Uang Tidak Bisa Membeli Trofi?

Ilustrasi: Arif Utama.

Banyak sekali yang dilakukan Paris Saint-Germain dan Manchester City untuk menjadi klub besar dan populer. Namun, pangkalnya satu: Uang yang banyak

City of Manchester Stadium begitu sepi saat Manchester City menjamu Paris Saint-Germain pada ajang Piala UEFA, Desember 2008. Tak ada yang menarik memang. Keduanya sama-sama bukan tim bergelimang trofi. Tak banyak pemain bintang. Tak ada permainan spektakuler.

Semuanya makin terbukti kala pertandingan berakhir. Di papan skor, angka yang tertulis adalah 0-0 alias imbang. Bersyukurlah bagi siapa saja yang tak menyaksikannya.

***

Beberapa bulan sebelum menghadapi PSG pada 2008, City berada dalam kondisi yang mengenaskan. Tak perlu bicara soal prestasi mereka di Premier League. Dari segi finansial, situasi City jauh lebih buruk. Ucapan Garry Cook selaku CEO City kala itu merangkum semuanya.

“Kami tidak mampu membayar tagihan, tidak bisa membayar gaji. Semua uang dibekukan. Kami putus asa,” tutur Cook.

Bicara prestasi, City bukannya tak pernah mengangkat trofi juara sama sekali. Tim berjuluk The Citizens ini pernah menjuarai kompetisi First Division pada musim 1936/37 dan 1967/68. Pada 1975/76, mereka juga sempat menggamit Piala Liga Inggris.

Namun, menyebut City sebagai tim besar adalah suatu kesalahan. Menganggap mereka tim bergelimang harta apalagi. City lebih cocok disebut sebagai tim semenjana yang keberadaannya tak penting bagi Manchester yang sudah punya Manchester United.

Kondisi finansial yang mencekat jadi bukti. Malah, City sampai harus meminjam uang ke sana-sini lantaran bernafas saja sudah tak mampu. “Kami coba meminjam uang, termasuk kepada anggota dewan direksi, bukan untuk menjalankan klub, melainkan untuk selamat dari kehancuran,” ungkap Cook.

Yang City lakukan setelah mendapatkan pinjaman adalah belanja, termasuk Robinho. Lagi-lagi, tujuannya bukan untuk menjalankan klub. Menurut Cook, upaya itu mereka lakukan sebagai upaya membuktikan diri kepada calon pembeli bahwa terlepas dari situasi buruk, klub ini masih punya ambisi.

The Citizens memang selangkah lagi menjadi milik konglomerat asal Uni Emirat Arab, Sheikh Mansour, kala itu. Setelah mendapat penolakan dari Tom Hicks and George Gillett tatkala ingin membeli Liverpool, ia mengalihkan pandangan ke arah tetangga Manchester United tersebut.

Kali ini tak ada penolakan. Tepat pada 23 September 2008, kesepakatan akhirnya terjadi. Sheikh Mansour resmi menjadi pemilik City setelah membelinya dari eks Perdana Menteri Thailand, Thaksin Shinawatra. Dana sebesar 200 juta poundsterling ia keluarkan kala itu.

Karena tengah dalam situasi pelik, Sheikh Mansour seperti datang pada waktu yang tepat. Bahkan tak berlebihan menyebutnya seperti seorang juru selamat. Terlebih, ia tak cuma menyelamatkan, tetapi juga mengubah City menjadi tim yang tak pernah terbayangkan sebelumnya.

Kedatangan Mansour awalnya tak lebih dari sekadar sensasi. Bahkan Sir Alex Ferguson cuma menyebut mereka sebagai ‘tetangga berisik’. Namun, kemenangan 6–1 atas United di Old Trafford pada 2011 membuat City lebih sering masuk ke pembicaraan.

Puncaknya adalah gelar Premier League pada musim tersebut. Berkat gol menit-menit akhir Sergio Aguero, City berhasil mengangkangi Sir Alex dan United-nya yang cuma finis di urutan kedua. Sejak hari itu Manchester tak cuma berwarna merah, tetapi juga biru langit.

Untuk meraih capaian tersebut, yang City lakukan mula-mula tak beda dengan OKB lainnya. Mereka berbelanja sebanyak mungkin, mendatangkan pemain bintang mana saja yang bisa didatangkan. Carlos Tevez, David Silva, Sergio Aguero, dan beberapa nama lain.

Secara keseluruhan, City telah menghabiskan tak kurang dari 2,3 miliar dolar AS untuk pemain baru sejak kedatangan konglomerat tersebut.

Namun, seperti yang dituliskan penulis The Flanker, Marini Saragih, City percaya bahwa sekadar mendatangkan pemain bintang untuk berlaga selama dua atau tiga musim tidak cukup. Karena itulah mereka berbenah, membangun sistem yang tepat agar dapat menciptakan masa depan.

