The Dynamic Duo

Ilustrasi: Arif Utama.

Tielemans dan Vardy adalah kombinasi unik. Dengan perbedaan usia satu dekade dan asal-usul sepak bola berbeda, mereka bermain padu dan memastikan Leicester tidak berlaga sebagai pasukan yang menanam bom waktu di markas sendiri.

Ketika sebagian orang menempatkan usia dan label generasi ini itu sebagai jarak yang tidak bisa dirapatkan, Leicester City memberi ruang bagi mereka yang malas meributkan perkara-perkara demikian dengan menempatkan Youri Tielemans dan Jamie Vardy di atas lapangan yang sama.

Ketika Premier League 2021/22 baru berjalan dua pekan, Leicester City dihantam kekalahan telak 1-4 dari West Ham United. Pada laga itu, mereka berlaga bak tim kemarin sore yang tidak tahu bagaimana caranya bermain sepak bola di pentas semasyhur Premier League. Tidak ada perlawanan berarti, yang ada malah kesalahan individu yang memudahkan lawan mencetak gol dan menutup duel dengan sorak-sorai kemenangan. 

Namun, Brendan Rodgers tak menunduk lama-lama. Pada pekan selanjutnya, Leicester asuhannya kembali menuai tiga poin. Kali ini 2-1 di kandang Norwich City.

Perubahan paling kentara yang ditunjukkan oleh Rodgers di laga ketiga itu adalah skema permainan. Jika dua pertandingan awal Rodgers menggunakan 4-2-3-1, di hadapan pasukan Daniel Farke ia memimpin Leicester dalam skema 4-4-2.

Rodgers adalah tipe pelatih modern yang gemar melibatkan fullback dalam serangan. Preferensi itu membuatnya melimpahkan kebabasan kepada duet Ricardo Pereira dan Luke Thomas. Meski demikian, Youri Tielemans adalah pusat dari sebagian serangan Leicester. Itulah mengapa, bola dari lini pertahanan digulirkan ke tengah area lingkar tengah lapangan yang merupakan area Tielemans mengambil posisi awal.

Leicester bukan tim yang menerapkan jalur khusus serangan. Tielemans menggunakan kecepatannya untuk mengalirkan bola ke segala arah. Artinya, umpan yang dilepaskan oleh Tielemans tidak menyasar hanya pada satu area. Maka jangan heran jika terkadang ia memberi umpan kepada pemain sayap, terkadang ia menyajikan umpan terobosan langsung kepada duet striker, Jamie Vardy dan James Maddison. 

Menghadapi serangan Leicester yang seperti itu, tentu saja Norwich tidak dapat bermain ceroboh. Garis pertahanan rendah adalah solusinya, terutama ketika tidak menguasai bola. Dengan begitu, empat bek sejajar bermain rapat dan kokoh di depan penjaga gawang. Apa boleh buat, cara ini mesti diambil untuk melindungi gawang dari kemasukan gol. Jangan lupa bahwa Leicester dianugerahi penyerang yang berulang memperlihatkan bahwa umur tak lebih dari sekadar angka, Vardy.

Keberadaan Tielemans memang penting bagi skema permainan Leicester. Meski ditempatkan di pos gelandang tengah, dia diutus untuk aktif bergerak ke depan. Tugas ini berbeda jika dibandingkan dengan tandemnya, Ndidi, yang lebih sering bermain dalam. Menugaskan Tielemans sebagai pusat serangan merupakan langkah jitu yang diambil oleh Rodgers. Dengan begini, penguasaan bola dan umpan-umpan Leicester tidak hanya mandek di area tengah. 

Leicester tidak mengumpan hanya untuk menghabiskan waktu dan berputar-putar di area yang tidak krusial. Permainan cepat Tielemans memastikan umpan-umpan tersebut sampai ke area pertahanan lawan. Keberhasilan Tielemans memainkan peran ini terlihat dari catatan statistiknya. Mengutip FBref, sang penggawa Belgia membukukan 19 umpan progresif dalam 3 pertandingan. Dibandingkan seluruh pemain Leicester, ini menjadi angka tertinggi.

Rodgers adalah pelatih unik. Ia mengutamakan versitalitas. Ciri itu terlihat dari beragam formasi yang telah digunakan Rodgers selama melatih Leicester. Ketika pertama kali menukangi The Foxes, Rodgers tampak seperti penerus Claude Puel dan Claudio Ranieri yang menggunakan pola 4-1-4-1 dan 4-2-3-1. Ini bukan menandakan bahwa Rodgers pelatih malas mikir yang enggan membuat terobosan. 

Sistem itu diadopsinya karena memang paling sesuai dengan kondisi Leicester. Dalam perkembangannya, Rodgers bahkan berani menggunakan pakem 4-1-4-1 dan 3-4-2-1. Berlaga dengan sistem tiga bek memastikan Leicester menjadi tim ofensif yang sangat melibatkan peran wingback dalam serangan. Lantas pada 3 pertandingan awal Premier League 2021/22, Rodgers sudah menggunakan 2 formasi berbeda: 4-2-3-1 dan 4-4-2.

