Umpan Silang dan Overload Kotak Penalti

Umpan silang sempat kehilangan popularitasnya, tapi musim ini angka menunjukkan bahwa metode ini bisa kembali populer dengan munculnya strategi overload kotak penalti lawan.
Umpan silang bukanlah cara yang ideal untuk menghasilkan peluang. Rerata sebuah tim harus melepaskan 45 umpan silang untuk (hanya) menghasilkan sebuah tembakan. Terdengar amat tidak efektif, bukan?
Itulah mengapa, karena ketidakefektifannya, angka rerata umpan silang biasanya menurun dari musim ke musim. Di Premier League, contohnya, angka rerata umpan silang ke kotak penalti per 90 menit menurun dari 1,90 pada musim 2022/23 ke angka 1,86 di musim lalu.
Akan tetapi, musim ini berbeda. Angka tersebut meningkat. Klub-klub Premier League mencatat rerata 1,91 umpan silang ke kotak penalti per 90 menit. Kenaikan cukup masif juga dicatatkan klub-klub Bundesliga, dengan 2,06 umpan silang ke kotak penalti per 90 menit musim ini berbanding 1,89 musim lalu. Apakah umpan silang kembali jadi populer?
Well, bisa jadi. Sebab, beberapa pelatih atau klub mulai kembali memercayakan umpan silang sebagai salah satu metode untuk menciptakan peluang. Dan biasanya, tim yang catatannya meningkat sudah mengetahui cara untuk membuat umpan silang mereka lebih efektif: Dengan melakukan situasi unggul jumlah (overload)—atau sama jumlah—pada area tertentu di kotak penalti lawan.
Kita ambil Liverpool sebagai contoh di Premier League. Musim ini, The Reds mencatatkan umpan silang ke kotak penalti lebih banyak dengan catatan 2,52 per 90 menit dibanding catatan 2,11 mereka musim lalu. Arne Slot sebagai pelatih, beberapa kali terlihat menginstruksikan anak asuhnya untuk menyerbu kotak penalti lawan agar kans untuk menerima umpan silang semakin besar.
Pada tangkapan layar ini, misalnya, terlihat para pemain Liverpool menciptakan situasi 6 vs 6 secara general di dalam kotak penalti Leicester. Namun, terlihat pula bahwa pemain mereka juga berdiri secara berdekatan pada area tertentu. Tujuannya adalah untuk membuat lawan sulit melakukan blok terhadap mereka, sekaligus membuat sang pengumpan punya banyak opsi bila melepaskan umpan silang yang khusus mengarah ke area tersebut.
Umpan silang itu sendiri kemudian sukses menemui sasaran, meski pada akhirnya tidak berbuah gol (hanya membuat bola membentur mistar gawang. Lantas pada laga vs Ipswich, Liverpool bahkan menunjukkan bahwa mereka mampu mencetak gol melalui metode yang mirip. Liverpool mampu mencetak gol setelah tiga pemain mereka melakukan overload terhadap dua pemain belakang Ipswich di area dekat titik putih kotak penalti Ipswich.
Dan terkhusus pada laga vs Ipswich itu, Liverpool mampu mencetak tiga gol via umpan silang di mana semuanya berhasil dicetak saat mereka sukses menciptakan satu situasi overload (atau paling tidak mereka tidak kalah jumlah) pada area tertentu di kotak penalti lawan. Dan perlu dicatat pula, Liverpool tidak bermain dengan “nomor 9” murni sejak awal.
Memang hal yang dilakukan Liverpool ini bisa menjadi contoh: Bahwa kuantitas melepas umpan silang ke kotak penalti tak melulu harus diimbangi dengan keberadaan pemain nomor 9 murni. Sebab, Liverpool bisa membuat umpan silang mereka efektif meski Darwin Nunez begitu tidak konsisten (sehingga tak jadi pilihan utama) dan Diogo Jota bermasalah dengan kebugaran.
