Tentang Tim Terbaik di Arsenal

Foto: Twitter @ArsenalWFC

Ini cerita tentang apa yang dipegang erat-erat oleh Joe Montemurro, Mihiko Ishida, dan Vivianne Miedema bersama Arsenal Women.

Dari sepasang garis bibir, sebuah cerita akan sebait ingatan dituturkan: Di Meadow Park, sekumpulan perempuan membuat Arsenal tetap jadi meriam yang sanggup menggempur lawan.

Ini jelas bukan cerita tentang 'Invincible Arsenal' 2003/04 pada era Arsene Wenger. Kalau catatan itu yang ingin dibanggakan, perempuan-perempuan Arsenal mengukir 108 laga tak terkalahkan dari 2003 hingga 2009.

Gempita di tribune-tribune penonton Meadow Park memang kalah meriah dibandingkan dengan yang terdengar di Emirates. Namun, suara sayup itu tak berarti sama dengan prestasi. Arsenal Women adalah pemegang rekor juara terbanyak di ranah sepak bola Inggris. Bukan cuma Women Super League (15), tetapi juga Piala FA (24), Piala Liga Inggris (5), dan Community Shield (5). Pada 2006/07, mereka menjadi kampiun Eropa dengan menjuarai Liga Champions.

****

Namanya Joe Montemurro. Bersama Arsenal Women, ia membuktikan bahwa kualitas di atas kuantitas bukan prinsip usang. Montemurro datang ke Arsenal dengan satu permintaan: Skuadnya harus kecil. 

Di antara empat besar kontestan Women 2020/21, skuat Arsenal yang terdiri dari 21 pemain itu menjadi yang terkecil. Manchester United punya 25 pemain. Manchester City diperkuat 23 pemain, sedangkan Chelsea mengantongi 26 pemain.

Montemurro tidak sedang belagu apalagi nekad. Dengan tim kecil itu ia merengkuh gelar juara WSL 2018/19, Piala FA 2018, serta tiket perempat final Liga Champions 2019/20. Di kompetisi liga musim ini, Arsenal ada di peringkat kedua. Mereka terpaut 2 poin dari pemuncak sementara, Manchester United.

Keputusan Montemurro untuk bermain dengan skuad mepet menimbulkan pertanyaan. Bagaimana kalau pemain kelelahan karena tidak pernah dirotasi? Toh, WSL tidak menjadi satu-satunya kompetisi yang diikuti Arsenal. Selain berlaga di Inggris, mereka harus bertanding di Liga Champions. Itu belum bicara soal timnas.

Montemurro menyadari segala macam risiko tersebut. Akan tetapi, semakin sedikit jumlah pemain, semakin dekat pula mereka dengan kesempatan turun lapangan. 

Seandainya tim yang dipimpinnya terdiri dari 26 pemain, pemain 26 hanya bisa bermain jika pemain 25 cedera atau bermain buruk. Masalahnya, pemain 25 juga tidak bisa turun jika pemain 24 baik-baik saja. Begitu saja terus.

Skuad dalam jumlah kecil juga membuat Montemurro dapat mentransfer filosofi dan rencana taktiknya kepada tim. Dengan begitu, semua pemain memiliki kesempatan yang setara untuk mendapat ruang di atas lapangan.

Lima belas pertandingan awal Arsenal Women di seluruh kompetisi 2019/20, misalnya. Montemurro secara bergantian menurunkan dua kipernya, Manuela Zinsberger dan Pauline Peyraud-Magnin, dalam jumlah yang (hampir) seimbang.  Zinsberger bermain delapan kali, sedangkan Peyraud-Magnin turun arena tujuh kali. 

Montemurro membutuhkan keduanya karena memiliki keunggulan berbeda. Zinsberger mahir dalam umpan-umpan pendek, sementara Peyraud-Magnin memiliki bola panjang yang akurat.

“Jika rotasi adalah ide untuk menurunkan pemain hanya dalam kondisi tertentu, saya tidak setuju. Rotasi seperti itu adalah sistem yang salah. Anda meminta pemain yang tidak selalu terlibat untuk ikut serta dalam pertandingan itu karena tahu bahwa mereka akan dipinggirkan pada pertandingan berikutnya.”

“Saya tidak mau begitu. Saya ingin semua orang merasa bahwa mereka memiliki peluang dan sudah dekat dengan peluang itu. Kondisi seperti itu akan membuat pemain terpacu untuk bisa selalu mencapai level terbaik,” papar Montemurro kepada The Guardian.

