Tirani Kroenke

foto: instagram @theinvinciblered.

Ketika suporter mengamuk kepada Kroenke, tawaran untuk mengakuisisi Arsenal datang dari Daniel Ek. Namun, apa mungkin Arsenal dapat segera melepaskan diri dari Kroenke?

Bahkan sebelum benar-benar datang, Stan Kroenke sudah dimusuhi orang-orang London Utara.

Kompetisi 2018/19 diawali Arsenal dengan berbagai perubahan. Setelah Unai Emery naik sebagai pengganti Arsene Wenger, jajaran direksi ikut berubah. Kroenke semakin dekat dengan ambisinya untuk menjadi pemilik tunggal Arsenal. Jika awalnya menggamit 67,05% saham, kini ia membeli 30,04% saham yang tadinya dimiliki Alisher Usmanov.

Begitulah, sepak bola memang bertumbuh menjadi bentuknya yang paling aneh. Bahkan sebelum manuver itu terwujud, pemegang saham terbesar di Arsenal adalah dua konglomerat, yang satu dari AS, yang satu lagi dari Rusia.

Bagi suporter Arsenal, melihat Kroenke menjadi pemilik tunggal klub jauh lebih menakutkan ketimbang menyaksikan Tottenham Hotspur mengangkat trofi Premier League.

Sebagian besar uang untuk membeli saham mayoritas senilai 560 juta poundsterling itu berasal dari utang kepada Kroenke Sports & Entertainment (KSE) yang merupakan perusahaan milik Kroenke sendiri. Skema leveraged buyout memicu kekhawatiran para suporter Arsenal. Leveraged buyout dapat diartikan sebagai akuisisi yang sebagian dasar dananya berasal dari utang.

Yang ditakutkan oleh para suporter, bagaimana jika mereka mengalami nasib serupa Manchester United? Utang-utang perusahaan yang dimiliki oleh para petinggi justru dialihkan kepada klub? Kepemilikan tunggal juga membukakan pintu lebar-lebar kepada Kroenke untuk menutup transparansi pengelolaan keuangan.

Kroenke menjejakkan kaki ke Arsenal pertama kali pada 2007. Kedatangannya sebagai salah satu investor disambut dengan permusuhan oleh sebagian besar suporter Arsenal. Mereka tahu cara kerja Kroenke di dunia olahraga. 

Para suporter menganggap mempersilakan Kroenke masuk ke Highbury sama dengan membiarkan orang asing mengobrak-abrik identitas klub dengan menjadikannya sebagai bagian dari ‘waralaba’ sang konglomerat.

Sebelum kedatangan Kroenke Arsenal masih bisa berdiri gagah sambil mengangkat tiga trofi Premier League. Sebelum Piala FA 2013/14, tak ada satu gelar juara pun yang bisa direngkuh oleh Arsenal. The Gunners tidak hanya terlihat sebagai klub tanpa gelar juara, tetapi juga tanpa arah dan visi. 

Para suporter mendidih, mereka turun ke jalan dan menggelar protes. Semuanya demi satu tujuan, mengusir Kroenke dari Arsenal. Apes, bukannya pergi, Kroenke malah menjadi penguasa tunggal Arsenal.

Ketika pandemi COVID-19 menghantam, suporter tak punya alasan untuk tidak waswas. Mereka mengamuk karena klub merumahkan karyawan di tengah ketidakjelasan. Itu belum ditambah dengan keputusan untuk memecat Gunnersaurus. Alasannya, klub tak punya uang yang cukup untuk maskot yang telah bersorak untuk Arsenal saat tegak dan tumbang. Keputusan itu tak selaras dengan perhitungan Forbes yang menyebut bahwa nilai kekayaan Kroenke masih ada di angka 8 miliar dolar AS.

Di tengah gembar-gembor efisiensi sebagai satu-satunya cara bertahan hidup saat pandemi, Arsenal malah memberikan lampu hijau untuk mendatangkan Thomas Partey yang membawa klausul 50 juta euro. Badai finansial yang mengguncang seluruh klub sepak bola selama pandemi rasanya sudah cukup untuk melahirkan prasangka bahwa Kroenke memberikan sokongan signifikan untuk mewujudkan transfer ini.

Di antara suporter yang mengamuk itu mungkin benar-benar ada yang berharap bahwa transisi rumit yang ditandai dengan pemecatan dan restrukturisasi adalah awal momentum Arsenal yang baru. 

Barangkali ini menjadi langkah pertama perubahan yang diidam-idamkan suporter Arsenal. Mungkin klub sedang benar-benar berusaha untuk memperbaiki kondisi tim dengan mendatangkan gelandang yang mereka butuhkan itu berapa pun harganya.

Lalu temuan ganjil lainnya muncul: Kesepakatan transfer Nicolas Pepe menjelang 2019/20 yang dibuat dalam acara barbekyu dan garansi bahwa sang konglomerat akan memberikan akses pendanaan jika klub benar-benar tak mampu menjual pemain untuk mendatangkannya, penolakan konstan Kroenke setiap Wenger meminta dana untuk tim, para eksekutif yang menjadi dalang efisiensi saat pandemi, hingga keberadaan tim rahasia KSE yang bertugas untuk memantau aktivitas Arsenal.

