The Rise of James Maddison: Akamsi Coventry yang Jadi Jagoan Leicester City

Ilustrasi: Arif Utama.

Maddison mengambil jalan memutar. Dia berkelana dari League One, Championship, bahkan Liga Primer Skotlandia sebelum sampai ke Leicester.

"Hari ini guruku berkata kepadaku: Hanya satu dari sejuta yang berhasil menjadi pesepakbola. Aku bilang kepadanya bahwa aku adalah satu orang itu."

Sudah 8 tahun berlalu dan James Maddison berhasil membuktikan cuitannya. Melakukan debut dengan Coventry City di usia 17 tahun, kemudian hijrah ke Norwich City dan melancong ke Skotlandia. Kini Maddison menjadi pilar penting Leicester City untuk memburu trofi Premier League 2020/21.


***

Maddison merupakan akamsi (anak asli) Coventry, kota yang tak bisa dibilang kecil untuk ukuran Inggris. Area yang berada di West Midlands itu menjadi salah satu penghasil pita terbesar di negaranya. Bahkan tahun lalu Office for National Statistics (ONS) mengidentifikasi Coventry sebagai kota di luar London dengan pertumbuhan tercepat.

Sialnya, eulogi di atas tidak berlaku buat klub sepak bolanya, Coventry City. Jangankan menjuarai Premier League, buat mentas di sana saja sudah syukur. The Sky Blues tak pernah lagi main di kompetisi ter-elite Inggris itu sejak terdegradasi pada musim 2000/01. Kalaupun ada yang dibanggakan, paling cuma Piala FA. Itu pun mereka raih 35 tahun lalu.

Makanya, guru Maddison berkata begitu. Realistis saja, nyaris tak ada pemain asli Coventry yang benar-benar kondang. Klub mereka saja jauh dari kata jago.

Namun, Maddison tak peduli. Dia rela berkubang bersama Coventry meski cuma di panggung sekelas League One alias level ketiga dalam sepak bola Inggris.

Di sisi lain, SDM Coventry yang minim membuat pemain muda seperti Maddison cepat berguna. Dia mendapatkan debutnya pada laga melawan Oldham, Oktober 2014.

Ending-nya Coventry memang kalah 1-4. Namun, bukan berarti Maddison jadi pecundang. Gol perdananya lahir juga lahir pada laga tersebut. Itu menjadi pembuktian yang lebih dari cukup untuk seorang pemuda 18 tahun pada laga debutnya. Coventry kemudian mengikatnya dengan durasi kontrak tiga tahun.

Potensi Maddison tercium hingga ke bagian timur Inggris. Klub asal East Anglia, Norwich City, datang melamarnya pada pertengahan musim 2015/16. Ini menjadi sebuah kesempatan bagus buat Maddison. Pasalnya, The Canaries merupakan kontestan Premier League pada musim itu.

Pada Februari 2016, ia resmi menjadi pemain Norwich. Namun, jalan Maddison untuk betul-betul menjadi pemain Norwich terbilang panjang. Sebagai pemain yang waktu itu baru berusia 19 tahun, Maddison masih butuh banyak pengalaman.

Alhasil, Norwich memutuskan untuk meminjamkan Maddison kepada Coventry hingga musim 2015/16 berakhir. Pada musim berikutnya, Norwich "menyekolahkan" Maddison ke Liga Primer Skotlandia dengan meminjamkannya ke Aberdeen.

Sepanjang musim 2016/17, Maddison mendapatkan jam terbang yang lumayan. Empat belas kali ia tampil bersama Aberdeen di liga dan menyumbang dua gol.

Maddison baru benar-benar menjadi bagian Norwich pada musim 2017/18. Pelatih Norwich kala itu, Daniel Farke, memang gemar mengorbitkan pemain muda.

Maddison yang sudah tiga musim bermain di kompetisi profesional dianggap sudah mendapatkan pengalaman yang cukup. Terlebih, taktik Farke juga mengandalkan ball possession, yang artinya cukup mengakomodir playmaker macam Maddison.

Taktik Farke dan Maddison klop. Hasilnya, Maddison mampu mencetak 14 gol dan menyumbang 8 assist dari 44 penampilan pada musim 2017/18. Catatan assist pemain berdarah Irlandia tersebut merupakan yang terbanyak di antara pemain-pemain Norwich lainnya.

Musim itu menjadi awal mencuatnya Maddison. Pada divisi Championship musim tersebut, ia sukses mengkreasikan 124 peluang, jauh meninggalkan gelandang Queens Park Rangers, Luke Freeman, yang menorehkan 110 peluang.

Performa impresif itu membuat Maddison masuk ke dalam skuad terbaik Championship 2017/18 dan mendapatkan penghargaan sebagai Pemain Terbaik Norwich pada musim yang sama. Sejumlah klub pun kepincut pada Maddison, salah satunya Leicester City.

Lantas, dengan mahar 25 juta poundsterling, Leicester meminang Maddison. Asal tahu saja, The Foxes belum pernah mengeluarkan uang sebanyak itu untuk membeli pemain. Maka, jadilah ekspektasi tinggi dibebankan kepada Maddison.

Leicester tidak berjudi ketika mengeluarkan uang sebanyak itu untuk Maddison. Urgensi mereka terhadap gelandang kreatif sedang tinggi-tinggnya. Pasalnya, Leicester baru saja melepas Riyad Mahrez ke Manchester City. 