Skema dasar yang berubah-ubah itu membuat Rodgers membutuhkan pemain yang versatile. Kabar baiknya, Tielemans mampu menjawab urgensi itu. Meski berwatak ofensif, Tielemans tidak mati kutu saat diberi tugas bertahan. Keserbabisaan itu membuat Leicester dapat memainkan sistem ball possesion yang menjadi identitas Rodgers. 

Kemampuan olah bola yang ciamik menjadi syarat utama untuk bisa unjuk gigi dalam sistem tersebut. Namun, lewat progresivitasnya, Tielemans tidak hanya memainkan bola dari satu titik ke titik lain, tetapi juga memastikan bahwa umpan-umpan tersebut sampai ke area serangan timnya. Itulah mengapa jumlah umpan kunci Tielemans tidak mengecewakan. Hingga kini, eks AS Monaco itu membukukan 2 umpan kunci, hanya kalah satu setrip dari Jamie Vardy.

Bicara soal Vardy, perannya di Leicester musim ini tetap krusial. Jika mencari anomali di atas lapangan bola, kita bisa melemparkan pandang kepada Vardy. Siapa pun yang mengikuti kiprahnya sejak awal setuju bahwa Vardy bukan pemain sembarangan. Dengan ketajamannya yang luar biasa, ia menjadikan pertandingan sebagai lantai dansa yang enggan ditinggalkan.

Vardy adalah peneguhan bagi adagium penyerang hebat tidak lahir hanya dalam semusim. Bahkan ketika usianya sudah 34 tahun, ia tetap menjadi pilihan utama. Bukan sekadar untuk menyuntikkan moral, tetapi karena ia memang merupakan komponen krusial dalam sistem yang dibangun Rodgers. Kepada Rodgers, Vardy berutang hasrat mencetak gol. Penyebabnya, Rodgers tak ragu untuk menitikberatkan sistem permainannya pada Vardy. Dengan begitu, Vardy memiliki banyak ruang dan peluang untuk menghujam pertahanan lawan.

Akan tetapi, Vardy bukan penyerang egois. Ia juga memberikan kesempatan kepada kawan-kawannya untuk mencetak gol. Selain 2 gol, Vardy menorehkan 1 assist dan 3 umpan kunci dalam 3 pertandingan awal Leicester musim ini. 

Di situlah letak anomali Vardy. Umumnya, para pemain yang tak lagi muda, tetapi tetap hebat, akan diberi keringanan tugas. Jika awalnya menjadi winger yang gemar berlari kencang dari sisi lapangan dan menggiring bola dengan dribel, pemain tersebut akan dibentuk menjadi striker mematikan yang ruang geraknya ada di dalam atau sekitar kotak penalti lawan. Ketika pemain lawan alpa menjaga, ia akan segera menjebol gawang tanpa ampun. Keputusan ini wajar karena usia yang tak lagi muda berisiko membuat seorang pemain lebih cepat kehabisan bensin. Kualitasnya diperlukan, sehingga pelatih mesti memikirkan cara agar umur kariernya tetap berlanjut. 

Namun, Vardy berbeda. Di usianya yang tak lagi muda, ia justru diberikan keleluasaan untuk membantu rekan-rekannya mencetak gol. Keleluasaan bisa dipakai sebagai kata kunci. Artinya, mengemban pekerjaan sebagai seorang winger bukan lagi menjadi kewajiban utama Vardy. Dalam skema Rodgers, ia tetap ditunjuk sebagai muara serangan. Ini ditandai dengan catatan umpan progresifnya yang hanya mencapai angka 4. 

Namun, Vardy adalah pemain kedua yang paling sering dijadikan muara umpan-umpan progresif tersebut. Statistik FBRef menunjukkan ia menerima 15 umpan progresif. Jumlah terbanyak, 16, dipegang oleh Harvey Barnes. Itu berarti, Vardy adalah pemain yang cerdik dalam pemosisian. 

Kemampuan tersebut penting dimiliki oleh mereka yang beroperasi di lini terdepan. Seciamik apa pun progresi umpan, akan menjadi percuma jika tidak ada pemain yang dapat menerimanya. Kalaupun Vardy tidak mencetak gol saat itu, ia memastikan umpan tersebut tidak putus di area krusial.

Tielemans dan Vardy adalah duet unik, terpaut 10 tahun, dibesarkan oleh sepak bola yang berbeda. Mereka adalah pembuktian bahwa pemain dari dua generasi berbeda dapat padu membentuk satu sistem permainan mematikan. Permainan itulah yang memastikan Leicester tidak berlaga sebagai pasukan yang menanam bom waktu di markas sendiri.