The Curious Case of Anthony Martial

Anthony Martial (kiri) merayakan gol bersama Victor Lindeloef (kanan). Foto: Twitter @AnthonyMartial.

Apakah Anthony Martial memang pemain dengan bakat besar atau kita memang tertipu saja dengan penampilannya yang acap menanjak pada saat-saat tertentu?

Jika saya adalah seorang penulis cerita—seorang mangaka—dan memiliki seorang karakter pada sebuah manga sepak bola bernama Anthony Martial, kemungkinan besar dia akan menjadi salah satu karakter paling menarik dalam cerita saya. Ini alasan-alasannya…

Pertama, Martial adalah pemuda berbakat. Sedari awal, sudah terlihat bahwa ia adalah pemain yang memiliki kecepatan dan kemampuan melewati lawan dengan dribel yang amat baik. Sebagai karakter, dia pasti bisa mengundang decak kagum.

Kedua, Martial berbakat menjadi game changer. Gaya dribelnya memungkinkan dia untuk bekerja dalam ruang yang sempit dan pertahanan yang rapat. Oleh karena itu, memunculkannya pada saat-saat genting bisa menambah daya tarik cerita.

Ketiga, Martial tidak sempurna. Sebagai karakter yang memiliki banyak kekurangan, ia akan terlihat lebih membumi. Terlebih, progresi sebuah karakter biasanya terlihat tiap kali menghadapi masalah di hadapannya. Masalah pada sebuah cerita hadir untuk menguji seorang karakter.

Maka, dengan ketiga alasan tersebut, kita bisa menghabiskan banyak waktu untuk memperdebatkan mengenai baik dan buruk Martial. Beberapa mungkin akan menyukainya, beberapa lainnya barangkali sebal bukan main melihat kehadirannya dan lebih memilih untuk mencoretnya.

***

Salah satu cerita paling terkenal dari Martial adalah bagaimana dia, pada usia 6 tahun, mampu melewati lawan-lawannya dengan dribel dalam satu garis lurus. Begitu selesai melewati pemain-pemain itu, dia menceploskan bola dengan mudahnya. Kisah ini dibeberkan oleh Aziz Benaaddane, salah satu pelatihnya di Les Ulis, kepada BBC.

“Kami punya 400 pemain muda bermain untuk kami dan talenta seperti dia biasanya cuma datang dalam lima atau enam tahun sekali,” kata Benaaddane.

Cerita terkenal lainnya adalah bagaimana dia langsung memberikan impak positif pada laga debutnya bersama Manchester United. Datang sebagai pemuda 20 tahun yang tidak bisa berbahasa Inggris—bahkan membutuhkan bantuan Morgan Schneiderlin untuk mencerna instruksi—, Martial langsung mencetak gol.

Lawan yang dihadapi bukan lawan sembarangan. Lawannya adalah Liverpool, si musuh bebuyutan ‘Iblis’. Masuk pada menit ke-65 menggantikan Juan Mata, Martial mencetak gol 21 menit kemudian lewat cara yang amat khas dirinya: Dengan dribel yang lengket, dia seperti berjingkrak cepat melewati pertahanan Liverpool sebelum melepaskan sepakan ke tiang jauh.

Setelah melihat Martial melakukan slalom melewati dua bek Liverpool pada pertandingan itu, Nathaniel Clyne dan Martin Skrtel, Chief Football Writer BBC, Phil McNulty, langsung meyakininya bakal memberikan dampak instan untuk United pada musim tersebut.

McNulty tidak salah. Musim tersebut, Martial adalah seorang rookie. Dia adalah bocah polos yang datang ke negara baru dan menghadapi arena tempur yang baru pula. Namun demikian, Martial bisa-bisanya tampil 49 kali pada berbagai ajang sepanjang musim dan mencetak 17 gol.

Musim itu, Martial adalah pencetak gol terbanyak klub. Dari 17 gol yang ia cetak, 11 di antaranya ia lesakkan di Premier League. Tak jarang pula ia mencetak gol penting. Selain membobol gawang Liverpool pada debutnya, Martial juga memastikan United lolos ke final Piala FA lewat gol yang ia buat ke gawang Everton di semifinal.

Catatan tersebut menunjukkan dua hal: Martial memang memiliki potensi untuk menjadi pemain besar dan ada yang salah dengan cara United membangun tim sehingga betul-betul harus mengandalkan seorang bocah ingusan untuk mengangkat tim.

Dari dua hal tersebut, ada yang bisa kita tarik sebagai kesimpulan dengan membandingkannya dengan kondisi Martial dan United saat ini. Pertama, bersama Ole Gunnar Solskjaer, United sudah berusaha berbenah dengan membangun tim yang lebih seimbang. Kedua, Martial—yang kini berusia 25 tahun—malah berusaha mati-matian untuk menunjukkan apakah dia memang memiliki potensi sebesar yang diekspektasikan atau tidak.

***

Ketika Martial datang dengan banderol mencapai 58 juta poundsterling, sejumlah koran kuning mengolok-oloknya. Ada yang menuliskan headline bahwa apa yang dilakukan United adalah buang-buang duit belaka. Begitu Martial mulai mencetak gol demi gol, gantian pendukung United yang mengolok-olok headline itu lewat sebuah chant:

“Tony Martial, he came from France. English press said, he had no chance. 50 million down the drain. Tony Martial scores again!”