Untuk tetap memantau kondisi fisik tim, Montemurro menggunakan peranti seperti GPS yang terhubung dengan perangkat latihan untuk mengamati beban kerja para pemainnya, baik saat bertanding maupun berlatih.

Kecanggihan teknologi memang tidak dapat menjamin skuadnya lolos dari gempuran cedera. Ambil contoh pada musim 2018/19. 

Gelandang tengah sekaligus jenderal permainan Arsenal, Jordan Nobbs, menepi sejak November 2018 hingga Agustus 2019 akibat cedera ACL. Absennya Nobbs adalah kehilangan besar karena ketika itu, Arsenal tidak memiliki gelandang tengah yang kualitasnya benar-benar sama dengan Nobbs. 

Pemain asal Inggris itu bukan cuma ulet, tetapi juga memiliki skill membaca permainan yang mumpuni. Nobbs cergas dalam penempatan ruang. Pemosisiannya penting untuk memastikan para penyerang tidak kekurangan suplai bola. 

Pengalaman buruk itu memaksa Montemurro memutar otak. Namun, ia tidak mau melihat terlalu jauh. Daripada sibuk menuntut manajemen membeli pemain, ia memilih beberapa pemain akademi untuk bertanding. 

Hasilnya tak selalu bagus, tetapi kehilangan itu tak berakhir pekat. Arsenal Women justru jadi kampiun WSL 2018/19.

****

Namanya Mihoko Ishida. Baginya, sepak bola dan musik setara: Sama kuat, sama pentingnya.

Ishida ingat betul ketika pertama kali datang ke Arsenal Women menjelang musim 2003/04. Ia hanya bisa berangkat ke Inggris dengan visa pelajar. Status itu membuatnya tinggal bersama orang tua asuh.

Kata-kata dalam bahasa Inggris yang ia pahami cuma yes, no, sorry, dan thank you. Adakah yang lebih buruk daripada tidak mampu berkomunikasi di perantauan? Namun, seburuk-buruknya pengalaman pertama, itu adalah awal segala impian Ishida.

“Waktu itu kami masih latihan di tempat lama, stadion yang dekat Finsbury Park. Sesi pertama yang saya jalani itu latihan indoor. Saking gugupnya, saya sampai diare dan muntah-muntah di toilet,” papar Ishida dalam wawancaranya bersama Katie Whyatt untuk The Athletic.


Perjalanan bersama Arsenal tidak hanya mempertemukan Ishida dengan mahkota juara WSL dan Piala FA, tetapi juga dengan renjana yang sama besarnya dengan sepak bola.

Rekan setim yang menjadi kawan dekat Ishida adalah legenda hidup The Gunners, Jayne Ludlow dan Emma Byrne. Ketiganya hampir tak terpisahkan, ke mana-mana hampir selalu bareng. Pun demikian dengan acara nongkrong di bar.

Orang-orang Inggris membangkitkan kembali kecintaan Ishida pada musik yang diperamnya sejak remaja. Ishida selalu menyaksikan suporter Arsenal merayakan kemenangan dengan bernyanyi dan minum-minum di bar.

Pemandangan tersebut bukan perkara baru buat Ludlow dan Byrne. Namun, Ishida tidak pernah melihat yang seperti itu saat di Jepang.

“Suporter di Jepang memang senang kalau tim kesayangan mereka menang, tetapi tidak sampai gila-gilaan. Senangnya suporter Jepang itu jauh lebih kalem,” jelas Ishida.

Kultur suporter Inggris yang identik dengan bersenang-senang di bar membuat Ishida tambah menyukai musik. Kali ini, dia tidak mau lagi membicarakan cerita yang sama tentang band yang dibentuknya pada usia 17 tahun.

Jepang tidak seperti Amerika Serikat yang memberikan keleluasaan kepada seorang atlet untuk jadi pesepak bola pada musim gugur dan jadi pelari pada musim semi. Budaya Jepang saat itu menuntut Ishida untuk memilih salah satu, musik atau sepak bola.

Namun, kehidupan di Arsenal memantik tekad baru. Ia ingin mengisahkan cerita baru tentang kehidupan sebagai pemusik dan pesepak bola sekaligus. Guru bahasa Inggris dan teman-teman setimnya tak mempermasalahkan jika Ishida ingin bermusik tanpa menggantung sepatu.

