Umur Panjang Kazuyoshi Miura

Kazuyoshi Miura (kiri) ketika berfoto bersama Roberto Baggio (tengah) dan Tsuyoshi Kitazawa (kanan). Foto: Wikimedia Commons.

Kazuyoshi Miura barangkali menenggak elixir pada masa mudanya sehingga pada akhirnya dia abadi. Atau mungkin lebih tepatnya, mengabadikan dirinya sendiri.

Saya dan bahasa Jepang tak ubahnya orang yang baru menemukan iman. Manakala kesempatan untuk menunjukkannya muncul, saya takkan ragu untuk mengumbarnya.

Perkenalan saya dengan bahasa Jepang sebetulnya masih tergolong singkat. Baru sekitar satu setengah tahun. Bercakap-cakap masih terbata-bata, perkara tatabahasa pun masih suka tersandung.

Namun, di antara kebingungan soal partikel dan cara membaca kanji yang tepat, saya menemukan kesenangan dari hal-hal yang sebetulnya cukup trivial.

Sebagai contoh, tahukah Anda mengapa Jepang dijuluki sebagai “Negeri Matahari Terbit”? Well, semuanya tak lepas dari nama negara mereka sendiri.

Dalam bahasa aslinya, orang-orang Jepang menyebut negara mereka sebagai “Nihon”. Berdasarkan kanji-nya, “Nihon” ditulis dengan “日本”. Ia terdiri dari dua karakter, yakni “日” (nichi alias “matahari” atau “hari”) dan “本” (hon alias “dasar” atau “sumber”).

Dengan menggabungkan dua karakter tersebut, kita bisa mengartikan “Nihon” sebagai “tempat matahari berasal” atau “tempat matahari terbit”. Maka, jadilah kita menyebut Jepang sebagai “Negeri Matahari Terbit”.

Mengingat kanji merupakan pinjaman dari aksara mandarin, maka orang-orang China jugalah yang bertanggung jawab memberi Jepang nama tersebut. Dalam sudut pandang orang China, matahari memang terbit dari Jepang.

Senang dengan arti yang terkandung dalam sebuah karakter kanji, saya lantas latah. Saya mulai mereka-reka arti di balik nama orang-orang Jepang.

Sebagai contoh, nama Eiichiro Oda—penulis manga termasyhur “One Piece” itu— memiliki kanji 尾田 栄一郎 (Oda Ei-Ichi-Rou). Di dalam namanya terkandung kanji “栄” (ei/sakaeru alias “kemakmuran” atau “kemuliaan”) dan “一” (ichi alias “satu”).

Lantas, apakah kesuksesan besar Oda sebagai mangaka ada kaitan karena orang tuanya memberi nama demikian? Tentu saja tidak pasti begitu. Namun, saya mendengar bahwa para orang tua di Jepang memang hati-hati sekali memberi nama anaknya.

Contoh lain adalah Shinji Kagawa (香川 真司). Apakah karena di dalam namanya ada kanji "川" (sen/kawa alias “sungai”) dan "司" (shi/tsukasadoru alias “mengatur”) dia dulu bisa mengontrol lini tengah dan bermain dengan luwes seperti aliran sungai?

Segala keisengan dan pertanyaan ini kemudian membawa saya kepada Kazuyoshi Miura (三浦 知良).

***

Kazuyoshi Miura barangkali menenggak elixir pada masa mudanya sehingga pada akhirnya dia abadi. Atau mungkin lebih tepatnya, mengabadikan dirinya sendiri.

Usia, untuk apa pun itu, pada akhirnya memang tak ada satu orang pun yang tahu kapan, bagaimana, atau apa yang bakal mengakhirinya. Namun, “King Kazu”—begitu Miura biasa dijuluki—emoh untuk peduli.

Karier seorang pemain sepak bola tak ubahnya sebuah siklus. Dari fajar, menyongsong hari, lalu memasuki senja. Begitu harinya habis, mereka akan muncul keesokan waktu dengan kehidupan yang berbeda—entah sebagai pelatih atau kelar begitu saja meninggalkan dunia sepak bola dan menjadi orang biasa.

Buat Miura, harinya sebagai pemain tidak ada habis-habisnya. Kariernya sebagai pemain tak ubahnya sebuah senja yang tak kunjung padam. Kita bisa menikmatinya sembari meminum teh di teras belakang rumah.

Sebastian Deisler pensiun dini karena cedera, sementara Ruben de la Red memutuskan untuk meninggalkan lapangan hijau demi menyelamatkan hidupnya. Miura, yang berusia jauh lebih tua, beruntung masih memiliki kesempatan untuk memilih. Dan dia memilih untuk tetap hidup.

Miura sudah berusia 53 tahun—bakal berusia 54 tahun, 26 Februari mendatang—dan berulang kali masuk pemberitaan karena terus memperpanjang kontraknya dengan Yokohama FC. Ia, kata berita-berita itu, adalah pemain profesional tertua yang sukses mencetak gol.

Cerita soal Miura yang menentang naskah picisan khas pemain bola, yang biasanya menyebutkan bahwa mereka sudah memasuki senja karier begitu berkepala tiga, sesungguhnya menjadi kepanjangan dari kisah masa mudanya.

Pada usia 15 tahun, ia sudah punya mimpi besar. Ketika gurunya bertanya apa yang ingin ia lakukan begitu meninggalkan sekolah, Miura menjawab dengan yakinnya: “Brasil!”