Lewat chant itu, para pendukung United ingin berkata bahwa duit yang dikeluarkan klub mereka sepadan. Pasalnya, Martial seperti tidak akan berhenti mencetak gol. Kalau pada musim perdananya saja dia bisa mencetak 17 gol, bagaimana dengan musim-musim berikutnya kalau dia lebih matang dan adaptasinya berjalan mulus. Setidaknya begitu pemikiran para pendukung itu.

Sayangnya, Martial malah kesulitan untuk tampil konsisten dari musim ke musim. Chant “…Tony Martial scores again!” akhirnya berbalik jadi ledekan. Mereka yang meledek biasanya mempertanyakan, memangnya mana golnya?

Sorotan atau kritik untuk Martial memang beralasan. Setelah mencetak 17 gol itu, berturut-turut dia mencetak 8, 11, 12, dan 23 gol dalam semusim. Sementara itu, pada musim 2020/21 yang belum tuntas, dia baru mencetak 7 gol dari 33 penampilan—jumlah yang cukup jauh karena pada musim sebelumnya dia mencetak 23 gol dalam 48 penampilan.

Tentu saja ada banyak alasan atas inkonsistensi itu. Salah satunya adalah perkara posisi terbaik Martial: Sebagai winger atau penyerang tengah? Alasan lainnya, semenjak Martial datang, dia ditangani tiga pelatih berbeda, Louis van Gaal, Jose Mourinho, dan Ole Gunnar Solskjaer. Ketiganya memainkan Martial dengan cara berbeda.

Jika Mourinho lebih memilihnya untuk menjadi winger, Solskjaer justru memainkannya sebagai penyerang. Namun, begitu Martial mandek, tak jarang Solskjaer berpaling kepada Marcus Rashford atau Mason Greenwood untuk menjadi penyerang tengah.

Performa Martial bikin heran banyak orang, termasuk eks gelandang United, Paul Scholes. Tanpa tedeng aling-aling, Scholes mengatakan bahwa Martial mungkin telah menipu banyak orang yang mengira dia adalah “no. 9” kelas wahid. Ucapan Scholes yang berpotensi bikin kuping Martial panas itu didasari oleh inkonsistensinya dari musim ke musim.

Namun, inkonsistensi tersebut sebetulnya bisa mendapatkan penjelasan yang jelas. Menurut Carl Anka di The Athletic, faktor pergantian pelatih dari Van Gaal ke Mourinho ke Solskjaer tersebut cukup berpengaruh. Ia memperkuat opininya dengan data bahwa ketika Martial menjalani musim tersuburnya (pada 2019/20, ketika ia mencetak 23 gol semusim), dia lebih sering tampil sebagai penyerang tengah.

Ketika dia tampil sebagai penyerang tengah, Martial biasanya mengandalkan pasokan umpan yang cukup baik, entah dari Paul Pogba dan Bruno Fernandes dari tengah, atau dari para full-back dan pemain sayap yang beroperasi dari tepi lapangan.

Ketika menerima umpan terobosan dari tengah, Martial akan berusaha untuk berdiri sejajar dengan garis pertahanan lawan, sebelum akhirnya menyambut umpan terobosan itu seraya menjaga supaya dirinya tak terkena offside. Martial punya kecepatan dan United acap mengandalkan serangan balik atau umpan terobosan ketika menghadapi lawan yang bermain terbuka sehingga cara ini bekerja dengan baik.

Menurut Anka, hal serupa juga terjadi ketika Martial mendapatkan umpan lambung dari tepi lapangan. Selain punya kecepatan, nyatanya teknik menyundul Martial juga tidak buruk-buruk amat. Ini yang membuat Martial relatif oke bermain sebagai penyerang tengah.

Sementara, ketika bermain sebagai winger, dia mesti berusaha sendiri untuk menusuk ke dalam kotak penalti sebelum akhirnya melakukan tendangan melengkung ke tiang jauh atau melakukan sepakan ke tiang dekat. Cara yang demikian bisa berhasil, bisa juga tidak.

Lantas, untuk mengembalikan Martial ke performa terbaiknya, apakah Solskjaer tinggal memainkannya sebagai penyerang tengah saja? Well, jawabannya tidak bisa didapatkan dengan semudah itu.

Selain tetap harus bergantung pada kemampuan finishing Martial sendiri, perlu diingat bahwa ketika tampil moncer sebagai penyerang tengah—dan dengan piawainya menerima umpan terobosan dari tengah—United mendapatkan space yang cukup lapang di area lawan untuk dieksploitasi.

Problemnya, United lebih sering memanfaatkan space lawan yang tercipta dengan sendirinya ketimbang bekerja keras dengan upaya sendiri untuk membuat lawan memunculkan space itu. Inilah mengapa United acap kesulitan menghadapi lawan yang bertahan dengan low block atau amat rapat.

Solskjaer cukup sering meminta pemain-pemainnya bermain dengan kecepatan. Namun, kecepatan di sini adalah perkara melakukan dribel menusuk (memaksa para pemain depan berduel satu lawan satu dengan lawan berulang kali) atau serangan balik, bukan perkara membuat defensive shape lawan menjadi tak karuan lewat operan cepat, pemosisian pemain, atau pergerakan tanpa bola.

Selama PR tersebut tak kunjung ia benahi, percayalah bahwa Martial dan para pemain lain di lini depan masih akan menghadapi tembok serupa.