Walau Riuh, Gawang Donnarumma Masih Baik-baik Saja

Foto: Instagram @azzurri

Terkadang kematian kehilangan taring di hadapan mereka yang menolak tunduk di bawah kaki keterpurukan. Di dalam kisah kebangkitan Italia, ada Donnarumma yang berkawan karib dengan riuh.

Gianluigi Donnarumma muak dengan narasi kesunyian seorang penjaga gawang. Hampir di sepanjang kariernya, ia menyulut keriuhan.

Sejak Albert Camus menulis kisah tentang penjaga gawang, entah berapa banyak penulis yang melakukan perkara serupa. Eduardo Galeano dan Jonathan Wilson merupakan dua contoh yang mewakili generasi tua dan muda.

Kata mereka, kiper itu posisi yang sunyi. Ia seperti kena tulah, dihukum dan ditindas Tuhan sehingga harus selalu menyingkir dari keramaian. Ia ditempatkan di ujung, sendirian tanpa kawan. Baju warna-warni yang dipakainya adalah cara untuk melawan kesunyian yang teramat sangat.

Seringkali ia menjadi satu-satunya orang yang berhadapan dengan pemain lawan yang siap menendang bola ke gawang. Mereka sama-sama sendirian, satu lawan satu. Ia memang belum mencetak gol, tetapi datang sebagai orang yang menang atas kepungan pertahanan rekan-rekan penjaga gawang. Jika si penjaga gawang melakukan kesalahan sedikit saja, bukan tak mungkin lawan menambah angka.

Semuanya bisa bertambah gawat jika muncul kemelut di depan gawang pada waktu-waktu yang tak terduga atau bahkan ketika laga berlanjut ke babak adu penalti. Satu-satunya kepastian bagi para kiper adalah gawang yang dijaga akan kemasukan gol. Adakah yang lebih memuakkan daripada kepastian yang buruk?

Barangkali itulah yang membuat kiper kawakan seperti Gianluigi Buffon berkata bahwa menjadi penjaga gawang adalah perkara masochist. Jika kau berniat menjadi seorang penjaga gawang, lekas ganti cita-citamu.

Narasi itu tergambar jelas dalam perjalanan Donnarumma sebagai penjaga gawang, termasuk ketika ia berlaga bersama Timnas Italia di Piala Eropa 2020. Turnamen ini pertaruhan sakral bagi Italia. Tak akan ada satu orang pun yang lupa bahwa Italia terjerembap sebelum Piala Dunia 2018 dimulai.

Mereka gagal menjejak ke lantai dansa pesta sepak bola sejagat karena takluk dari Swedia di babak kualifikasi. Orang-orang menangisi tembok Kota Roma yang runtuh. Namun, barangkali sedikit pula yang mengingat bahwa Roma pernah bangkit dari puing-puing kehancuran.

Terkadang kematian kehilangan taring di hadapan mereka yang menolak tunduk di bawah kaki keterpurukan. Roberto Mancini datang, bukan hanya untuk memugar, tetapi juga memungut apa-apa yang tersisa. Ia membangun kembali Italia sampai mereka berhak memperebutkan mahkota juara Eropa. Di dalam kisah kebangkitan Italia, ada Donnarumma yang berkawan karib dengan riuh.

***

Pada suatu waktu Ernest Hemingway menulis cerita tentang Santiago dalam novel 'The Old Man and the Sea' yang tidak mengajar Manolin menjadi nelayan dengan jejalan teori. Ia membawa Manolin yang masih bocah ke tengah laut yang ganas. Pelajaran Manolin tidak dilakukan di atas perahu atau kapal nelayan yang kokoh, tetapi perahu yang reyot.

Laut adalah tempat yang menolak untuk ditebak dan abai dengan sangkaan. Santiago mengajar di waktu-waktu terburuk karena bukan tak mungkin saat dewasa nanti, Manolin berlayar dalam kondisi paling mengerikan dan mengarungi laut sebagai nelayan bangkrut di tengah gejolak laut yang bukan main. Kalau menerima pelajaran yang tenang-tenang melulu, si Manolin bisa mati konyol.