***
Akhir pekan lalu, saya juga menyaksikan dengan mata kepala saya bagaimana metode yang mirip mampu membuahkan hasil. Pelakunya bukan Liverpool dan tak punya pemain atau pengumpan dengan kaliber mereka. Pelakunya adalah dua tim Bundesliga, St. Pauli dan Augsburg.
Pada laga di Millerntor itu, ada dua gol tercipta. Masing-masing satu untuk kedua tim, dan keduanya sama-sama berasal dari umpan silang ke kotak penalti dengan situasi tim tersebut tak kalah jumlah atas lawannya. Dan yang mencetak gol sama-sama bukan penyerang.
Gol St. Pauli memang dihitung sebagai gol bunuh diri lawan, tapi itu semua dimulai dari keberhasilan wing-back mereka, Phillip Treu, menyambar umpan silang. Treu merangsek naik dari lini dua, menciptakan situasi 3 vs 2 di area titik putih kotak penalti Augsburg. Ia menang duel udara, sundulan ditepis kiper, dan ia kemudian menyambar bola muntah dengan sepakan yang masuk ke gawang setelah menyentuh pemain belakang Augsburg.
Gol balasan Augsburg kemudian tercipta dari situasi yang serupa. Gelandang mereka, Mert Kömür, masuk dari lini kedua untuk juga menciptakan situasi 3 vs 2 di dalam kotak penalti St. Pauli. Kömür kemudian berhasil menyambar umpan silang dengan sempurna, karena keberadaan dua rekannya membantu mengalihkan dan juga menutup pergerakan dari pemain belakang St. Pauli.
Metode ini terbukti bisa dilakukan oleh siapa saja, sebab siapa pun bisa menghadirkan situasi unggul jumlah (atau paling tidak sama jumlah) atas lawan. Dan umpan silang juga merupakan metode yang bisa dengan konstan dilakukan ketika sebuah tim menghadapi lawan yang bertahan di kedalaman dan bermain lebih pasif di situasi tanpa bola.
Buat St. Pauli sendiri, misalnya, melepas umpan silang bukanlah cara ideal bila melihat penyerang tengah mereka, Johannes Eggestein, bukanlah sosok nomor 9 yang memiliki postur tinggi. Sejauh ini, Opta juga mencatat bahwa persentase umpan silang sukses St. Pauli hanya ada di angka 20.41%. Bukan catatan baik (ada di lima terkecil) dibanding klub-klub Bundesliga lain. Namun, metode untuk menciptakan situasi seperti yang tergambar vs Augsburg juga memerlihatkan bahwa mereka bisa membuat umpan silangnya menjadi lebih efektif.
Selepas laga, Alexander Blessin sebagai pelatih juga mengungkapkan bahwa ia memang pengin pasukannya meningkatkan jumlah crossing, dengan catatan bahwa para pemainnya pun harus mampu memosisikan diri di tempat dan situasi yang tepat untuk membuat umpan silang itu menjadi efektif. Ia juga menyinggung soal timnya yang juga harus bisa bertahan lebih baik saat menghadapi umpan silang, bahwa posisi, jarak antarpemain, dan situasi unggul/kalah jumlah vs lawan akan sangat berpengaruh.
***
Sepak bola semakin berkembang dan berkembang. Umpan silang sempat kehilangan popularitasnya, tapi musim ini angka menunjukkan bahwa metode ini bisa kembali populer. Overload atau menciptakan situasi tak kalah jumlah atas lawan memang bukan hal baru, tapi perkembangan sepak bola membuat situasi ini bisa tercipta di seluruh area lapangan dan pada pelbagai fase permainan. Termasuk di dalam kotak penalti lawan dengan tujuan untuk menerima umpan silang.
Dari pekan ke pekan, akan semakin banyak tim yang menerapkan metode serupa. Sebab, siapa pun bisa menerapkannya, dan bukti kalau metode ini berhasil sudah banyak. Terlebih, tren yang biasanya dilakukan klub top dan sukses (seperti dalam konteks ini Liverpool, misalnya), umumnya mudah merebak. Kini kita berada dalam fase: Let‘s make crossing great again!