Thiago Alcantara, Cara Liverpool Berinovasi

Visual: Arif Utama

Apa pentingnya Thiago Alcantara bagi Liverpool?

Setelah dua tahun lebih, akhirnya Liverpool benar-benar serius di lantai transfer. Spekulasi berpekan-pekan itu akhirnya berakhir: Thiago Alcantara resmi menjadi pemain The Reds. Gelandang asal Spanyol tersebut mereka gaet dari Bayern Muenchen dengan banderol 30 juta euro.

Cukup lama juga Liverpool mendatangkan pemain. Sebelum, bursa transfer musim panas tahun ini, Liverpool terakhir kali mendatangkan pemain bintang pada 19 Juli 2018.

Kala itu, Liverpool membayar 62,5 juta euro kepada AS Roma untuk menggaet Alisson Becker. Lebih dari dua kali lipat harga Thiago, memang, tapi kita tahu seberapa krusial transfer Alisson itu untuk Liverpool.

Thiago bukanlah pemain terakhir yang Liverpool gaet musim ini. Sehari setelah kedatangan jebolan La Masia itu, si ‘Merseyside Merah’ menghadirkan Diogo Jota.

Sementara Jota kemungkinan besar akan menjadi pelapis trio di lini depan, Thiago adalah perwujudan dari keniatan Liverpool berinovasi. Ia bakal menjadi sosok penting di lini tengah. 

***

Urgensi Liverpool mendatangkan Thiago sebenarnya tak tinggi-tinggi amat. Juergen Klopp masih punya stok melimpah di lini tengah. Namun, tentu saja, sebagai juara bertahan Liverpool tetap membutuhkan inovasi.

FYI, area sentral Liverpool masih relatif lemah untuk pendistribusian bola ke lini depan. Ini jadi salah satu aspek minus dibanding para kompetitornya. Manchester City (lewat Rodri dan Ilkay Guendogan) dan Chelsea (Jorginho dan Mateo Kovacic), memiliki gelandang-gelandang yang paling intens melepaskan umpan ke depan pada Premier League musim lalu.

Rendahnya persentase umpan ke depan dari para gelandang Liverpool memang bisa dimaklumi. Pasalnya, Klopp sudah punya solusinya. Ia mengalokasikan serangan timnya ke sepasang full-back.

Menurut WhoScored, persentase serangan Liverpool di Premier League musim lalu dari sisi tengah cuma mencapai 26%. Sebagai pembanding, jumlah itu masih kalah dari Burnley yang mencatatkan persentase sebesar 27%.

Lain cerita dengan sisi tepi yang punya persentase lebih tinggi. Rinciannya, 38% dari tepi kiri dan 36% dari sisi sebaliknya. Maka jangan heran kalau Trent Alexander-Arnold dan Andrew Robertson jadi pemasok assist tertinggi Liverpool di Premier League dengan raihan 13 dan 12 assist. Kuantitas itu jauh lebih tinggi dari Jordan Henderson yang cuma mengemas 5 assist pada musim lalu.

***

Berbeda dengan Pep Guardiola, Klopp memang tak membutuhkan gelandang bertipe untuk menjadi playmaker dalam timnya. Alih-alih demikian, arsitek asal Stuttgart itu memakai box-to-box yang mahir dalam menyeimbangkan area tengah. Kemampuan semacam ini penting untuk mengakomodasi skema gegenpressing Klopp usung.

Selain Henderson, Klopp bertumpu kepada Georginio Wijnaldum, Naby Keita, dan Fabinho. Ya, bisa dilihat bagaimana tipikal permainan mereka: Fasih bertahan sekaligus piawai mendistribusikan bola.

Namun, Thiago adalah sosok yang berbeda. Dia bisa berperan sebagai playmaker. Betul bahwa dia tak begitu berkontribusi langsung atas serangan Bayern. Namun, itu tak melunturkan perannya sebagai distributor bola utama Die Roten di area sentral.

Thiago menjadi gelandang dengan persentase umpan sukses tertinggi di Bayern dengan 90,5%. Nilai plusnya lagi, ya, kemampuan bertahannya yang oke. Tak kalah dengan Henderson, Wijnaldum, Fabinho, dan Keita.

Duel versus Paris Saint-Germain di final Liga Champions termutakhir bisa menjadi acuan. Thiago jadi pemain dengan kuantitas umpan tertinggi. Tak hanya itu, dia juga menjadi yang teraktif soal aksi intersep dan tekel --setara dengan Thomas Mueller.

***

Berbicara soal inovasi tadi, Thiago nantinya diharapkan mampu memperkaya varian serangan Liverpool. Jadi arus serangan mereka bakal bertambah di area tengah, tak lagi hanya terpatok di sisi sayap.

Tak bisa dimungkiri bahwa klub-klub Premier League sudah mulai bisa meredam agresivitas Liverpool. Toleh saja betapa repotnya mereka menggamit kemenangan pada pengujung tahun lalu. Mohamed Salah cs. beberapa kali menang dengan skor mepet di pentas liga.

Selain dengan Wolverhampton Wanderers dan Tottenham Hotspur, Liverpool juga cuma mampu menang 1-0 atas Norwich City. Kemudian mereka menutup laga melawan Everton dengan catatan imbang tanpa gol dan skor 1-1 saat melawan Burnley. Belum lagi dengan kekalahan telak dari Watford dan Manchester City, plus keok 1-2 dari Arsenal.

Pangkal masalah dari hasil negatif itu, ya, minimnya varian serangan Liverpool. Ambil contoh di laga melawan Everton pada pekan ke-30. Penyebabnya, mereka gagal mengeksploitasi serangan dari sisi sayap.

Alexander-Arnold, sang juru peluang Liverpool, cuma mampu melepaskan satu umpan kunci via skema open-play. Sadio Mane juga gagal menunjukkan maginya. Dia tercatat kehilangan penguasaan bola sebanyak 6 kali --tertinggi di antara seluruh pemain.

Kondisi di atas tak terlepas dari ketergantungan Liverpool akan sektor sayapnya. Situasinya sangat mungkin berbeda andai mereka punya gelandang yang lebih progresif macam Thiago. Kehadirannya bisa membantu Liverpool untuk mengatasi lawan yang mencanangkan garis pertahanan rendah.

Idealnya, sih, Thiago akan disandingkan dengan Henderson atau Wijnaldum, serta Fabinho, pada musim ini. Nama yang disebut belakang berperan lebih defensif, sementara Thiago akan meningkatkan kreativitas Henderson atau Wijnaldum.

***

Thiago langsung menunjukkan kualitasnya saat melakoni debut versus Chelsea di Premier League pekan kedua lalu. Meski baru turun di babak kedua, dia sukses melepaskan 56 umpan sukses di area lawan. Catatan itu merupakan yang tertinggi di antara seluruh pemain.

Di satu sisi, Liverpool juga sebaiknya jangan buru-buru mematok ekspektasi tinggi kepada Thiago. Adaptasi dari pertimbangan pertama. Disusul faktor cedera --ya, Thiago relatif rentan soal yang satu ini.

Menyitat Transfermarkt, musim lalu tercatat Thiago telah menepi 50 hari lantaran cedera. Alhasil dia hanya sempat mentas 21 kali dari total 34 laga Bayern di Bundesliga. Namun, itu pun masih mending. Thiago bahkan pernah menepi 81 hari di musim 2017/18 gara-gara masalah otot.