Tottenham vs Chelsea: Perkara Hobi Menyulitkan Diri Sendiri

Foto: @SpursOfficial.

Buat Tottenham, Chelsea adalah lawan yang amat menjengkelkan. Lima tahun lalu, di Stamford Bridge, amarah itu tertuang.

Kepala para pemain Tottenham Hotspur tak pernah setegak itu saat menginjak rumput Stamford Bridge. Hanya kemenangan yang mereka bayangkan. Peduli setan dengan catatan kegagalan mereka di sana sejak 1990. Tiga poin hukumnya fardu demi mengejar Leicester City pucuk klasemen.

Pada 2 Mei 2016 itu, Chelsea tak ubahnya seperti klub medioker. Transisi Jose Mourinho ke Guus Hiddink tak membuat mereka mendingan. Performa Chelsea justru amburadul. Mereka adalah juara bertahan yang terbenam di peringkat kesembilan. Tottenham, lain soal. Mereka tak pernah sebaik ini. Slot runner-up rutin mereka isi sejak pekan ke-25. Ya, sedekat itu Tottenham dengan titel yang sudah diimpikan 45 tahun lamanya.

Benar saja, Tottenham lebih superior dari saudara sekotanya itu. Lesakan Harry Kane dan Son Heung-min mengubur setengah badan Chelsea. Mereka sudah ketinggalan dua gol dalam satu babak.

Namun, apa yang terjadi justru di luar perkiraan. Para personel Tottenham menggila dalam arti sebenarnya. Mereka menghajar pemain Chelsea. Pedro Rodriguez kena sikat Kyle Walker kemudian Diego Costa yang ditarik Jan Vertonghen sampai mencak-mencak.

Namun, itu belum apa-apa dibanding ulah Danny Rose ke Willian jelang turun minum. Keduanya bersitegang sampai memicu pertikaian besar. Bukan hanya Mousa Dembele, Eric Dier, dan Eric Lamela yang terlibat, tetapi juga Mauricio Pochettino. Mulai dari sini, laga berubah total. Lebih mirip duel UFC ketimbang pertandingan Tottenham versus Chelsea.

Foto: Whoscored

The Blues tahu mereka bisa mengambil keuntungan dari ini. Cukup lakukan provokasi kecil, maka Tottenham akan menyambutnya dengan hantaman. Cesc Fabregas salah satunya. Ia protes ke sana-sini saat tangannya diinjak Lamela. Belum ditambah dengan tingkah mejengkelkan Costa dan Willian yang membuat pemain-pemain Tottenham makin naik pitam.

Masuknya Eden Hazard di babak kedua juga menambah masalah buat tim tamu. Gaya dribelnya memancing penggawa Tottenham untuk melakukan tekel, termasuk Dier dan Ryan Mason.

Bila ditotal, Mark Clattenburg mengeluarkan 12 kartu kuning dan sembilan di antaranya untuk The Lilywhites. Betul, tidak ada satu pun kartu merah yang muncul. Clattenburg punya alasan untuk itu, sebagaimana yang diucapkannya di podcast Men in Blazers.

“Aku membiarkan mereka [Tottenham] merusak diri mereka sendiri sehingga semua media, semua orang di dunia berkata: 'Tottenham kehilangan gelar’. Jika aku mengusir tiga pemain Tottenham, apa berita utama? 'Clattenburg membuat Tottenham Kehilangan Gelar.' Itu adalah pertunjukan murni yang dilakukan Tottenham sendiri saat melawan Chelsea, dan Leicester memenangi gelar."

Pada akhirnya, Tottenham-lah yang merugi. Mereka kehilangan apa yang mereka kejar dari awal: Kemenangan. Itu semua gara-gara mereka sendiri. Bukan Clattenburg, bukan pula Chelsea. Hugo Lloris kemasukan dua gol di paruh kedua. Satu dari Gary Cahill, satu lainnya Hazard. Semuanya cukup untuk menggagalkan Tottenham meraih tiga angka pada pekan ke-36 itu.

Konyolnya lagi, Tottenham keok di dua laga setelahnya dari Southampton dan Newcastle United. Alih-alih juara, mereka malah melorot ke peringkat tiga. Coba tebak siapa yang menggeser Tottenham? Betul, Arsenal. Happy Saint Totteringham's Day.

