Terlihat Lelah
Ekspresi Jackson Irvine pada pertandingan vs Heidenheim menunjukkan betapa melelahkannya debut yang berakhir kekalahan buat St. Pauli.
Ini musim ketiga saya menyaksikan St. Pauli berlaga secara langsung di Millerntor. Saya masih ingat pertandingan pertama saya: Laga 2. Bundesliga menghadapi Sandhausen, pada sebuah minggu yang terik di awal September. Jackson Irvine mencetak gol saat itu. Satu-satunya gol buat St. Pauli siang itu, pada laga yang berakhir dengan skor satu-satu pula.
Dan buat saya, sisanya adalah sejarah. Saya melihat St. Pauli bermain di era tiga pelatih berbeda: Timo Schultz, Fabian Hürzeler, dan saat ini Alexander Blessin. Saya melihat bagaimana St. Pauli berkubang di papan bawah, mencatatkan rentetan kemenangan beruntun, sampai kemudian menjalani musim yang mengagumkan sebagai kampiun 2. Bundesliga.
Akhir pekan kemarin, saya menyaksikan mereka menjalani laga perdana musim ini. Laga perdana di Bundesliga. Beberapa pemain datang dan pergi, tapi pencetak gol pada laga perdana yang saya saksikan masih ada di sana. Irvine masih menjadi starter pada hari Minggu yang terik lalu.
Pada laga vs Heidenheim itu, Irvine berkali-kali menengadah. Terkadang untuk menunjukkan rasa kecewa, terkadang untuk mengambil nafas. Berkali-kali pula ia membungkukkan badan. Sore itu Irvine terlihat kelelahan.
Saya bertanya padanya selepas pertandingan, dia mengakui bahwa pada laga vs Hedenheim itu, ia mengaku “leggy” setelah laga melewati menit 80. Irvine capek. Dan saya paham kenapa.
Sepanjang laga ia berlari tanpa henti. Ia bermain sebagai “nomor 6” pada laga tersebut; punya tugas untuk mengover banyak area. Di satu sisi, ia juga rajin berlari ke depan untuk menjadi opsi umpan, untuk menjadi target di dalam kotak penalti. Irvine melakukan apa pun, melakukan tugas lebih banyak dari yang ia jalani di musim-musim sebelumnya.
Ia juga mengakui bahwa sistem baru St. Pauli di bawah Blessin memang lebih intens. Pemain dituntut lebih agresif, lebih banyak berlari, lebih rajin mengejar lawan. Pressing lebih intens, serangan lebih cepat dan direct, respons otomatis juga lebih cepat. Ini berbeda dari sistem Hürzeler pada musim-musim sebelumnya, di mana kesabaran menjadi kunci pada dua fase permainan–cepat hanya pada saat yang tepat.
Blessin memang terkenal gila pressing. Dari di Genoa hingga di Union Saint-Gilloise (USG), ia sudah menunjukkan bahwa timnya akan bermain agresif, menekan lawan sejak pertama mereka mengalirkan bola. Ia berharap timnya mampu merebut bola secepat mungkin, agar menghasilkan turnover–sehingga timnya bisa mendapatkan peluang dari situasi tersebut. Musim lalu, misalnya, USG menjadi tim dengan gol via serangan balik terbanyak di Jupiler Pro League.
Ketika menguasai bola, Blessin ingin timnya bermain direct. Umpan-umpan progresif yang berisiko dilepaskan cuma-cuma. Mereka ingin cara direct, yang dipadukan dengan jarak antarpemain yang rapat, dan kecepatan bergerak secara progresif, membuat serangan timnya sulit diprediksi. Itu memang masuk akal, tapi di satu sisi ini menjadikan serangan St. Pauli menjadi lebih sporadis.
Pada laga vs Heidenheim itu, secara keseluruhan mereka memiliki beberapa peluang emas, tercatat ada tiga bila saya meminjam statistik FotMob. xG mereka menunjukkan angka 1.21. Namun, sepanjang laga, dari 11 tembakan yang mereka lepaskan hanya tiga tembakan tepat sasaran. xG on target hanya 0.69. Saya merasa St. Pauli terlihat kurang variasi pada saat menyerang. Saat momentum via serangan cepat tak tercipta, mereka buntu dan serangan mudah diputus lawan.
Saya bertanya apakah timnya memang butuh lebih banyak variasi, tapi Blessin mengaku cukup senang dengan peluang-peluang yang didapat timnya. Menurutnya, timnya hanya perlu lebih efisieni, serta memperbaiki beberapa hal. Membuat nomor delapan kembarnya lebih banyak masuk ke kotak penalti, misalnya. Juga menginginkan agar wing-back lebih agresif dan terlibat banyak dalam permainan.
Itu semua memang masuk akal. Dua nomor delapan St. Pauli, Conor Metcalfe dan Robert Wagner, terlihat sibuk dengan tugas yang lain. Metcalfe kurang agresif naik ke depan untuk membuka ruang atau menjadi opsi dan malah acap bertahan di half-space, sementara Wagner acap terlalu turun ke dalam untuk membantu Irvine jadi nomor enam ganda. Alhasil St. Pauli acap kekurangan pemain di area tengah-depan, pun di dalam kotak penalti lawan. Terutama karena Morgan Guilavogui atau Jojo Eggestein juga dalam beberapa momen acap sedikit turun untuk menyambut umpan-umpan progresif.
Memang ini baru pekan pertama dan tim baru berlatih sekitar enam pekan di bawah Blessin. Masih banyak yang belum terlihat dari St. Pauli. Dan variasi yang lebih banyak adalah satu yang paling diharapkan. Mereka butuh upaya lain ketimbang mengandalkan momentum yang terkadang sulit mereka kontrol. Mereka terlihat butuh senjata lain ketimbang serangan-serangan cepat yang terkadang terlihat begitu sporadis. Mereka butuh pola lebih banyak, mereka butuh menambah pattern serangan.
Sebab, lawan yang lebih berat akan menanti di depan. Mereka bisa saja membuat xG 1.21 menghadapi Heidenheim dengan senjata yang mereka miliki sekarang, tapi belum tentu itu bisa terulang menghadapi lawan-lawan yang lain. Memiliki lebih banyak senjata sangat penting dalam maraton Bundesliga musim ini. Terlebih karena St. Pauli bukanlah tim yang punya skuad lebih mewah ketimbang tim lain.
Juga mengingat, sekali lagi, bahwa Bundesliga adalah maraton, St. Pauli perlu menjaga nafas. Jika pada laga perdana saja para pemain sudah terlihat begitu kelelahan, saya khawatir mereka bisa kehabisan bensin di akhir-akhir musim. Sebab, USG musim lalu menunjukkan hal yang sama di bawah arahan Blessin. Sepak bola yang mengandalkan intensitas dan lari tanpa henti memang rawan menghadirkan cedera dan kelelahan yang sangat.
Musim masih panjang, saya akan menantikan setiap laga yang ada musim ini. Saya berharap terus menyaksikan Irvine berdiri di atas lapangan memimpin rekan-rekannya, tanpa terus menerus membungkuk, tanpa terus-menerus menengadah menghapus lelah.