi posisi yang unik dan sudah bertahun-tahun diaplikasikan di Bremen, ke sistem empat bek Steffen yang lebih rigid dan struktural.

Foto: BlueSky Werder Bremen

Manajemen pun, sejauh ini, masih menunjukkan rasa percaya. Bahwa membangun tim dengan sistem baru baru, ditambah kehilangan pemain kunci, entah karena cedera atau transfer, adalah proses yang memang berdarah-darah.

Manajemen Leverkusen pun tahu akan hal itu. Namun, ada sinyal-sinyal yang memang menjadi perbedaan: Chemistry, kepercayaan antara pelatih dan pemain, energi di lapangan, tutur kata di konferensi pers, sikap di pinggir lapangan, reaksi terhadap kekalahan, dsb.

Bahwa sinyal-sinyal itu lebih dimiliki oleh Steffen bersama Bremen ketimbang Ten Hag bersama Leverkusen.

***

Di Inggris, bekas timnya Ten Hag, Manchester United, menjadi tim yang terus-menerus dihubungkan dengan kesabaran. Tentu saja terhadap pelatih mereka Ruben Amorim.

Hingga saat ini, manajemen masih sabar terhadap pelatih asal Portugal itu. Untuk tim yang hanya finis beberapa strip di atas zona degradasi, dua kemenangan dan satu hasil imbang dari lima laga awal Premier League memang merupakan hal yang cukup baik.

Namun, sampai saat ini Amorim tidak menunjukkan sinyal-sinyal bahwa sistem (bukan formasi), yang sangat ia percayai, bisa berjalan dengan baik untuk membuat Manchester United naik kelas.

Beberapa kali pula pemain, dalam konferensi pers, menyatakan bahwa ketidakmampuan mereka menghadapi beberapa lawan (dengar Bruno Fernandes seusai vs Manchester City) adalah berkat mudahnya struktur mereka ditembus. Struktur tentu berkaitan dengan sistem.

Sinyal bahwa Amorim bisa membawa United meroket setelah diberi kesabaran sebagaimana Mikel Arteta bersama Arsenal atau Jürgen Klopp bersama Liverpool masih terlalu kecil. Akan butuh waktu yang lebih lama untuk sampai ke sana, kecuali ada perubahan-perubahan atau keajaiban-keajaiban di masa depan.

Sama seperti Steffen di Bremen, Amorim memang benar-benar mengubah cara bermain tim. United menjadi jauh lebih dogmatis ketimbang era penuh fleksibilitas ala Ten Hag. Namun, rasanya era adaptasi sudah selesai mengingat Amorim sudah menjalani setengah musim, pramusim penuh, plus belanja besar-besaran.

Musim ini seharusnya menjadi musim di mana kerja Amorim dinilai betul, di mana progres dan sinyal-sinyal positif dari timnya menjadi pokok-pokok yang akan membuat manajemen memilih untuk memertahankannya.

Manajemen Bayer Leverkusen menunjukkan bahwa dalam sepak bola profesional, tak apa-apa bila tak memiliki kesabaran ketika tak ada sinyal yang terlihat untuk tim menjadi lebih baik. Manajemen United rasanya juga tahu akan hal ini.

Akan tetapi, mereka sepertinya masih belum merasa bahwa apa yang dilakukan Amorim sudah separah apa yang dilakukan Ten Hag. Mungkin ini akan berbuah penyesalan, atau bisa juga akan membawa mereka terbang tinggi karena sudah berani percaya proses.