Wabah dan Hari Kudus

Foto: John Cutting/Unsplash

Wabah telah menghadirkan Boxing Day paling sepi sepanjang sejarah Inggris.

Tahun 2020 mengajarkan bahwa sekadar menenggak bir atau menyesap kopi bersama kawan bisa menjadi barang mewah untukmu. Ia juga mengajarkan kamu untuk merawat dan menghargai hal-hal kecil yang barangkali terlewat atau terlupa.

Ketika Crystal Palace mengubah stadionnya, Selhurst Park, menjadi tempat bermukim untuk para tunawisma, mau tak mau saya teringat pada sebuah fragmen di ‘The Plague’ karya Albert Camus.

Suatu ketika, sebuah kota bernama Oran di Aljazair teserang wabah. Makin hari, wabah tersebut mengganas. Alhasil, petaka tak terelakkan; satu per satu penghuni kota Oran meninggal.

Pemerintah tak punya pilihan selain mengisolasi Oran. Satu-satunya tempat yang cukup untuk menampung orang sakit sebanyak itu hanyalah stadion. Camus, yang pernah begitu mencintai sepak bola, mengubah tempat yang biasanya penuh perayaan menjadi tempat bernaung mereka yang mengidap mala.

Stadion dalam ‘The Plague’ tak lagi menjadi tempat bagi orang-orang untuk berteriak atau melampiaskan emosi setelah, barangkali, mengalami satu pekan yang melelahkan. Lebih dari itu, stadion dalam kisah tersebut

Selhurst Park lantas menjadi tempat yang seperti itu. Ketika cuaca berubah menjadi dingin pada Januari 2019 —dan menusuk siapa pun yang tidak memiliki tempat tinggal— mereka tidak hanya menyediakan tempat tinggal sementara untuk para tunawisma, tetapi juga makanan dan kamar mandi untuk bersih-bersih.

Ketika Palace menjadikan Selhurst Park sebagai selimut untuk para tunawisma, Kota London memang sedang tidak baik-baik saja. Setidaknya ada lebih dari 3.000 orang mengemper di pinggir jalan untuk menumpang tidur.

Persoalan tersebut makin menjadi-jadi ketika solusi yang ditawarkan justru menimbulkan kontroversi: Banyak pemilik lahan justru memasang jeruji pada emperan bangunan-bangunan mereka. Situasi ini tentu saja mengundang protes.

Problem mengenai tunawisma sendiri tidak hanya terjadi di London. Di Manchester, saya sempat menyaksikan bagaimana dua orang pemuda bercakap-cakap; yang satu ada seorang perempuan yang tampaknya baru pulang dari pesta, sedangkan yang lainnya adalah laki-laki terlihat setengah puas bisa meneguk kopi hangat di tangannya.

Si perempuan tadi lantas kembali ke teman-temannya begitu mereka keluar meninggalkan toko tidak jauh dari situ. Sementara, si laki-laki pergi ke emperan tidak jauh dari situ, menarik selimut dan memilih pergi tidur.

Kamu boleh menyebutnya sebagai adegan yang absurd, tetapi setidaknya itu menunjukkan bahwa Inggris memang selekat itu dengan persoalan mengenai tunawisma. Lantas, ketika kini wabah menyapu, ada hal-hal yang tercerabut begitu saja.

‘The Plague’ memperlihatkan bagaimana stadion berubah menjadi rumah bagi mereka yang membutuhkan di tengah ganasnya wabah. Lantas, Selhurst Park menunjukkan bagaimana mereka menyambut terbuka mereka yang tidak memiliki tempat untuk pulang.

Semuanya kemudian diaduk-aduk oleh wabah sungguhan yang berkecamuk dalam satu tahun terakhir. Tidak ada cerita stadion menjadi tempat bersukacita ataupun tempat bernaung. Malah, kalau bisa, kamu pergi jauh-jauh dari stadion.

Ilustrasi: Arif Utama

***

Boxing Day adalah hari kudus untuk sepak bola setelah Hari Kudus yang sesungguhnya. Setidaknya begitulah untuk orang-orang Inggris.

