"Tick, Tick… Boom!" Evan Dimas

Foto: PSSI

Evan Dimas si bocah ajaib itu sebentar lagi 27 tahun. Orang-orang percaya bahwa inilah usia emas seorang pesepakbola. Namun, hingga sekarang kita belum benar-benar melihat Evan mencapai potensi terbaiknya. Waktu, di sisi lain, terus berdetak.

Year’s are getting shorter
The lines on your face are getting longer
Feel like you’re treading water
But the riptide’s getting stronger

Orang-orang terdekatnya percaya bahwa Jonathan Larson adalah komposer berbakat. Bagi Larson, sementara itu, hal tersebut serupa penyemangat sekaligus tantangan untuk mencapai mimpi besarnya: Menembus Broadway. Sejak memutuskan terjun di dunia teater, mimpinya memang cuma itu.

Bagi orang-orang seperti Larson, Broadway ibarat tanah suci. Ia adalah penanda kesuksesan sekaligus gerbang menuju panggung yang jauh lebih besar. Di distrik yang berisi kumpulan teater dan pertunjukan itu telah lahir para aktor, aktris, sutradara, dan bintang panggung ternama lainnya.

Status itu pula yang bikin upaya Larson untuk menembus Broadway susah bukan main. Tak terhitung berapa banyak proposal yang ia buat mental.

Di sisi lain, waktu terus berjalan. Usianya 30 tahun sebentar lagi, sedangkan mimpinya tak kunjung tercapai. Larson yang seorang pramusaji lantas membandingkan dirinya dengan legenda Broadway, Stephen Sondheim, yang sudah debut ketika usianya masih 27 tahun.

Secercah harap datang lewat Superbia. Masalahnya, Larson kesulitan menyelesaikan sejumlah bagian penting. Berbagai problema juga menyelimuti jelang tenggat: Perihal asmara, teman-temannya yang tumbang karena HIV, hingga kebingungan soal apakah teater memang jalan tepat untuknya.

Friends are getting fatter
Hairs on you head are getting thinner
Feel like a clean up batter
On a team that ain’t a winner

Larson menceritakan kisah hidupnya itu lewat pentas monolog rock Tick, Tick…Boom!, sebuah judul yang terasa pas karena menggambarkan detik waktu yang terus menghantui di tengah harap yang belum tercapai. Belum lama ini, Netflix mengangkatnya ke dalam film dengan judul serupa.

***

Ketika eks pemain Persebaya, Mursyid Effendi, berkata bahwa Evan Dimas adalah ‘bocah ajaib’, ia tak sedang melebih-lebihkan. Pada masanya, Evan memang memiliki segala sesuatu yang membuat namanya pantas menyandang julukan tersebut.

Pada usia 16 tahun ia sudah mengapteni Timnas Indonesia U-17 yang menjuarai HKFA International Youth Football Invitation Tournament 2012 Hongkong. Setahun berselang, Evan terpilih sebagai satu dari empat pemain muda terbaik Asia Tenggara untuk belajar di La Masia.

Evan kian meroket ketika membela Timnas U-19-nya Indra Sjafri di Piala AFF 2013. Kala itu Timnas yang tengah redup memberi kejutan lewat penampilan gemilang. Umpan pendek jadi kunci dengan Evan sebagai poros serangan. Dari tengah, ia bisa memberi ancaman via operan maupun tembakan.

Yang spesial dari Evan adalah kecerdasannya bergerak di half-space. Itulah kenapa, Evan rutin mencetak gol kendati bertugas sebagai gelandang. Sementara di AFF 2013 ia mencetak lima gol alias terbanyak di antara rekan-rekannya, Evan juga tampil tajam di Kualifikasi Piala Asia U-19 2014.

Pada laga penentuan melawan Korea Selatan, Evan mencetak hattrick yang meloloskan Timnas U-19 dari babak kualifikasi. Namun, pertandingan akhir babak grup itu juga seolah menjadi akhir dari gebrakan seorang Evan. Setelahnya, rasanya tak ada hal spesial lain yang ia tunjukkan.

Ini tak berasal dari Evan sepenuhnya.

Setahun setelah tampil di Piala Asia U-19 2014 yang hasilnya malapetaka, Indonesia tak memiliki kompetisi sama sekali. Kisruh yang terjadi di tubuh federasi membuat aktivitas sepak bola dalam negeri dibekukan, termasuk Liga Indonesia 2015 yang kala itu baru berjalan tiga pekan.

Jelas bukan kabar baik bagi Evan yang saat itu berstatus pemain Surabaya United. Bagi para pemain seusianya, mengecap kompetisi profesional adalah perkara penting. Trial bersama UE Llagostera di Spanyol kala itu juga sama sekali tak membantu sebab Evan gagal lolos seleksi.

CEO Surabaya United, Gede Widiade, mengatakan bahwa benjolan kecil di kaki Evan berpengaruh cukup besar terhadap kegagalan tersebut. Ibu Evan, Anna, punya pendapat berbeda. Katanya, Evan kesulitan beradaptasi di Spanyol, terutama karena masalah bahasa.

Pesepakbola kelahiran 1995 itu akhirnya kembali ke Indonesia tanpa kepastian sama sekali. Tak ada kompetisi untuk mencari nafkah sekaligus mengembangkan diri. Jalan keluar yang lantas Evan tempuh adalah mengikuti tarkam di sejumlah daerah.