Sebagian kisah Donnarumma adalah kontradiksi bagi Manolin dan si orang tua dalam 'The Old Man and the Sea'. Kebanyakan penonton laga Italia melawan Inggris di final Piala Eropa 2020 menyayangkan keputusan Gareth Soutghate ketika menugaskan tiga pemain muda, Marcus Rashford, Jadon Sancho, dan Bukayo Saka dalam babak adu penalti di duel tersebut. Itu pertandingan mahapenting, babak penalti yang sangat menentukan. 

Rashford berusia 23 tahun, Sancho 21 tahun, sedangkan Saka baru 19 tahun. Mereka tak habis pikir mengapa Sancho dan Rashford yang baru masuk di akhir babak tambahan harus ditunjuk sebagai penendang. Bahkan kedua pemain ini memang masuk untuk menjadi algojo penalti. Keputusan untuk mengutus Saka membuat gelengan kepala bertambah kencang. 

Namun, barangkali para penonton itu lupa bahwa Donnarumma juga masih kelewat muda. Demi apa pun, usianya baru 22 tahun. Kalau itu tidak terlihat, mungkin karena tubuh Donnarumma yang tinggi besar dan menjulang. Mungkin itu juga karena ketenangan yang teramat sangat, mungkin itu karena sejak awal Donnarumma mengemban tugas untuk menjadi penjaga gawang utama. 

Tugas untuk melindungi gawang Italia diserahkan pada pemuda bau kencur. Bau itu menguar seiring dengan berbagai penyelamatan yang dibuat oleh Donnarumma. Mengutip statistik UEFA, Donnarumma membukukan 9 penyelamatan di waktu normal sepanjang turnamen. Di dalamnya terdapat catatan 3 nirbobol; jangan lupa bahwa waktu normal laga Italia melawan Austria berakhir dengan skor 0-0. Ia memang tidak menjadi yang tersibuk, tetapi salah satu yang tersolid.

Jika ada yang menjadi Santiago untuk Donnarumma, itu adalah Sinisa Mihajlovic dan Gennaro Gattuso. Jika Mihajlovic jadi pelatih pertama yang memperhitungkan Donnarumma, Gattuso menjadi orang yang pasang badan saat Donnaruma melawan kodrat seorang kiper untuk hidup dalam kesunyian.

Donnarumma pertama kali mendapat kesempatan membela Milan di bawah kepelatihan Mihajlovic, tepatnya pada TIM Trophy 2015. Performa briliannya di laga itu membukakan pintu kesempatan baginya untuk berlaga di sepanjang musim 2015/16. 

Donnarumma membuat 10 clean sheet dalam 30 pertandingan pada Serie A 2015/16. Angka itu menahbiskannya sebagai elite dalam empat besar penjaga gawang terbaik di bawah Gianluigi Buffon, Samir Handanovic, dan Albano Bizzarri. Ketiga kiper itu jauh lebih senior dan mencatatkan pertandingan lebih banyak dibanding Donnarumma yang baru berusia 17 tahun.

Masa depan sebagai penjaga gawang papan atas terlihat jelas. Mino Raiola yang bertindak sebagai agennya bertambah cerewet. Puncaknya, gawang Donnarumma dilempari uang bejibun saat Tim Nasional Italia berhadapan dengan Denmark pada ajang Piala Eropa U-21. Wasit menghentikan pertandingan untuk sementara supaya uang-uang palsu yang merupakan simbol ejekan itu bisa disingkirkan.

Pertengahan 2017 menjadi salah satu momen terburuk dalam karier Donnarumma. Dia dicap sebagai pemuda yang hanya mengincar fulus dan membunuh loyalitas. Donnarumma menolak perpanjangan kontrak yang disodorkan oleh manajemen AC Milan. Kontraknya waktu itu tinggal tersisa semusim. Bila memutuskan menetap sepanjang periode 2017/18, ia bisa pergi dengan gratis pada musim panas 2018. Milan jelas merugi. Itulah mengapa sekelompok fans Rossoneri marah besar kepadanya.

Sebulan saga transfer itu saling berpagut, Donnarumma menandatangani kontrak baru. Milan menaikkan gajinya menjadi 6 juta euro per tahun dengan kontrak hingga 2021. Mereka juga harus merekrut kakaknya, Antonio Donnarumma, dari Asteras Tripoli yang sebenarnya tidak dibutuhkan.