Dukungan itu menjadi tiang pancang perjalanan baru Ishida. Bersama kawan-kawannya sesama orang Jepang, ia naik panggung di bar-bar London. Serupa dengan zaman sekolahnya, panggung itu tidak mewah. Bagi Ishida besar atau kecil bukan masalah. Yang penting, ia tidak kehilangan sepak bola dan musik.

Sebelum musim 2005/06 berakhir, Ishida memberanikan diri pulang ke Jepang. Ia ingin menunaikan mimpinya sebagai rockstar. Ishida dan kawan-kawannya kembali naik ke panggung Tokyo dan masuk dapur rekaman. Jumlah uangnya tak besar, tetapi Ishida bertemu kembali dengan mimpi terliarnya.

Arsenal Women mengadakan kunjungan selama 11 hari pada 2011 ke Jepang. Tur ini digelar untuk mendukung orang-orang Jepang yang baru saja diguncang tragedi gempa dan tsunami Tohoku.

Ishida menyambut Arsenal dengan menggelar konser kecil-kecilan, tetapi intim. Konser itu menjadi arena pertemuan antara kawan lama. Sahabat Ishida di Arsenal, Ludlow, ternyata masih enggan gantung sepatu.

“Ishi tiba-tiba menarik saya ke panggung. Dia memilihkan lagu tanpa bertanya kepada saya. Untuuuuunggg... lagunya 'Let It Be'! Saya cuma hafal sedikit lagu, salah satunya, ya, 'Let It Be'.”

Ya begitulah. Ishida tanpa ragu menarik Ludlow yang ternyata masih berlaga bersama Arsenal untuk berduet menyanyikan 'Let It Be'.

Serupa dengan cerita bermusik Ishida yang terus berjalan, kisah sepak bolanya juga tidak terhenti. Ishida kini menjabat sebagai pelatih Sfida Setagaya. Klub asal Tokyo ini berkompetisi di Nadeshiko League 2 atau divisi dua kompetisi sepak bola perempuan Jepang.

"Saya membuat lagu untuk mereka yang tidak bermain sepak bola. Bernyanyi di sebuah band mirip dengan bermain sepak bola. Serupa drummer dan gitaris yang bermain dalam tempo selaras, pemain bertahan dan menyerang juga harus bermain dalam satu sistem."

Ishida bukan musisi yang sukses besar. Barangkali alasan ini yang membuatnya tak meninggalkan sepak bola. Namun, itu kemungkinan pertama. Bagaimana jika alasan sebenarnya adalah kemungkinan kedua, bahwa Ishida mencintai sepak bola dan musik dengan adil?

****

Namanya Vivianne Miedema. Baginya sepak bola adalah persoalan sederhana. Orang-orang saja yang membuatnya jadi rumit.

Kedatangannya ke Arsenal adalah berita besar. Bahkan jauh sebelum hari itu tiba, Miedema terbiasa membuat orang-orang tercengang. Miedema memulai karier profesionalnya pada usia 15 tahun bersama SC Hereenven.

Ia merupakan debutan termuda dalam sejarah sepak bola divisi teratas Belanda. Tiga tahun berselang, Miedema mencetak 39 gol dalam satu musim Liga Belanda Perempuan, yang membuatnya lagi-lagi memecahkan rekor baru.

Performa itu membuat Bayern Muenchen kepincut. Kesepakatan direngkuh, Miedema mengantar Bayern menjadi kampiun Frauen-Bundesliga 2014/15 dan 2015/16.

Namanya semakin cerlang sejak mengenakan jersi Arsenal Women pada Mei 2017. Tepat pada 18 Oktober 2020, Miedema malah berhasil menjadi pemain pertama yang mencatatkan 50 gol di kompetisi WSL.

Torehan itu dibuatnya dengan mencetak hattrick pada laga melawan Tottenham Hotspur yang tuntas dengan kemenangan 6-1 untuk Arsenal. Dengan begitu, Miedema berhasil menggeser rekor 49 gol yang dibuat oleh Nikita Parris.

Pangkal rekor WSL itu adalah gol ke gawang Everton pada Oktober 2017. Menerima umpan dari Daniëlle van de Donk, Miedema langsung diadang oleh tiga pemain Everton. Itu belum ditambah dengan satu pemain yang mengover sisi kanan Miedema dan satu orang pemain lagi yang mengambil posisi lebih dekat ke gawang.