Sehari setelah Natal hingga tahun baru adalah festive period. Ketika pemain sepak bola di negara lain berlibur, mereka yang bermain di Inggris justru harus berjibaku di lapangan.

Cerita bahwa para pemain kekurangan waktu menikmati Natal bersama keluarga tentu bukan barang baru. Malah, kalau bisa seharusnya ini sudah tidak jadi cerita karena kepalang biasa.

Tahun lalu, Pep Guardiola mengeluarkan pernyataan metaforik yang cukup dingin ketika ditanya apa yang akan ia lakukan terhadap timnya pada festive period. Kata dia, begitu pulang latihan, pemain-pemainnya sebaiknya langsung masuk kulkas —supaya tetap berada dalam kondisi segar.

“Setelah itu sampai ketemu di Etihad dalam dua hari. Aku serius,” kata Guardiola.

Bagi orang-orang Inggris, Boxing Day adalah hari di mana pesta berpindah dari meja-meja makan penuh hidangan —lengkap dengan penghangat ruangan— ke tribune-tribune stadion di tengah cuaca dingin.

Pertandingan-pertandingan di Boxing Day adalah hari di mana suporter menyaksikan sepak bola bersama keluarga. Oleh karena itu, biasanya laga-laga dulu diatur supaya tim yang bertemu berasal dari kota yang berdekatan.

Kemewahan tersebut pada akhirnya berubah menjadi keistimewaan. Tidak semua suporter bisa pergi menyaksikan pertandingan timnya lagi. Bagi mereka yang tinggal di kota yang mendapatkan label ‘tier 3’ jangan harap bisa datang ke stadion; tim-tim yang ada di kota ‘tier 3’ seluruhnya diharuskan menggelar pertandingan tanpa penonton.

Mereka yang berada di ’tier 2’ dan ‘tier 1’ agak mendingan. Tim-tim yang berada di ‘tier 2’ masih boleh mendatangkan maksimal 2.000 penonton, sedangkan yang berada di ‘tier 1’ boleh mengizinkan 4.000 penonton untuk hadir.

Namun, seperti dikabarkan The Athletic, tidak ada tim kecuali Liverpool dan Everton yang berhak mengizinkan penonton hadir ke dalam stadion pada Boxing Day tahun ini. Semuanya karena mutasi virus COVID-19 yang terdeteksi di Inggris beberapa hari terakhir.

Liverpool dan Everton beruntung karena kota Liverpool masuk ke dalam tier 2. Sementara, kota-kota lainnya bakal mendapatkan review ulang.

Namun, keduanya tidak akan bermain di kandang pada Boxing Day. Liverpool baru menjamu West Bromwich Albion pada 27 Desember, sementara Everton akan bertandang ke markas Sheffield United.

Wabah telah menghadirkan Boxing Day paling sepi sepanjang sejarah Inggris.

***

Ketika pertama kali hadir pada era 1800an, Boxing Day amat jauh dari kata festive (meriah). Ia hadir sebagai pengingat bahwa yang kaya harus memperhatikan yang miskin.

Sehari setelah Natal, para tuan dan nyonya mengumpulkan hadiah untuk kemudian membungkusnya dalam kotak kado. Maka, jadilah satu hari setelah Natal itu dikenal sebagai Boxing Day —harinya mengemas hadiah ke dalam kotak kado.

Mereka lantas memberikan kado-kado itu kepada yang membutuhkan: Entah kepada para pembantu mereka, orang-orang yang kudu bertugas pada hari libur, atau sekadar orang-orang yang memang membutuhkan.

Makna tersebut kemudian sedikit bergeser manakala Boxing Day tidak lagi diperuntukkan untuk sekadar beramal, tetapi juga hari di mana orang-orang merayakannya dengan berjalan-jalan dan belanja.

Hari ini, Boxing Day berubah lagi. Tidak peduli kamu kaya atau miskin, wabah telah menyamaratakanmu. Diam di rumah pada masa paling meriah di ujung tahun adalah pilihan paling bijak.