The Fall and Rise of Unai Simon

Foto: @SeFutbol

Empat hari dilalui Unai Simon untuk mengubah suratan takdir. Dari ambruk ke liang pesakitan, lalu tumbuh menjadi pahlawan.

The Fall

Bola sodoran Pedri seharusnya bisa dengan mudah diterima oleh pemain bola mana saja. Tidak cukup pelan, tetapi tak juga dibilang kencang. Cukup posisikan kaki bagian dalam sejajar dengan arah datang bola, niscaya ia bakal mudah dijinakkan.

Namun, teori dan realitas tak melulu berbanding lurus. Ada kalanya itu tak berjalan mulus, seperti Unai Simon ini. Saat bersiap membuka kaki kanan untuk menerima umpan Pedri, bola justru menyentuh punggung kakinya dan melaju ke arah gawangnya sendiri.

Gara-gara itu Kroasia membuka keunggulan atas Spanyol di babak 16 besar Piala Eropa 2020. Gol Pablo Sarabia 7 menit sebelum turun minum memang sedikit mengobati aib itu, tetapi tak sepenuhnya tuntas. Pertandingan masih setengah jalan, bisa-bisa Simon mengulangi kesalahan yang sama atau bahkan lebih buruk.

Contoh kasusnya ada beberapa dan yang paling anyar, Martin Dubravka. Ia melakukan blunder konyol pada menit 30 dan kebobolan 4 gol setelahnya. Buntutnya Slovakia meski mengubur dalam-dalam asa untuk lolos dari fase grup.

Untungnya Simon tidak men-Dubravka-kan diri. Ia sukses melakukan 4 penyelamatan setelah rehat, termasuk upaya jarak dekat Andrej Kramaric di babak tambahan. Overall, Simon punya peranan penting membawa Spanyol menang 5-3 dan melaju ke babak perampat final.

"[Unai Simon] telah memberi pelajaran kepada semua orang. Setelah melakukan kesalahan, kesalahan itu tak lagi berguna. Yang terpenting adalah sikap Anda setelahnya," ujar Luis Enrique selepas pertandingan.

Foto: SeFutbol

Perkataan Enrique ada benarnya dan memang itu yang harus dilakukannya: Melindungi pemain. Lebih-lebih Enrique-lah yang memberikan Simon debut di Timnas Spanyol pada 11 November 2020.

Konsistensi Simon bersama Athletic Bilbao menjadi pertimbangan Enrique memanggilnya karena, ya, eks arsitek AS Roma itu adalah pelatih yang memilih pemain berdasarkan performa, bukan semata perkara pengalaman apalagi nama besar. Itulah mengapa Enrique berani mengabaikan seluruh penggawa Real Madrid, termasuk Sergio Ramos.

Dari situ bisa dimengerti mengapa Enrique menunjuk Simon sebagai palang pintu utama Spanyol, bukan David De Gea atau Kepa Arrizabalaga. Itu belum ditambah dengan hobi mereka bikin kesalahan yang berujung gol.

Mengacu situs Premier League, sejak musim lalu errors leading to goal De Gea menyentuh angka 4. Kepa lebih lebih enggak keruan lagi karena memimpin daftar aib Premier League musim ini dengan 3 blunder berbuntut gol.

Well, Alex Remiro memang lebih layak menjadi kiper utama Spanyol bila mengacu catatan nirbobol di La Liga. Mantan senior Simon di Bilbao itu berhasil mencatatkan 14 cleansheet pada musim 2020/21 atau terbaik di antara seluruh kiper lokal lainnya. Meski begitu, persentase penyelamatannya masih kalah dari Simon.

Menyitat data Fbref, Simon mencatatkan 70 penyelamatan dari 104 tembakan yang mengarah kepadanya atau 66,3% dalam persentase. Jumlah itu unggul tipis atas Romero di angka 65%. So, masuk akal kalau Enrique memercayai Simon sebagai kiper regulernya.

Setelah Kroasia, giliran Swiss yang menjadi lawan main Spanyol. Dari awal, para matador sudah mengerti bahwa pertarungan ini tidaklah mudah. Swiss sampai di perempat final setelah menumbangkan sang juara dunia, Prancis. Dari rekam jejak pun, Rossocrociati pernah menjungkalkan Spanyol di fase grup Piala Dunia 2010.

