Terlalu Dini Menghakimi Hakimi

Foto: Twitter @AchrafHakimi.

Terlalu dini untuk memuji maupun mengolok-olok Achraf Hakimi di Inter. Dia baru 22 tahun dan belum genap semusim berkontribusi. Masih terlalu cepat untuk menghakimi Hakimi.

Achraf Hakimi tak berhenti beraksi. Dia turut menyumbang satu gol saat Inter Milan membabat Crotone 6-2 pada akhir pekan lalu. Sekarang genap 5 gol yang Hakimi lesakkan di Serie A musim ini. 

Angka yang ia ciptakan tersebut cuma bisa dikalahkan duo bomber Nerazzurri, Romelu Lukaku dan Lautaro Martinez. Catatan ini terbilang spesial karena Hakimi cuma berstatus sebagai pemain belakang.

Keterampilan Hakimi tak datang tiba-tiba. Semuanya berasal dari insting agresif yang ia asah pada masa-masa awal kariernya. 

Hakimi sempat bermain sebagai striker di tim junior Real Madrid. Eks gelandang Madrid yang pensiun dini dan sempat mengasuh tim muda tersebut, Ruben de la Red, berkontribusi besar atas pembentukan karakter main Hakimi; dari yang awalnya penyerang, beralih ke winger, sampai kemudian menetap di pos bek sayap.

"Saya berbicara banyak dengannya dan pada tahun kedua, kami memindahkannya ke posisinya saat ini, di mana dia bisa memanfaatkan kualitas fisiknya yang luar biasa dan memaksimalkan potensinya," kata De la Red seperti dilansir BBC.

Meski begitu, bermain sebagai full-back penuh dengan tuntutan. Tak hanya jago bertahan, seorang pemain juga diharuskan aktif menyerang. Keseimbangan itulah yang belum dimiliki Hakimi, setidaknya di mata pelatih Los Blancos saat ini, Zinedine Zidane.

Ketika Hakimi menghuni skuad utama Madrid, mereka sudah punya Daniel Carvajal yang sudah bermain sebagai full-back kanan sejak 2013. Oleh karena itu, menggeser posisi Carvajal --yang sudah terbiasa membantu aksi defensif dan ofensif-- bukan perkara mudah. Meski begitu, sebenarnya kontribusi Hakimi cukup lumayan; 2 gol dibuatnya dari 9 laga di La Liga edisi 2017/18.

Madrid lantas meminjamkan Hakimi ke Borussia Dortmund. Pertimbangannya, ya, karena Bundesliga relatif ramah untuk pemain muda. Lebih-lebih lagi Die Borussen yang sukses mengorbitkan Christian Pulisic dan Jadon Sancho.

Lagi pula, Madrid memang lagi gencar-gencarnya merentalkan pemain mudanya ke klub lain. Selain Hakimi, mereka meminjamkan 11 personelnya di awal musim 2018/19 --termasuk Theo Hernandez ke Real Sociedad dan Martin Odegaard ke Vitesse.

Well, meminjamkan Hakimi ke Dortmund adalah sebuah langkah tepat. Tak sekadar jam terbang, kontribusinya juga tinggi di sana. Total 2 gol dan 7 assist ditorehkannya di Bundesliga dan Liga Champions.

Tentu saja itu terkait erat dengan pakem main Lucien Favre. Sedikit berbeda dengan Zidane, arsitek asal Swiss itu cukup intens bongkar pasang formasi. Penguasaan bola dan serangan tepi jadi andalannya.

Maka, masuk akal kalau Hakimi penting buat Favre. Pasalnya, dia membutuhkan full-back agresif demi menunjang serangan sayap.

Lebih-lebih lagi di musim 2019/20. Demi kecairan serangan, Favre mulai intens mengaplikasikan skema dasar tiga bek. Saking fluid-nya, Favre sampai memasang Hakimi di enam posisi berbeda. Mulai dari full-back, wing-back, hingga di pos sayap.

Betul, pada akhirnya Hakimi jadi salah satu penyokong serangan utama Dortmund. Khususnya, di sisi sayap kanan bersama Sancho. Total 9 gol dan 10 assist ia torehkan di Bundesliga dan Liga Champions 2019/20.


Pendar Hakimi kemudian membuat Inter kesengsem. Mereka sampai rela merogoh €40 juta plus €5 juta bonus untuk mengangkutnya dari Madrid.

Jumlah itu menjadi yang tertinggi buat Inter musim ini. Nilai tersebut bahkan melebihi harga Nicolo Barella dan Stefano Sensi --dua pemain yang sudah melakoni probation alias masa peminjaman sebelum akhirnya dipermanenkan. Terus, kok, bisa Inter seberani itu untuk memboyong Hakimi dengan harga mahal? 

Sebenarnya langkah Inter sangat masuk akal. Pasalnya, bek sayap merupakan komponen terpenting dalam pakem tiga bek Antonio Conte. Lihat saja kontribusi Victor Moses dan Marcos Alonso saat Chelsea menjuarai Premier League 2016/17. Keduanya jadi unsung hero dalam skuat Conte.