Jawaban tersebut tidak datang dengan sendirinya. Miura kecil dicekoki ayahnya dengan video permainan Brasil dan Pele.

Ayahnya menyaksikan langsung pertandingan Piala Dunia 1970 di Meksiko dan memberikan oleh-oleh untuk Miura berupa video-video yang ia rekam lewat video 8mm. Dan video itulah yang ia konsumsi dengan lahapnya.

Dalam manga “Aoki Densetsu Shoot!” dikisahkan bagaimana prefektur Shizuoka di Jepang adalah penghasil tim-tim sepak bola SMA yang doyan bermain ofensif. Entah kebetulan atau tidak, Miura lahir dan besar di Shizuoka.

Ia, ayah, dan kakaknya, Yasutoshi, adalah penggemar sepak bola. Oleh karena itu, bagi Miura dan kakaknya, tak ada mimpi yang lebih menyenangkan ketimbang menjadi pemain sepak bola begitu dewasa.

Dan begitulah, ketika usianya 15 tahun, Miura memilih meninggalkan Jepang dan hijrah ke Brasil untuk mewujudkan mimpinya sebagai pemain sepak bola. “Waktu itu belum ada J-League di Jepang. Jadi, mustahil bisa menjadi pemain sepak bola profesional di Jepang,” kata Miura kepada BBC.

Keputusan Miura terbilang nekat. Dia cuma beruntung ayahnya memiliki koneksi di Brasil, tetapi selebihnya—selain kemampuannya mengolah bola—modalnya tak banyak. Terlebih, ia tidak menguasai bahasa Portugis.

Dengan modal 700 dolar AS, Miura tiba di Brasil dengan berbagai cobaan. Ia menghuni asrama akademi CA Juventus, sebuah klub asal Sao Paulo, yang jauh dari kata nyaman untuk jadi tempat tinggal: Kutu di mana-mana dan olok-olok dengan nada rasialis bermunculan.

Miura homesick. Ia sempat berpikir untuk pulang. Namun, seperti halnya kelak ia emoh menunduk pada takdir khas pemain sepak bola, Miura memilih untuk bertahan. Namun, keputusannya untuk bertahan pun bukannya tanpa problem.

Ketika ia akhirnya mendapatkan tempat yang nyaman ketika bermain untuk Coritiba pada 1988, Miura sudah bergonta-ganti klub sebanyak empat kali dan mengalami sederetan olok-olok. Miura lantas menuai hasilnya pada awal dekade 1990-an.

Begitu kembali ke Jepang pada 1990 untuk membela Verdy Kawasaki, pengalaman panjangnya di Brasil betul-betul mengasah kemampuan dan mentalnya. Miura dengan cepat menjadi legenda hidup di Jepang.

Sempat diselingi dengan bermain semusim untuk Genoa dengan status pinjaman pada 1994/95, Miura mendapatkan kemasyhuran bersama Verdy. Ada 100 gol yang ia cetak dalam 192 penampilan di J-League bersama klub yang kini sudah bersalin rupa menjadi Tokyo Verdy itu.

Rekan-rekan yang pernah bermain dengannya mengenal Miura sebagai pemain yang ulet. Ia tidak pernah absen latihan satu kali pun dan energinya seakan tak habis-habis. Begitu selesai melakoni latihan fisik dan sprint, kecepatan dan staminanya seperti tidak pernah habis terkuras.

Namun, di balik kegigihannya itu, Miura dikenal sebagai sosok yang tidak neko-neko. “Dia betul-betul sosok yang rendah hati dan bukan orang yang pretensius,” kata Alan Gibson, editor JSoccer Magazine yang mengenal Miura secara personal, di The Set Pieces.

“Kami pertama kali bertemu di Tokyo Dome pada 1993 waktu Aston Villa melakoni friendly dengan Tokyo Verdy. Dia senang menerima ajakan berfoto dan ngobrol-ngobrol dengan penggemar. Dia adalah salah satu sosok yang paling dicintai dan amat dikenal di Jepang,” lanjut Gibson.

Dari Miura-lah kemudian sederet generasi pemain sepak bola Jepang mendapatkan inspirasi. Saya adalah penggemar Kashima Antlers dan pemain favorit saya adalah Atsushi Yanagisawa, salah satu pemain terbaik yang pernah dihasilkan Jepang dan Antlers. Namun, bahkan pemain seperti Yanagisawa, Hiroshi Nanami, ataupun Hidetoshi Nakata boleh jadi takkan pernah ada kalau mereka tidak mendongak kepada Miura.

Ketika nama-nama yang saya sebut di atas sudah lama meninggalkan kehidupan sebagai pesepakbola, kita kemudian tahu bahwa Miura tidak sekadar menurunkan legacy, tetapi ia sendiri masih menghidupinya.

***

Nama “Kazuyoshi” dalam bahasa Jepang bisa ditulis dengan berbagai macam karakter kanji. Namun, “Kazuyoshi” dalam Kazuyoshi Miura ditulis sebagai “知良”.

Kanji pertama, “知”, bisa dibaca “chi” atau “kazu” yang berarti “kebijaksanaan”. Sementara, kanji “良” bisa dibaca sebagai “ryou” atau “yoi” yang artinya “bagus”.

Oleh karena itu, ketika kita menjuluki Miura sebagai “King Kazu”, sesungguhnya kita tengah menghormatinya sebagai raja yang bijaksana.

Umur panjang untuk Raja yang Bijaksana.