The Flanker Mailbox 1
Kami menjawab pertanyaan tentang "Timnas Yugoslavia", Ancelotti, Allegri, sampai Coverciano
Selamat datang di The Flanker Mailbox! Ini adalah ruang yang kami ciptakan bagi para pembaca—atau pengikut di media sosial—untuk bertanya, via Twitter, perihal apa pun seputar sepak bola.
Pada edisi pertama ini, Rossi Finza dan Bergas Agung menjawab masing-masing tiga pertanyaan; Mulai dari tentang “Timnas Yugoslavia”, soal Ancelotti dan klaim “miskin taktik”, sampai perihal Allegri dan bagaimana Coverciano melahirkan pelatih-pelatih hebat, juga potensial.
Rossi Finza:
Sebenarnya, di sepak bola modern, sulit untuk mengukur kemampuan sebuah tim dari kemampuan individu semata. Dengan perkembangan taktik, sebuah tim yang notabene tidak memiliki banyak pemain bintang pun sudah bisa mengecilkan gap atau meningkatkan level sendiri.
Bahkan, dengan asumsi dilatih Zlatko Dalić sekalipun (yang menerapkan pressing ketat untuk memampat aliran bola lawan, midblock rapat, dan hybrid marking) masih ada beragam faktor yang bisa menentukan sebuah tim bisa jadi juara atau tidak pada suatu turnamen. Ingat, yang menjadi juara di sebuah turnamen tidaklah selalu sebuah tim yang berisikan individu kelas wahid atau yang memiliki taktik paling rumit.
***
Melihat adaptasi dan perubahan taktik Carlo Ancelotti semenjak menukangi Parma, Juventus, AC Milan, lalu kini Real Madrid, sulit untuk menyebutnya “miskin taktik”. Lagipula, hanya karena sebuah taktik terlihat simpel, sederhana, tidak njlimet bin rumit, atau tidak terlihat mewah bin sophisticated, bukan berarti taktik tersebut jelek atau layak dilabeli dengan kata “miskin”.
Satu-satunya kesalahan di sini adalah label “miskin taktik” itu sendiri yang kita tidak pernah tahu definisi aslinya seperti apa. Rumit atau tidaknya sebuah taktik lebih adil untuk dibahas, dibedah, dan dielaborasikan secara kualitatif lalu disimpulkan secara luas, bukan dikerdilkan dan dikerucutkan lewat label kuantitatif seperti “kaya” ataupun “miskin”.
***
Dugaan saya karena manusia cenderung mencari kemenangan-kemenangan kecil di internet untuk membuat hidupnya terasa lebih baik.
***
Bergas:
Kalau konteksnya adalah nama besar dan prestasi, Allegri bisa dikatakan sebagai pelatih papan atas. Namun, bila konteksnya adalah taktik, Allegri bisa dibilang bukan lagi pelatih top. Ini tidak berkaitan dengan strateginya yang pragmatis, tapi lebih kepada fakta bahwa taktik Allegri jalan di tempat—minim variasi. Dari pekan ke pekan, taktik Allegri umumnya hanya berlandaskan low-block dengan shape 4-4-2–yang bisa bergeser fleksibel untuk meminimalisir ruang di manapun lawan mengarahkan serangan—untuk meminimalisir ruang tembak, dan kemudian menyerang lewat proses transisi positif.
Idealnya, Allegri mengembangkan taktiknya untuk membuat Juventus lebih variatif; sehingga sulit ditebak dan bisa konsisten meraih hasil bagus dalam kondisi apa pun dan menghadapi lawan manapun. Ketidakkonsistenan ini yang pada akhirnya membuat prestasi Juventus juga jalan di tempat dan, pada akhirnya, membuat Allegri tak lagi menjabat sebagai pelatih. Dan ini pula yang, bila dibanding pelatih top macam Pep Guardiola, Jürgen Klopp, atau bahkan Simone Inzaghi, membuat Allegri tertinggal.
***
Beberapa nama pelatih berpengalaman kurang diminati karena, secara taktik, apa yang mereka suguhkan sudah tak lagi relevan. Ini konteksnya bahwa taktik mereka tak memiliki banyak perkembangan. Mourinho bisa dijadikan contoh. Terlepas dari keberhasilannya membawa Roma juara Eropa (dan ke final Eropa 2 kali), taktiknya yang tak variatif dan segar membuat timnya mudah terbaca dan inkonsisten di Serie A.
Itu yang jadi salah satu alasan mengapa banyak klub besar kemudian memilih pelatih muda: Karena taktik mereka masih segar dan bisa menawarkan identitas “baru”, serta tentunya masih mampu berkembang. Perlu dicatat bahwa klub besar sekarang juga mengedepankan pentingnya memiliki Direktur Teknik/Olahraga yang paham sepak bola—yang dapat menentukan arah dan cara bermain klub—sehingga penunjukkan pelatih kini berdasar ide/taktik apa yang bisa ditawarkan pelatih buat menjalankan visi klub tersebut.
***
Italia memiliki salah satu “perguruan” sepak bola terbaik: Coverciano. Di sinilah pelatih-pelatih Italia “dibentuk” dan “terbentuk”. Di sinilah mereka belajar, menawarkan ide baru, menumpahkannya pada sebuah tesis, dan kemudian mendapatkan titel. Di sinilah Carlo Ancelotti, Antonio Conte, Simone Inzaghi, Thiago Motta, sampai Enzo Maresca lahir sebagai pelatih.
Soal ide apa yang ditanam, ini menarik. Coverciano menawarkan keterbukaan dan perubahan, bahwa setiap pelatih berhak menawarkan dan membawa ide baru, berhak menemukan caranya sendiri untuk “mengubah” taktik sepak bola untuk makin relevan dan berkembang dengan zaman. Tak heran mereka yang lulus dari sana, seperti Inzaghi, Motta, atau Maresca, memiliki ide segar yang jadi perbincangan di sepak bola belakangan. `