Pengepungan itu dilakukan untuk menutup segala ruang yang mungkin dieksplorasi oleh Miedema. Apes, upaya ini malah gagal. Setelah melakukan gerakan memutar badan, Miedema menendang bola ke sudut kanan atas gawang dengan kaki kirinya.

Sebagian orang menyebut Miedema sebagai penyerang arogan karena acap menembak dari sudut dan situasi sulit. Sebagian lagi menyebutnya spekulatif. Pokoknya tendang dulu, masuk atau tidak masuk jadi urusan belakangan.

Miedema tidak pernah menganggap gol itu lahir dari tendangan sporadis.Ia tidak lahir tanpa pemikiran matang, tidak muncul dari frustrasi akibat kepungan lawan.

“Saya sadar waktu itu saya tidak memiliki banyak ruang. Namun, saya pikir jika menggerakkan bola dengan cepat, saya bisa menciptakan ‘waktu tambahan’ sekitar satu detik untuk menembak."

"Jika saya mengoper atau bergerak ke arah lain, kesempatan itu akan hilang. Makanya, saya menciptakan ruang dengan memutar badan. Setelahnya saya menyadari bahwa bek tidak dalam posisi untuk melakukan tekel. Ya, sudah, saya tendang saja,” papar Miedema dalam wawancaranya bersama Kieran Theivam untuk The Athletic.

Miedema berpikir dalam waktu singkat. Ia menafsir ruang, menghitung kemungkinan, dan mengambil keputusan. Tak ada perjudian, sepakan itu adalah buah dari pemikiran matang dengan eksekusi sederhana.

Gol ke gawang Everton itu juga memantik pertanyaan orang-orang tentang bagaimana Miedema melatih tendangan kaki kirinya. Namun, Miedema tidak mau ambil pusing dengan kaki kiri atau kanan. Baginya kedua kaki itu sama saja. Ketimbang membahas soal kaki yang mana, ia lebih suka untuk memahami situasi apa yang terjadi saat ia menendang bola.

Gol itu berbicara tentang memperlakukan sentuhan pertama (first touch). Jika ia menendang begitu pertama kali menyentuh bola, kemungkinan diblok bek lawan adalah 50:50. Miedema tidak mau menembak dalam kemungkinan seperti itu. Setiap kali menembak, Miedema harus memastikan bahwa manuvernya adalah clear shot.

Miedema bukan striker yang selalu menyuruh-nyuruh rekannya untuk mengirim bola kepadanya. Miedema juga bukan penyerang yang kerjanya ‘bermain-main’ dengan pemain bertahan lawan melulu. Tak jarang penggawa Timnas Perempuan Belanda ini bergabung dengan pemain sayap dan gelandang untuk menjemput bola.

Meski demikian, Miedema menganggap gaya bermain dan taktik adalah dialektika yang baru berhenti ketika wasit meniup peluit akhir. Suatu waktu ia bakal turun ke lapangan tengah, di waktu lain ia akan maju ke arah gawang. Baginya gol juga bicara tentang upaya untuk memahami gaya bermain temannya.

Contohnya ada dalam kemenangan 5-1 Arsenal atas Liverpool pada 24 Maret 2019. Ketika Katie McCabe menguasai bola, Miedema berlari ke arah gawang. Keputusannya tepat karena McCabe melepas umpan panjang dan kiper lawan turun mengejar bola.

“Saya tidak tergoda untuk turun menjemput bola karena saya paham penempatan bola panjang Katie bagus. Ia tahu menempatkan bola ke area yang membuat kiper atau pemain bertahan lawan terpancing. Kalau saya turun, umpan itu malah jadi sia-sia,” papar Miedema.

Miedema menahan bola dengan gerakan mirip juggling saat dikepung kiper dan dua pemain bertahan Liverpool. Begitu bola terangkat, ia memutar badannya lalu melepas tembakan ke arah gawang. Manuver itu tricky, tetapi penting karena dapat mematikan langkah kiper. Jika ia langsung menembak tanpa mengangkat bola terlebih dulu, kiper lebih mudah untuk memblok.

Rekor demi rekor, gol demi gol memang belum bisa membuat Miedema berdiri memeluk bola emas masyhur yang acap dijadikan tolok ukur tentang pesepak bola terbaik. 

Namun, ketika orang-orang ribut memilih siapa yang terbaik, Miedema sibuk menorehkan rekor sebagai penanda penting perjalanan kariernya. Lewat tumpukan gol dan rekor itulah Miedema membuktikan bahwa ada pemikiran di balik setiap tembakannya.