Tentang Potret Materazzi dan Rui Costa

Ilustrasi: Arif Utama.

Di Milan, pakaian merah hitam dan biru hitam menjadi pemisah antara tribune selatan dan utara, San Siro dan Giuseppe Meazza, kelas pekerja dan pejabat teras, AC Milan dan Internazionale Milan.

Mark Twain punya suatu adagium: Bahwa pakaian membentuk manusia menjadi seseorang, bahwa mereka yang telanjang tidak akan punya pengaruh apa-apa dalam masyarakat.

"Clothes make the man. Naked people have little or no influence in society," kalimat itu dapat dibaca dalam buku More Maxims of Mark, kumpulan tulisan Twain yang dikompilasikan oleh Merle Johnson.

Lewat adagiumnya itu Twain menelanjangi apa yang sebenarnya ada pada sehelai pakaian. Katanya, pakaian menjadikan seseorang dipasung oleh status sosial, ekonomi, hingga hierarki. Sebelum berpakaian, semua manusia setara. Tidak ada manusia yang lebih tinggi atau rendah, tidak ada yang lebih agung dan hina. Tidak ada yang namanya seseorang, tidak ada yang namanya bukan siapa-siapa. Tidak ada yang dikenal sebagai someone, tidak ada yang disebut sebagai no one.


Pakaian pada akhirnya menjadi tanda perpisahan. Manusia pertama, Adam dan Hawa, berpisah dengan kemuliaan Tuhan saat mereka sudah berpakaian. Kebutuhan untuk menutupi tubuh dengan pakaian adalah gejala paling kuat yang menunjukkan bahwa mereka terjangkit dosa. 

Di Milan, pakaian merah hitam dan biru hitam menjadi pemisah antara tribune selatan dan utara, San Siro dan Giuseppe Meazza, kelas pekerja dan pejabat teras, AC Milan dan Internazionale Milan.

***

12 April 2005, Inter menjamu Milan dalam laga leg kedua perempat final Liga Champions. Pertandingan ini ibarat hidup dan mati bagi Inter karena mereka kalah 0-2 di leg pertama. 

Liga Champions ibarat mimpi buruk yang menghantui hari-hari Inter. Dua musim sebelumnya, mereka ditumbangkan oleh Milan di babak semifinal. Tentu saja akar persaingan menancap kian dalam. Mereka tim sekota, sekandung, dan sepersusuan. Tidak ada yang lebih memalukan ketimbang kalah dari saudara sendiri. Terlebih, leg kedua adalah laga kandang Inter yang berarti mereka berjibaku di Giuseppe Meazza.

Segala macam alasan itu membuat Inter tancap gas sejak peluit tanda pertandingan dimulai dibunyikan. Apes, bukannya gol, mereka malah mencatatkan dua kartu kuning. Mengguncang pertahanan Milan kala itu adalah pekerjaan sulit. Paolo Maldini yang bertindak sebagai komando tim adalah maestro lini pertahanan. Milan bermain rapat, menggagalkan setiap upaya Inter untuk mencetak gol. Tekanan dibalas dengan tekanan, sayangnya Inter malah seperti kehilangan akal.

Meski demikian, suporter Milan dan Inter sama-sama menarik napas panjang sebagai tanda bahwa mereka tidak membela tim yang salah. Andrea Pirlo dan Juan Sebastian Veron yang berperan sebagai jenderal serangan masing-masing menunjukkan kelas mereka. 

Ketika laga berjalan 30 menit, tribune selatan bergemuruh merayakan gol yang dicetak oleh Andriy Shevchenko. Pakaian berwarna merah hitam yang mereka kenakan hari itu adalah penanda bahwa mereka berhak untuk bersukacita dan menyemburkan olok-olok bagi para pesakitan yang berlaga dengan kostum biru-biru.

Tentu saja menyerah sebelum peluit panjang dibunyikan adalah perkara haram. Kemenangan mesti direngkuh berapa pun harga yang harus dibayar. Inter yang dipimpin oleh Roberto Mancini akhirnya berhak bersorak-sorai. Mereka mencetak gol lewat Esteban Cambiasso pada menit 70.


Masalahnya, gol tersebut justru memicu kericuhan. Baru dua tiga detik bersuka, luka Inter menganga lagi. Wasit yang memimpin pertandingan, Markus Merk, memastikan bahwa gol tersebut tidak sah karena Cambiasso sudah lebih dulu melakukan pelanggaran. Tak cuma menganulir gol, wasit mengganjar Cambiasso dengan kartu kuning karena protes melulu. 

Suporter Inter yang ketiban berang tak terima. Mereka lantas melempar apa pun yang ada di tangan, mulai dari botol minuman sampai payung ke arah lapangan. Tak sampai di situ, cerawat pun dinyalakan, seisi stadion berubah menjadi seperti neraka.

Dida yang bersiaga di depan gawang terganjar sial. Cerawat yang dilempar itu mencederai bahunya. Melihat Dida terguling-guling, Merk langsung menyetop pertandingan untuk sementara agar tim medis dapat memberi pertolongan darurat. Dalam situasi darurat seperti ini, wasit memiliki wewenang untuk melanjutkan atau menyudahi pertandingan. Yang menjadi taruhan bukan hanya nyawa mereka yang berlaga di atas lapangan, tetapi juga entah berapa puluh ribu suporter yang memanas di tribune.