Mahrez bukan pemain sembarangan buat Leicester. Perannya amat krusial. Terhitung sejak musim 2015/16, winger Aljazair itu merupakan produsen umpan kunci (umpan yang jadi peluang) tertinggi untuk Leicester.

Maddison sanggup menggantikan Mahrez dengan caranya sendiri. Posisi keduanya boleh berbeda--yang satu adalah pemain sayap, yang lainnya adalah gelandang--serang, tetapi produk akhir mereka sama. Maddison mampu menjadi kreator peluang untuk Leicester.

Jumlah assist Maddison di Premier League pada 2018/19 memang cuma 7 buah, tertinggal jauh dari dari Eden Hazard yang mengumpulkan 15 assist. Namun, assist bukanlah satu-satunya tolok ukur untuk mengukur kreativitas seorang pemain.

Menurut situs Premier League, Maddison memproduksi 100 umpan kunci selama semusim. Catatan tersebut menjadi yang tertinggi di antara para pemain Premier League pada musim 2018/19.

Well, jumlah umpan kunci memang tak selalu berbanding lurus dengan assist. Ada beberapa faktor yang bisa menjadi penyebabnya. Salah satunya, ya, SDM penyerang. Sebanyak-banyaknya umpan kunci, tidak bakal jadi assist kalau algojonya tidak bisa menyelesaikan peluang dengan baik.

Itulah yang terjadi di Leicester. Mereka cuma bergantung kepada Jamie Vardy sebagai penambang gol utama. Kelechi Iheanacho masih jauh dari kata produktif. Demikian pula dengan Demarai Gray, Marc Albrighton, serta Rachid Ghezzal.

Kondisinya berbeda dengan Hazard yang dikelilingi para pemain seperti Pedro Rodriguez, Gonzalo Higuain, dan Alvaro Morata yang golnya lebih mencapai dua digit bila dikalkulasi. 

Pada akhirnya, kualitas Maddison sebagai gelandang kreatif tidak bisa ditutup-tutupi sekalipun pemain-pemain yang mengelilinginya punya kualitas biasa-biasa saja.

***

Rabu 20 Januari 2021, Leicester sukses membungkam Chelsea dua gol tanpa balas. Bukan, bukan Vardy yang menjadi pencetak golnya, melainkan Wilfred Ndidi dan Maddison.

Buat Ndidi, itu adalah lesakan spesial. Gol tersebut menjadi yang pertama buatnya pada musim ini. Lain lagi bagi Maddison. Kontribusinya pada duel versus The Blues itu kian mempertebal perannya di Leicester. Tak cuma sebagai pendulang umpan kunci, ia kini juga menjadi produsen gol.

Bagi Leicester, kehadiran pencetak gol lain adalah berkah. Pasalnya, sudah bermusim-musim mereka mengandalkan Vardy; striker 34 tahun itu rutin menjadi topskorer mereka selama lima musim ke belakang.

Maddison tampil subur ketika Vardy sedang tumpul. Sejak pertengahan Desember 2020, Vardy belum lagi mencetak gol. Sementara itu, Maddison justru rajin mencetak gol. Dia sukses membobol gawang lawan pada empat laga beruntun.

Hingga pekan ke-20 Premier League musim ini, Maddison sudah mengumpulkan 6 gol. Tinggal satu lesakan lagi untuk menyamai torehan terbaiknya dua musim lalu.

Menanjaknya performa Maddison tak lepas dari formasi dan taktik yang Brendan Rodgers usung. Pelatih asal Irlandia Utara itu menaruh Maddison sebagai gelandang serang dalam format 4-2-3-1, 3-4-2-1, atau 4-1-4-1. Secara peran, apa yang Maddison lakoni tak jauh berbeda seperti ketika bermain untuk Farke di Norwich.

Pada laga melawan Chelsea itu, Maddison mendapatkan lisensi untuk bergerak bebas meski dipasang sebagai gelandang serang. Berbeda dengan Albrighton dan Harvey Barnes yang intens menyisir sisi tepi.

Kemampuan olah bola, dribel, serta akurasi umpan dan tembakan membuatnya kredibel mengemban peran semacam ini. Membantu serangan dari sisi sayap bisa, menyokong Vardy pun tak kalah oke.

Malah jumlah tembakan Maddison merupakan salah satu yang tertinggi pada duel tersebut--bersama Reece James dan Tammy Abraham. Satu berbuah gol dan satu lainnya membentur mistar gawang.

Bicara soal konversi peluang, rapor Maddison tergolong tinggi. Menilik data Understat, catatan xG-nya berada di angka 2,11. Artinya, sekarang Maddison mengemas sekitar 4 gol lebih banyak dari yang seharusnya.

Bandingkan dengan Vardy yang "cuma" mencetak 11 gol dari 12,79 xG. Pun dengan Barnes dan Youri Tielemans yang surplus xG-nya tak genap 2. Angka-angka ini menunjukkan bahwa konversi peluang Maddison menjadi yang terbaik di Leicester, melebihi striker sekaliber Vardy. 

Dengan begini, Maddison menunjukkan bahwa dia tidak sekadar jago bikin assist dan menciptakan peluang. Mencetak gol pun kini bisa ia lakukan.