Akademi sepak bola terdepan serta fasilitas nomor satu adalah dua hal yang paling tampak. Di luar itu, City juga memantapkan diri dengan sistem yang tepat. Direkrutnya Ferran Soriano dan Txiki Begiristain, yang juga otak di balik kedatangan Pep Guardiola, menunjukkan keseriusan mereka.

Ganjaran atas semuanya? Lima gelar Premier League, dua Piala FA, enam Piala Liga, serta tiga kali memenangi Community Shield. Jika ada yang kurang, barangkali cuma Liga Champions. Musim ini bisa menjadi kesempatan City untuk mendapatkannya.

***

PSG bukanlah klub super tetapi mereka tak semengenaskan City. Saat masih di bawah kepemillikan Canal Plus, perusahaan televisi berbayar Prancis, mereka tak asing dengan piala. Pada 1994, PSG menjuarai Ligue 1. Setahun kemudian, mereka bahkan menembus semifinal Liga Champions.

Pemain bintang juga bukan hal langka bagi mereka. PSG pernah diperkuat nama-nama yang tak asing di telinga. Ada George Weah, Ludovic Giuly, Claude Makelele, Gregory Coupet, hingga Mateja Kezman. Salah satu pemain paling ikonik di dunia, Ronaldinho, juga pernah berseragam PSG.

Namun, sekitar 2010 klub itu berada dalam situasi pelik. Musim itu PSG finis di urutan ke-13 Ligue 1. Dilansir AFP, penonton di Parc des Princes juga berkurang drastis, terutama setelah adanya konflik antara dua kelompok suporter yang menyebabkan dihentikannya penjualan tiket stadion.

Qatar Sports Investments (QSi) yang dipimpin konglomerat bernama Nasser Al-Khelaifi datang di tengah-tengah kondisi itu. Pada 2011, mereka membeli PSG seharga 50 juta euro. Sejak saat itu PSG bertransformasi menjadi klub yang sama sekali berbeda.

Meski ada embel-embel politik dan unjuk kekuasaan, QSi menunjukkan keseriusan mereka dalam membangun PSG. Pada jumpa pers pertamanya, Khelaifi berkata bahwa ia ingin menjadikan PSG sebagai tim hebat yang disegani semua orang. Tentu, uang jadi modal utama

Gelontoran uang Qatar yang seakan tiada habis itu bikin PSG bisa belanja besar. Pada lima musim pertama saja, PSG sudah menghabiskan 548 juta euro hanya untuk membeli pemain. Ini termasuk biaya kedatangan Edinson Cavani, David Luiz, hingga Zlatan Ibrahimovic.

Di antara semuanya, yang paling mencengangkan jelas saat mereka memecahkan rekor transfer dunia dengan mendatangkan Neymar pada 2017–18. Lebih dari 200 juta euro yang PSG keluarkan untuk menebus sang pemain dari Barcelona kala itu.

Musim ini tak berbeda. Saat Barcelona kesulitan menebus gaji Lionel Messi, PSG jadi satu-satunya tim yang menawarkan diri. Pada akhirnya perpindahan yang dulu terdengar mustahil itu terjadi: Untuk pertama kali dalam hidupnya, Messi mengenakan kostum klub yang berbeda.

Segala aktivitas belanja itu beriring sejalan dengan prestasi di lapangan. Sejak dibeli Qatar, PSG hampir tak tersentuh di negara sendiri. Sebanyak enam gelar Ligue 1 mereka raih, lalu ada Piala Prancis dan Piala Liga yang juga punya jumlah serupa.

Jika berhasil mengalahkan Bayern Muenchen tahun lalu, PSG bahkan bisa saja menambahkan trofi Liga Champions ke lemari mereka. Inilah satu-satunya gelar yang belum mampu PSG peroleh. “Sejak tiba di sini, Liga Champions sudah menjadi impian kami,” ujar Khelaifi.

Terlepas dari trofi, QSi juga gencar mengembangkan PSG sebagai sebuah brand yang amat kuat. Kedatangan singkat David Beckham, salah satu pesepakbola paling ikonik dan populer sepanjang masa, pada 2013 lalu kabarnya adalah salah satu upaya itu.

Tercapainya kerja sama PSG dengan jenama Air Jordan milik Michael Jordan jadi contoh lain. Saat kesepakatan tersebut diumumkan pada 2018, PSG menjadi klub sepak bola pertama di dunia yang menjalin kesepakatan bisnis dengan pemain basket legendaris tersebut.

***

Paris Saint-Germain dan Manchester City akan bersua pada Rabu (29/9/2021) dini hari WIB. Tentu, kondisinya jauh berbeda ketimbang pertandingan yang berakhir imbang tanpa gol 13 tahun lalu. Baik PSG maupun City sama-sama sudah berubah.

Keduanya kini adalah tim yang bergelimang trofi. Ada banyak pemain bintang. Kemungkinan hadirnya pertandingan spekatkuler pun amat besar. Mereka juga tak lagi berjumpa di kompetisi kelas dua UEFA. Kali ini arenanya adalah panggung akbar bernama Liga Champions.

Apa yang mengubah mereka? Banyak. Pangkalnya? Uang.