Belum dari segi internal Spanyol. Mereka masih digentayangi kegagalan selama 9 tahun ke belakang. Dalam medio itu, La Furia Roja tak pernah melaju lebih dari babak 16 besar di seluruh turnamen sejak menjadi kampiun Piala Eropa 2012.

Benar saja, Spanyol dibuat kelimpungan. Mereka cuma mampu bermain imbang 1-1 di babak normal 16 besar Piala Eropa 2020 kendati tampil dominan. Gol semata wayang Sergio Busquets dkk. saja lahir dari aksi bunuh diri Denis Zakaria.

Skor sama kuat membuat pertandingan ditentukan lewat babak tos-tosan. Bagi Spanyol, ini adalah kerugian. Persentase kemenangan mereka menyusut menjadi 50%. Sialnya lagi, pengalaman teranyar mereka di drama adu penalti berakhir pahit. Pada Piala Dunia 2018 itu Spanyol dikalahkan Rusia. Dua penendang mereka gagal sedangkan tim lawan berhasil menyapu bersih empat kesempatan.

Swiss lain cerita. Buat mereka, tak ada yang lebih masuk akal dari menguji keberuntungan via adu penalti dibanding terus bermain dengan 10 orang. Sejak menit 77, Vladimir Petkovic sudah dipusingkan karena Remo Freuler dikartu merah Michael Oliver. Sejak itu pula mereka cuma mengandalkan Yann Sommer sebagai juru selamat.

Lagi pula, Swiss dan penalti cukup karib di turnamen kali ini. Nyatanya mereka berhasil menyingkirkan Prancis dengan cara ini.

***

The Rise

Terpapar rasa canggung dari Simon. Setidaknya, ia tak lebih tenang dari Sommer. Beberapa kali Simon melirik Sommer saat Oliver menjelaskan instruksi sebelum dimulainya penalti. "Ini bukan kiper sembarangan," begitu barangkali isi kepala Simon. Kekaguman itu kemudian menjawab mengapa ia berniat memberikan gelar man of the match kepada Sommer selepas pertandingan.

Sulit dimungkiri bahwa Sommer unggul secara pengalaman. Usianya 8 tahun lebih tua dari Simon. Ia bahkan sudah melakukan debutnya bersama Swiss saat Simon belum bermain untuk timnas Spanyol U-16.

Namun, pengalaman hanya salah satu dari beberapa penentu di babak penalti. Di sisi lain, nyali adalah hal lain yang bisa mendekatkan para "pejudi" ini kepada keberuntungan dan Simon berhasil menunjukkan itu.

Dari empat algojo Swiss, hanya Mario Gavranovic yang bisa menunaikan tugasnya dengan sempurna. Simon menepis sepakan Fabian Schar dan Manuel Akanji. Kegagalan mereka membuat eksekutor selanjutnya, Ruben Vargas, tertekan. Tendangan pemain 22 tahun itu meluncur ke atas gawang Simon. Setelahnya, sepakan Mikel Oyarzabal berbuah gol sekaligus menandai kemenangan Spanyol atas Swiss.

"Ia memiliki nyali yang besar," komentar Koke untuk Simon. "Apa yang terjadi padanya di pertandingan lawan Kroasia sangat disayangkan, tetapi apa yang dia lakukan setelah itu adalah luar biasa. Ketenangannya begitu sempurna".

Sudah sepantasnya Spanyol berterima kasih kepada Simon. Berkat dirinya, La Furia Roja sukses menjejak semifinal untuk kali pertama sejak 2012, mengangkat kembali marwah mereka sebagai tim tersukses di pentas Piala Eropa.

Simon sekali lagi menunjukkan bahwa tak ada sebenar-sebenarnya pecundang dalam sepak bola. Selalu ada kesempatan untuk mengubah nasib. Hanya empat hari yang dibutuhkan Simon untuk melakukannya: Dari ambruk ke liang pesakitan, lalu tumbuh menjadi pahlawan.