Riuh perjalanan Donnarumma tak mereda. Sebelum musim 2020/21 tuntas, ia menolak memperpanjang kontrak bersama AC Milan. Ujungnya, Donnarumma disebut berlabuh ke Paris Saint-Germain. Semua tahu, klub itu adalah sarangnya uang yang menumpuk. Cap sebagai pemain mata duitan tambah melekat.

Di tengah riuh itu, Donnarumma kian menjadi bersama Timnas Italia. Ia menyulut riuh menjadi gemuruh dan amarah menjadi pujian sembah dengan penampilan yang mengantarkan Italia sebagai juara Eropa untuk kali kedua. Bagi Italia, ini pencapaian spesial karena didapat setelah tahun yang suram. 

Lewat performanya itu, Donnarumma seperti menjadi anak muda yang mengajar orang-orang tua yang merupakan rekannya di Timnas Italia bahwa hanya karena sering menyulut ribut-ribut, bukan berarti kau pemain sembarangan. Bahwa harga mahal yang dituntutnya bukan karena ia mata duitan, tetapi karena tahu betul bahwa ia pantas mendapatkannya.

Penampilan itu adalah cara Donnarumma menghardik belas kasihan dan mata sayu sepak bola kepada pemain muda seperti Sancho, Rashford, dan Saka. Bahwa usia muda bukan tempat yang pantas bagimu untuk berlindung.

Semuda apa pun usiamu, seharusnya kau tahu, saat menjejak sebagai pemain profesional kau harus siap dengan segala risiko. Dipanggil turun dalam momen penentuan, itu adalah bagian dari tugasmu sebagai penggawa Timnas. Jika kau berani mengangguk atas sodoran jersi Timnas dengan segala emblemnya yang masyhur, itu berarti kau harus siap menanggung beban yang beratnya tak pernah kau duga.

Kepada para tetua yang berlaga di Piala Eropa 2020, Donnarumma juga memberikan pelajaran sejelas-jelasnya bahwa shot-stopper goalkeeper yang terlihat kolot itu belum punah. 

Italia memang tidak berlaga melawan Jerman yang gawangnya dikawal oleh Manuel Neuer. Namun, penyelamatan Donnarumma yang rasio keberhasilannya mencapai 88,2% barangkali menjadi tamparan luar biasa bagi Neuer yang hanya mencatatkan rasio penyelamatan 30% lewat gayanya sebagai ball-playing goalkeeper yang terkesan lebih seksi dan modern. 

Pun dengan Unai Simon yang menjadi lawannya di babak semifinal. Dengan performa itu Donnarumma semakin mengukuhkan bahwa yang terpenting dalam sepak bola adalah performa, bukan label dan predikat yang wangi semerbak.

***

Serupa Santiago dalam novelet 'The Old Man and the Sea' yang masa bodoh dengan kekaguman para nelayan yang memandang tulang-tulang raksasa tangkapannya, Donnarumma menutup aksinya di Piala Eropa 2020 dengan dingin. 

Ia tak bersorak dan berteriak sambil mengacungkan tinju sesaat setelah menggagalkan sepakan Saka. Bahkan ketika teman-temannya berhamburan ke arahnya, ia hanya berjalan dalam diam. Beberapa saat setelahnya ia baru merayakan gelar juara dan terkejut karena dinobatkan sebagai pemain terbaik turnamen. 

Katanya, ia tidak menyadari bahwa saat itu mereka sudah menang. Kalimat itu seperti mengisyaratkan bahwa baginya, dapat berdiri di depan gawang sebagai kiper terasa lebih penting daripada menghitung kapan kemenangan datang.

Di tengah riuh dan gemuruh euforia kampiun, Donnarumma menghubungi entah siapa dan berbicara sambil menahan air mata. Setelahnya lampu stadion kembali meredup, pesta di tanah kelahiran dimulai, dan Donnarumma memasang kembali sarung tangannya. Barangkali ia bersiap untuk benar-benar pergi. Dengan cara itulah Donnarumma mengenyahkan narasi kesunyian seorang penjaga gawang.