Tarkam di kampung halamannya, Surabaya, hingga di pulau berbeda seperti Makassar pernah dia ikuti. Beberapa orang mengkritik Evan sebab tarkam bisa saja mencederainya. Bukan cuma karena tarkam yang terkesan keras, melainkan juga lapangan yang kurang memadai.

Namun, selain demi mengisi waktu luang, Evan punya pembelaan sendiri. Lagi pula ia tetap butuh penghasilan, sama seperti sebagian besar pemain lainnya yang juga mengikuti tarkam.

“Saya tahu apa yang harus saya lakukan. Dan saya yakin teman-teman dari klub lain juga respek terhadap pilihan saya dan pemain lain. Tarkam sekarang mungkin berbeda dengan dulu. Sekarang lebih baik dalam menerapkan aturan,” kata Evan menanggapi kritik yang berdatangan.

Kompetisi tak kunjung datang hingga pengujung 2015. Kabar baiknya, turnamen-turnamen berskala nasional beberapa kali dihelat. Ada Piala Jenderal Sudirman hingga Piala Presiden. Bahkan pada 2016, muncul turnamen berbentuk liga bernama Indonesia Soccer Championship.

Namun, baru pada 2017 kompetisi benar-benar kembali. Berakhirnya hukuman FIFA jadi pemicu. Evan, seperti semua pesepakbola Tanah Air lainnya, jelas menyambut kabar ini dengan gembira. Terlebih, PSSI dan pengelola liga menjanjikan kompetisi yang lebih tertata.

Kemudian lahirlah Liga 1. Pada edisi perdana, tim yang diperkuat Evan mengakhiri musim sebagai juara. Meski begitu, menyebut Evan sebagai sosok vital sama sekali tidak pas. Keberadaannya tak lebih penting dari Ilija Spasojevic dan Paulo Sergio di skuat Bhayangkara FC kala itu.

Mau bagaimana lagi? Hampir setengah dari total laga Bhayangkara ia lewatkan. Cedera dan panggilan TC Timnas yang terus-menerus datang jadi alasannya. Ini mestinya bukan masalah. Namun, karena liga yang terus berjalan selama agenda Timnas, Evan terpaksa absen cukup banyak.

Foto: PSSI

Alasan lainnya adalah karena kesulitan menyesuaikan diri dengan iklim sepak bola profesional. Sebuah alasan yang masuk akal lantaran ini musim pertama Evan terlibat di kompetisi resmi, meskipun usianya sudah 22 tahun kala itu. “Ternyata, bermain melawan tim senior itu beda,” ujar Evan.

Saat pindah ke luar negeri untuk membela Selangor pun performanya biasa saja. Malah, tak jarang Evan mendapat kritik. Bahkan sang pelatih sudah menyatakan rencana untuk tak mempertahankan si pemain jelang musim berakhir. Bukan kebetulan jika hanya setahun Evan berkiprah di Selangor.

Begitu pindah, sayangnya, Evan tak mendapatkan stabilitas yang baik karena sudah memperkuat tiga klub berbeda. Mulai dari Barito Putera dan Persija Jakarta yang masing-masing hanya bertahan semusim, sebelum kemudian kembali ke Bhayangkara FC musim ini.

Perpindahan klub yang terlampau sering itu jadi masalah pelik lain. Terlebih, sepak bola di Indonesia juga sempat terhenti selama setahun lebih karena pandemi COVID-19--Evan sempat mencetak dua gol dalam dua laga bagi Persija sebelum dihentikan. Berbagai kondisi inilah yang akhirnya agak menghambat perkembangan Evan.

Satu yang pantas disyukuri, Evan punya nasib yang jauh lebih baik ketimbang beberapa pemain seangkatannya di Piala AFF U-19 2013. Setidaknya ia masih berkiprah di kompetisi tertinggi dan selalu jadi andalan di Timnas Indonesia, tak peduli siapapun pelatihnya.

Barangkali Evan sudah merasa cukup dengan capaian seperti itu. Ia juga tentu tak akan limbung mempertanyakan apakah sepak bola adalah jalan yang tepat untuknya, sebagaimana Larson yang bimbang soal masa depan teaternya. Lagi pula, karier sepak bolanya bukan berarti buruk.

Namun, bagi kita yang mengikutinya sejak belia, setidaknya sejak Piala AFF 2013, potensi terbaik Evan sama sekali belum terlihat. Sementara itu, waktu terus berjalan tanpa henti. Tak terasa Evan sang bocah ajaib sebentar lagi 27 tahun. Tick, Tick… Boom!

***

Larson berksempatan menggelar workshop untuk karya Superbia-nya. Bagi para komposer, workshop ibarat pitching-nya pegiat agensi. Larson bisa saja tampil di Broadway seandainya workshop itu sukses. Apa boleh bikin, yang ia inginkan tak tercapai sama sekali.

Meski banjir pujian, Superbia yang diangkat dari 1984-nya Orwell dipandang terlalu aneh untuk Broadway. Tapi Larson tak menyerah. Setelah itu ia berencana membuat pertunjukkan yang hanya menampilkan dirinya, piano, dan band. Itulah muasal lahirnya Tick, Tick…Boom!.

Rencana berikutnya adalah menulis karya lain yang sebetulnya sudah terpikir sejak lama: Rent. Lewat judul ini, mimpi Larson akhirnya tercapai. Sayangnya, ia tak pernah merasakan hasil jerih payahnya sendiri. Larson meninggal dunia semalam sebelum karya musikalnya dipertunjukkan.