Tentang Mereka yang Memilih Bertahan

Ini tentang tim-tim yang bermain lebih bertahan karena pelatih mereka memilih menjadi realistis.
Ketika berbicara soal permainan yang ideal dalam sepak bola, mungkin banyak orang akan merujuk pada permainan menyerang, penuh penguasaan bola dengan umpan dari kaki ke kaki, yang berujung pada peluang yang begitu banyak. Menyerang jadi kata kunci.
Namun, sialnya, kata ideal bagi satu klub akan berbeda dengan klub lain. Sering kita temui bahwa permainan ideal bagi sebuah klub adalah dengan cara bertahan: Meminggirkan dominasi penguasaan demi meminimalisir peluang berbahaya lawan, mengorbankan kuantitas peluang dan mengedepankan efektivitas, berpegang teguh untuk mendapatkan nirbobol.
Dan tentu saja, tak ada yang salah dengan itu. Pragmatis tak berarti buruk. Terkadang pelatih hanya sadar bahwa cara terbaik bagi timnya untuk mampu kompetitif dalam sebuah kompetisi adalah dengan mengedepankan pertahanan; bertahan sekuat tenaga untuk mampu meraih poin demi poin.
Musim ini, di liga-liga top Eropa, saya bisa memberi setidaknya dua klub dalam kategori ini: St. Pauli dan Getafe.
***
“Saya ingin para pemain saya memiliki mentalitas seperti ini: Mereka harus merayakan aksi defensif sama bahagianya dengan saat mereka mencetak gol.“ Alexander Blessin, pelatih St. Pauli, berkata demikian usai timnya meraih nirbobol ketujuh mereka musim ini. Pada laga vs Union Berlin akhir pekan kemarin itu, St. Pauli menang 3-0.
Catatan tujuh clean sheet yang ditorehkan St. Pauli sejauh ini adalah catatan terbaik ketiga di Bundesliga. Mereka hanya tak lebih baik dari Bayern München dan RB Leipzig. Secara total, St. Pauli juga hanya kebobolan 21 gol dari 19 pertandingan—hanya Bayern yang punya catatan lebih baik.
Kini klub asal Hamburg itu mampu duduk di posisi 13 klasemen dengan raihan 20 poin. Poin demi poin yang diraih St. Pauli (antara lain) berkat kemampuan mereka dalam bertahan. Dan secara general, ini sebuah catatan yang cukup apik dari tim promosi yang juga merupakan salah satu klub dengan valuasi skuad terkecil di Bundesliga.
Well, Blessin sebagai pelatih sebenarnya tak memilih pendekatan bertahan pada awal-awal musim. Ia membawa ide pressing intens yang dipegangnya teguh sejak lama, sejak awal karier di Belgia, Italia, sampai ke Belgia lagi bersama Union Saint-Gilloise. Ide yang membawa namanya cukup dikenal di dunia taktik.
Namun, bersama ide itu St. Pauli menelan hasil-hasil buruk, seperti keok di tiga laga awal Bundesliga. Lantas alih-alih meneruskan ide pressing-nya itu, Blessin memilih menyesuaikan pendekatannya. Ini bukan semata menjadi pragmatis, tapi lebih menyadari bahwa skuad yang ia miliki di St. Pauli bukanlah skuad yang memiliki kapabilitas untuk bermain dengan ide pressing.
Blessin memilih menjadi realistis. Dan menjadi realistis, saya kira, adalah penunjuk kematangan seorang pelatih. Bahwa memiliki ide maupun idealisme memang diperlukan, dan memegang teguh itu adalah sebuah hal yang mengagumkan. Akan tetapi, untuk kemudian menyadari bahwa sepak bola adalah kerja-kerja kolektif, memutuskan untuk menyesuaikan untuk kepentingan bersama, adalah keputusan yang arif.
Dalam konteks St. Pauli, Blessin memutuskan untuk menurunkan intensitas pressing timnya. St. Pauli hanya akan menekan di waktu yang tepat, untuk kemudian lebih sering menunggu di kedalaman dengan pola 5-4-1. Mereka berusaha membuat lawan menembak tepat sasaran sedikit mungkin, mencoba membuat lawan menyentuh bola sesedikit mungkin di kotak penalti mereka.
Meski menunggu di kedalaman, Blessin juga tidak menghilangkan aspek agresif dalam timnya. Bek-bek tengah St. Pauli, misalnya, akan mendekati lawan yang mereka jaga dan berusaha melakukan aksi defensif saat lawan tersebut masih menghadap gawangnya sendiri. Blessin menginginkan pasukannya bermain agresif untuk meminimalisir adu lari, meminimalisir pergerakan tanpa bola ke area belakang pertahanan mereka.