Dalam formasi tiga bek, wing-back kudu lebih aktif terlibat dalam serangan selain juga melakukan aksi defensif. Jadi bukan cuma kreatif dan tajam, tetapi juga perlu memiliki kecepatan demi melancarkan transisi.

Betul kalau Inter sudah punya Danilo D’Ambrosio dan Ashley Young --plus Aleksandar Kolarov serta Matteo Darmian-- yang didatangkan di musim panas lalu. Namun, mereka tak seagresif Hakimi.

Young dan Kolarov, misalnya, punya kemampuan olah bola ciamik. Mereka jago untuk mengkreasi peluang dari sisi tepi. Kendati demikian, keduanya sudah 35 tahun dan mulai melambat. Berbeda dengan Hakimi yang berusia 13 tahun lebih muda. Insting menyerangnya tinggi dan didukung dengan kemampuan fisiknya yang masih prima.

"Aku senang jika bisa menyerang sepanjang pertandingan. Aku sebenarnya juga senang menjadi sayap, bahkan kadang aku berpikir untuk bermain sebagai striker,” kata Hakimi.

Agresivitas wing-back adalah puzzle yang dicari-cari Conte sejak musim lalu. Untuk menambah alternatif serangan agar timnya tak terlalu bergantung kepada Romelu Lukaku dan Lautaro Martinez saja.

Opsi dari sisi tepi menjadi krusial. Lebih-lebih lagi di wadah 3-4-1-2 yang diusung Conte bersama Inter. Praktis, tak ada slot buat penyerang sayap di sana. Berbeda dengan Chelsea empat musim lalu. Conte mengadopsi 3-4-3 dengan Eden Hazard dan Pedro Rodriguez di garda terdepan.

Di sana mereka dibantu Moses dan Alonso buat menyisir sisi tepi kemudian menciptakan overload di sektor depan. Nah, naiknya kedua pemain ini lantas digunakan untuk mengompensasi masuknya dua winger Chelsea ke area half-space.

Sementara di Inter, Conte tak menggunakan jasa winger secara reguler. Untuk menyiasatinya dia mengutus Martinez dan Lukaku untuk bergerak dinamis. Tepatnya, untuk menjemput bola lebih dalam serta bergerak vertikal.

Format tiga bek juga membutuhkan gelandang ciamik buat menyeimbangkan area tengah. Lebih-lebih dengan metode garis pertahanan tinggi.

Tak harus kreatif, tapi setidaknya punya mobilitas tinggi untuk menjaga area sentral. Oleh karena itu, Conte mengesampingkan Christian Eriksen dan cenderung intens memasang Barella, Sensi, Marcelo Brozovic, dan Arturo Vidal. Toh, buat mengakomodir serangan sayap Conte bisa menyerahkannya kepada Hakimi sekarang.

Heatmap Hakimi pada duel versus Crotone bisa jadi sampel. Area geraknya intens berada di wilayah lawan. Bahkan sepertiga umpannya dilepaskan di sepertiga pertahanan Crotone.

Itu baru soal menyerang, lalu bagaimana untuk aksi defensif?

Well,
Hakimi belum cukup oke soal itu. Rata-rata tekelnya memang tergolong lumayan, 1,3 per laga. Namun, jumlah intersepnya cuma 0,4 --bahkan masih lebih sedikit dari Lautaro.

Sebagai pembanding, Trent Alexander-Arnold mengemas rata-rata 1,3 buat tekel dan intesep. Lalu Alphonso Davies dengan 1,4 tekel dan 1,3 intersep. Theo Hernandez tak kalah ciamik karena mengemas 1,7 tekel dan 1 intersep di tiap pertandingan.

Namun, ya, sepak bola bukan olahraga individu. Para pemain bisa saling melengkapi satu sama lainnya. Ini rada klise, tapi nyatanya Conte sudah berhasil memfungsikan peran para pemainnya --dalam hal ini, meng-cover kelemahan Hakimi.

[Baca Juga: Antonio Conte dan PR yang Masih Berserakan di Inter Milan]

November lalu kami pernah membahas soal masalah-masalah Conte di Inter. Salah satunya, ya, lini belakang mereka yang rapuh. Milan Skriniar cs. masih kesulitan memainkan garis pertahanan tinggi. Hakimi juga berada dalam pusaran problem itu.

Namun, PR tersebut mulai terselesaikan perlahan oleh Conte. Inter sukses menyapu bersih 6 laga Serie A sejak awal Desember. Dalam rentang waktu itu mereka "cuma" kemasukan 6 gol.

Untuk Hakimi, rasanya masih terlalu dini untuk memuji atau mengolok-oloknya di Inter. Dia baru 22 tahun dan belum genap semusim berkontribusi. Masih terlalu cepat untuk menghakimi Hakimi.