Segala sesuatunya berjalan di dalam pekat, serba-rahasia, tanpa kejelasan. Ada tembok yang berdiri tegak, yang memisahkan suporter dan Arsenal selama 14 tahun.

Mereka yang murka meledak begitu Arsenal mengumumkan bahwa klub turut menjadi salah satu pencetus European Super League. 

Kompetisi tertutup ini tadinya diharapkan dapat berjalan pada Agustus 2021. Konon, mereka sudah mendapatkan kesepakatan investasi dari JP Morgan dan pemegang hak siar. ESL ibarat ayunan tongkat ibu peri kepada baju buluk Cinderella. Dalam umurnya yang tak lebih hebat daripada jagung itu, mereka tidak hanya membidik suporter lokal, tetapi juga pencinta sepak bola di Asia dan Amerika. Tim besar melawan tim besar setiap hari. Tidak ada kisah Daud melawan Goliat karena semuanya serba-raksasa.

Bagaimana tidak tergiur jika uang keikutsertaan saja bisa mencapai 400 juta euro? Kalau menutup turnamen sebagai juara, silakan bawa pulang 500 juta euro.

Bagi Arsenal yang sudah lama tak menjejak di Liga Champions, tentu ini menjadi kesempatan bagus. Kapan lagi kau bisa mendapatkan uang yang lebih besar dibandingkan hadiah Liga Champions alias turnamen yang kerap menutup pintunya terhadapmu? Itu belum ditambah dengan iming-iming uang hadiah ini tak hanya memberikanmu kapal sekoci di tengah ketidakpastian pandemi, tetapi kapal pesiar.

Cukup sudah bagi para suporter. Watak rakus seperti para konglomerat yang mengeluh tak punya uang ini membuat mereka punya cukup alasan untuk kembali turun ke jalan. Arsenal tak sendirian. Suporter-suporter klub pemberontak yang lain pun melakukan langkah serupa.

Apa boleh buat, Arsenal terdesak, mereka pun meminta maaf dan menyatakan mundur dari ESL. Direktur Josh Kroenke dan CEO Vinai Venkatesham bertemu dengan suporter dengan para suporter yang murka dalam sebuah forum.

Permintaan maaf dan kesediaan dua pembesar untuk mendengar amukan mereka tak cukup. Para suporter tetap meminta Klan Kroenke untuk segera pergi dari Emirates Stadium. Keinginan itu sepertinya tidak bertepuk sebelah tangan. Saat situasi genting, bos besar dan pemilik Spotify, Daniel Ek, justru menawarkan diri untuk mengakuisisi klub.

"Sejak kanak dan sepanjang ingatan, saya selalu mendukung Arsenal. Saya bersorak untuk setiap kemenangan dan berduka untuk setiap kekalahan mereka. Saya dengan senang hati membuka diri jika KSE berniat untuk menjual kepemilikan Arsenal," tutur Ek lewat akun media sosialnya.

Barangkali Ek tak punya pengalaman apa pun tentang mengurus klub sepak bola. Namun, mungkin para suporter menganggap menyerahkan hidup kepada orang yang belum dikenal lebih baik daripada hidup bersama orang yang membuat mereka terpisah dengan Arsenal selama 13 tahun. 

Mengutip The Guardian, Ek meminta bantuan Patrick Vieira, Thierry Henry, dan Dennis Bergkamp. Terlepas alasan romantisme yang diutarakan, langkah mengajak tiga legenda Arsenal itu barangkali merupakan strategi Ek untuk 'melawan' Kroenke. 

Forbes menafsir kekayaan Ek mencapai 4,5 miliar dolar AS. Sementara, kekayaan Kroenke dua kali lipat lebih besar, 8 miliar dolar AS tadi. Kekayaan itu tidak menjadi satu-satunya kekuatan Kroenke. Jangan lupa bahwa ia menikah dengan konglomerat Anne Walton yang valuasi kekayaannya mencapai 8,8 miliar dolar AS, bahkan lebih besar daripada suaminya. Itu berarti keduanya bersatu menjadi kekuatan yang sulit diguncang.

Nilai Arsenal sebagai perusahaan ditafsir mencapai 2 miliar poundsterling, tetapi bukan tidak mungkin mereka menaikkan harga sampai 3 miliar poundsterling. Itu berarti, ada kemungkinan ia harus menjual sahamnya di Spotify dalam jumlah besar untuk mengakuisisi Arsenal.

Ketika angin segar untuk para suporter berembus, KSE bertindak dengan berkata di depan publik bahwa Arsenal tidak dijual. Arsenal is not for sale. Agaknya palu nasib menjatuhkan vonis yang sama dalam 14 tahun terakhir: Tembok tegak itu tetap ada di sana, menjadi pemisah yang kokoh antara suporter dan Arsenal.