Ketika wasit sedang menimbang keputusan apa yang mesti diambil, fotografer bernama Stefano Rellandini, mengambil potret yang selamanya dikenang sebagai salah satu yang paling masyhur. Potret itu memperlihatkan Materazzi dan Rui Costa yang berdiri berdampingan memandang kerusuhan di tribune. 

Materazzi dan Rui Costa bagaikan kawan dekat yang tak turun arena sebagai lawan. Materazzi bahkan menyenderkan lengannya ke bahu Rui Costa. Gestur santai Materazzi seperti menunjukkan bahwa bukan timnya yang sedang diincar kekalahan dan mesti meninggalkan arena dengan status walkover.

Potret itu seperti membantah adagium Twain tentang pakaian. Bahwa pakaian adalah penanda keberadaan jurang yang tidak bisa seberangi oleh dua kubu. Jika mengacu kepada perkataan Twain, Rui Costa dan Materazzi seharusnya tidak akan berdiri dengan santai dalam situasi seperti itu. Seharusnya mereka turut baku hantam dan berseberangan.


Inter adalah klub yang lahir dari perpecahan dalam tubuh Milan. Dibidani para pejabat teras Milan, Internazionale Milan lahir pada 9 Maret 1908. Di Restoran L’Orologio, Giorgio Muggiani, Enrico, Arturo Hintermann, Carlo Hintermann, Pietro Dell’Oro, Hugo Rietmann, Hans Rietmann, Carlo Ardussi, serta Giovanni Paramithiotti sepakat untuk memberikan rival sekota bagi AC Milan yang ketika itu sudah merengkuh tiga gelar juara.

Keputusan para petinggi untuk membentuk Inter di Restoran L’Orologio juga terkesan sangat simbolis. Restoran itu hanya berjarak sepelemparan batu dari Patung Madonnina yang merupakan simbol perlawanan Milan terhadap pendudukan Austria. 

Maka saat mereka memutuskan untuk menandatangani kesepakatan pendirian di sana, Inter tampak menjadi perwujudan perlawanan terhadap nilai-nilai yang dianggap sudah tidak relevan lagi. Salah satunya adalah kepercayaan yang meyakini sepak bola hanya pantas untuk kelas pekerja.

Bagi mereka, sepak bola bukan milik satu kelas tertentu. Mereka yang berduit, mengenakan jas, dan bergelut dengan tumpukan kertas juga memiliki pertarungannya sendiri sehingga berhak atas sepak bola.

Milan dan Inter walau tetap berbagi stadion menjadi dua kubu yang berseberangan. Mereka yang tadinya bermain untuk Milan, lalu pindah ke Inter, akan dicap sebagai pengkhianat. Begitu pula sebaliknya. 

Namun, rasanya menyenangkan melihat Materazzi dan Rui Costa yang seperti mempersetankan perbedaan dan jurang tersebut. Mereka melepaskan diri dari kerangkeng jersi yang mereka pakai dan menjadi karib, padahal Materazzi dan Rui Costa juga merupakan gambaran dua pemain yang sangat berbeda watak. 

Materazzi dianggap sebagai pemain yang menghalalkan segala cara untuk merengkuh kemenangan. Ingat-ingat lagi tentang apa yang dilakukannya pada Zinedine Zidane ataupun Filippo Inzaghi. Sementara, Rui Costa dikenal sebagai pemain anggun yang menunjukkan kelasnya tidak dengan asal seruduk, tetapi memainkan sepak bola selayaknya seniman.

Jersi yang masing-masing dipakai oleh Materazzi dan Rui Costa menegaskan segala pertentangan yang beranak cucu itu. Namun, dengan jersi yang masih melekat pada tubuh masing-masing, Materazzi dan Rui Costa seperti bersepakat untuk mengenyahkan perbedaan itu dan memandang kerusuhan dengan santai. Untuk sementara tidak ada jurang pemisah dan pertarungan untuk menentukan siapa yang lebih hebat.

Walau sering menjadi liang kerusuhan, sepak bola juga sarangnya cerita-cerita hangat. Sepak bola yang membantu manusia melawan perpecahan konon terjadi saat Perang Dunia I meletus. Ketika itu, negara-negara bermusuhan, tidak terkecuali Jerman dan Inggris. Namun, pada 25 Desember 1914, sepak bola datang dengan tangan hangat dan wajah jenaka.

Di atas No Man's Land alias tanah sengketa yang sekarang adalah Belgia, tentara Inggris dan Jerman melakukan gencatan senjata, lalu bermain sepak bola bersama. Meski sejumlah pihak meragukan kebenaran kisah itu, Perang Dunia I, setidaknya, tidak melulu bercerita tentang desingan peluru, dentuman granat, dan rintihan minta tolong. Untuk sesaat, kedua kelompok tentara melepas seragam yang awalnya menandakan bahwa mereka berseteru lalu berlari girang saling menggiring bola. 

Kisah itu seperti bertutur bahwa saat manusia kelelahan melawan bencana, penyakit, dan perang, sepak bola datang sebagai utusan Tuhan untuk menolong, menghibur, melerai, dan mempersatukan sejenak.

"Hiburan utamaku sepak bola," seorang kawan mengirimkan pesan seperti itu tiga hari sebelum Derby della Madonnina. Semoga kita pun seperti itu. Semoga sepak bola mempertemukan kita dengan kegembiraan, bukan kehilangan akal, apa pun tim yang kita bela saat berdiri di tribune stadion dan apa pun pakaian yang kita banggakan di depan layar saat menyaksikan para jagoan jatuh dan bangun memburu kemenangan.