Mereka juga bisa menjadi fleksibel, bisa menerapkan penjagaan man-to-man maupun zona. St. Pauli bisa menutup area tengah dengan baik, dan lebih menyasar area-area tepi untuk melakukan duel dengan lawan-lawannya (sebab di sana bola lebih mudah dimenangkan kembali). Saat dibutuhkan, Blessin juga mampu membuat timnya lebih berani menguasai bola demi alasan keamanan pertahanan.
Saya melihat sendiri di Millerntor bagaimana St. Pauli membuat Union Berlin kesulitan menciptakan peluang-peluang berbahaya. Tim tamu pada akhirnya memang mampu melepaskan 14 tembakan, tapi hanya dua yang tepat sasaran dan secara total angka ekspektasi gol yang dimiliki Union hanyalah 0,88. St. Pauli juga kalah penguasaan bola malam itu, tapi mereka adalah pemenang pertandingan.
Lantas, dalam empat laga di awal tahun ini, St. Pauli hanya kebobolan dua gol dan nirbobol dua kali. Satu gol yang bersarang di gawang mereka pun dicetak oleh bintang, Omar Marmoush, yang kini main di Manchester City. Pertahanan St. Pauli mendapat pujian, dan bila pada akhirnya mereka bertahan di Bundesliga, pujian itu akan makin terdengar lebih nyaring.
***
Di Spanyol, Getafe baru saja merayakan lima laga tanpa kalah beruntun dengan mengalahkan Real Sociedad 3-0 akhir pekan kemarin. Pekan sebelumnya, mereka mampu menahan imbang Barcelona yang tengah berapi-api dengan skor 1-1. Bila Real Madrid saja kebobolan lima gol dari Barcelona yang sama, hanya kebobolan satu jelas sebuah prestasi.
Saat ini, Getafe ada di posisi 14 klasemen sementara La Liga dengan raihan 23 poin dari 21 laga. Yang mengagumkan memang bukan itu, tapi adalah fakta bahwa mereka baru kebobolan 17 gol—catatan yang lebih baik dari Barcelona dan Real Madrid. Catatan nirbobol mereka ada di lima besar, serta jumlah tembakan tepat sasaran yang mengarah ke gawang mereka adalah yang paling sedikit ketiga di liga.
ESTO ES FÚTBOL, PAPÁ 🥸 pic.twitter.com/hgCcv9yXW0
— Getafe C.F. (@GetafeCF) January 26, 2025
Dan di balik pencapaian itu, ada sosok Pepe Bordalas di baliknya. Dan seperti Blessin, Bordalas sebenarnya bukanlah penganut paham bertahan. Ia sendiri pernah mengakuinya, dan berkata bahwa role model-nya dalam melatih adalah Johan Cruyff. Namun, Bordalas tidaklah melatih Barcelona atau tim-tim yang punya skuad dengan kapabilitas untuk melakukan apa yang dilakukan Cruyff.
Dan, sama seperti Blessin, ia memilih menjadi realistis. Lantas, alih-alih memilih untuk bermain dengan penuh penguasaan bola, fokus menyerang, Bordalas justru membuat Getafe-nya bermain sangat efisien (dengan objektif untuk bertahan). Getafe adalah tim dengan umpan paling sedikit di La Liga musim ini. Tapi untuk apa mengumpan banyak-banyak kalau kau bisa meminimalisir jumlah sentuhan lawan dengan cara lain.
Cara yang dilakukan Getafe itu adalah dengan bermain agresif. Tak ada tim di La Liga yang memiliki jumlah pelanggaran lebih banyak dari Getafe. Secara intensitas pressing pun, catatan Getafe ada di tiga teratas La Liga. Pasukan Bordalas akan membuat tim lawan tak nyaman dan tak bisa berlama-lama menguasai bola. Kalau pun lawan mampu, Getafe akan memastikan mereka menutup segala ruang.
***
Russell Martin bersama Southampton atau saat ini Ange Postecoglou bersama Totenham Hotspur menjadi bukti beberapa pelatih yang kesulitan saat lebih memilih untuk mengedepankan ide atau idealisme mereka, ketimbang memilih menyesuaikan diri dan menjadi realistis dengan skuad yang mereka miliki. Sekali lagi, memiliki idealisme adalah sesuatu hal yang membanggakan, memertahankannya adalah hal yang mengagumkan.
Namun, pelatih seperti Blessin dan Bordalas juga membuktikan bahwa konteks penting. Terkadang ide atau idealisme yang dimiliki tak bisa dimasukkan ke dalam konteks tertentu, dan itu berarti penyesuaian perlu dilakukan. Kemudian, Blessin dan Bordalas memilih untuk membuat timnya bermain lebih bertahan, dengan cara mereka masing-masing. Dan sejauh ini, cara itu mampu membawa tim mereka menjadi lebih kompetitif di kompetisi masing-masing. Bahwa dengan bertahan, mereka mampu membuat timnya bertahan.