***

Tottenham tidak dalam kondisi baik-baik saja sekarang. Mereka baru saja dilumat Crystal Palace 0-3 dan ditahan Rennes di Conference League.

Oke, kekalahan dari Palace terwajarkan karena Tottenham kehilangan Japhet Tanganga pada menit ke-58. Bermain dengan 10 pemain membuat skema awal Nuno Esprito Santo tak berjalan sesuai rencana. Cuma sebiji tembakan yang mampu mereka lepaskan setelahnya. Sementara Palace mengukir 3 shot on target yang semuanya berbuah gol.

Overall, produktivitas memang menjadi problem terbesar Tottenham saat ini. Cuma 0,75 rata-rata gol per laga mereka atau terburuk keempat di Premier League musim ini. Sulit dimungkiri bahwa Nuno membuat Tottenham menjadi kuat di belakang. Itu tergambar dari 3 nirbobol yang mereka toreh. Tapi, itu tadi, jumlah gol mereka minim. Bahkan xG keseluruhan pemain Tottenham hanya menyentuh 3,79 (terendah kedua setelah Leicester City).

Menjadi kian sengkarut karena besarnya ketergantungan kepada Son. Dua kali ia absen, dua kali pula Tottenham gagal menang. Eks Bayer Leverkusen itu juga menyumbang 2 dari total 3 gol mereka.

Dosa terbesar Nuno bukan cuma itu, melainkan kealpaannya memaksimalkan peran Kane. Sudah semestinya ia bisa memfungsikan topskorer Premier League 3 kali itu dengan baik dan benar. Kane masih nihil gol sekarang. Padahal, rata-rata ia mencetak 23 gol dalam tujuh musim terakhir.

Keterlibatan Kane dalam aksi ofensif begitu minim. Rata-rata tembakan di tiap pertandingannya cuma 0,7 atau nyaris seperlima dari Son. Jangankan untuk itu, dari Davinson Sanchez dan Pierre-Emile Hojbjerg saja Kane masih kalah.

Cukup masuk di akal karena kecenderungan Nuno menggunakan sisi kanan sebagai jalur serangannya. WhoScored mencatatnya dengan persentase 45% yang menjadi angka tertinggi di Premier League. Pertandingan melawan Watford di pekan ketiga menjadi bukti minimnya keterlibatan Kane dalam aksi ofensif. Hanya tujuh sentuhan yang ia dapat di kotak penalti. Jumlah tembakannya pun cuma sebiji. Masih kalah dari Son yang mencatatkan 11 sentuhan dan 3 shot

So, sebenarnya tak ada salahnya Nuno mencanangkan format tiga bek—seperti yang diterapkannya bersama Wolverhampton Wanderers. Dengan begitu, Kane tak harus untuk turun terlalu dalam mengingat padatnya area tengah. Toh, Nuno juga pernah sukses menaruh Raul Jimenez sebagai striker pada pakem 3-4-3 di musim 2019/20.

Lagi pula formasi 3 bek bisa menjadi salah satu solusi untuk meredam Chelsea-nya Thomas Tuchel. Ya, mirroring formasi penting untuk menangkal senjata Tuchel dalam menciptakan overload di sektor depan.

Pada dasarnya Tuchel intens mengaplikasi pakem dasar 3-4-3 atau 5-3-2. Dalam fase ofensif, kedua wing-back akan bergerak maju membentuk 3-2-5. Mereka beralih menjadi penyerang tambahan, dan ini nyaris selalu berhasil. Nyatanya Marcos Alonso serta Reece James sudah menyumbang 2 gol dan 2 assist bila dikalkulasi.

Ini yang membedakan Chelsea dengan Tottenham. Mereka memiliki lebih banyak pemain yang bisa diandalkan untuk mencetak gol. Makin diperkuat lagi dengan adaptasi Romelu Lukaku yang berjalan mulus. Sudah tiga lesakan dibuatnya dari tiga pertandingan. 

Di atas kertas, Chelsea lebih diunggulkan mengingat ajeknya performa, stabilitas pemain, dan kematangan taktik Tuchel. Namun, bukan berarti Tottenham nihil kans. Peluang selalu terbuka asal mereka tak lagi-lagi menyulitkan diri sendiri seperti tragedi lima tahun silam.