Wales vs Everybody

Foto: Instagram @fawales.

Setelah dihampiri beragam masalah, Wales bangkit dan mengubah ekspektasi banyak pihak.

Wales lagi-lagi menerjang tembok pembatas. 5 tahun setelah tampil fenomenal di Euro 2016, mereka kembali tampil melampaui ekspektasi orang-orang.

Euro 2016 barangkali akan selalu ada di ingatan pendukung Wales. Mengandalkan pemain-pemain yang tengah berada di form terbaik, seperti Gareth Bale dan Aaron Ramsey, mereka selalu tampil bertenaga. Tidak peduli siapa lawannya.

Pada fase grup, mereka berhasil membuat Inggris kerepotan dan baru dapat mencetak gol kemenangan di masa injury time. Mereka tampak kian luar biasa setelah mengalahkan Belgia 3-1 di perempat final. Aplaus pun diberikan kendati mereka gagal di semifinal.

Pencapaian tersebut tentu ingin diulangi Wales di Euro 2020. Masalahnya, selama setahun terakhir, dunia seakan tidak berpihak kepada mereka. Selalu ada saja kejadian buruk yang menimpa mereka.

Masalah pertama adalah soal menit bermain pemain-pemain yang diproyeksikan untuk menjadi tulang punggung Wales untuk Euro 2020. Dua musim terakhir, nyaris seluruh kunci permainan mereka tak cukup mendapatkan kesempatan bermain di klub masing-masing.

Bale, misalnya. Tak lagi pilihan utama di Real Madrid, Bale memutuskan pindah ke Tottenham Hotspur pada musim panas 2020 lewat status pinjaman. Di Spurs, nasibnya tidak berubah. Ia hanya menjadi starter 10 kali di Premier League dan bangku cadangan lagi-lagi menjadi kawan akrabnya.

Kejadian serupa juga dialami oleh Ramsey dan Ben Davies. Imbas dari kondisi tersebut, sepanjang fase kualifikasi penampilan Wales tidak cukup memuaskan. Mereka bahkan sempat kesulitan saat berhadapan dengan tim yang sering jadi bulan-bulanan, Azerbaijan.

Beruntungnya, Wales ditempatkan di grup yang tingkat kesulitannya tidak terlalu berat. Ada beberapa lawan, yang secara materi pemain, berada di bawah mereka, seperti Slovakia dan Hongaria. Pada akhirnya, tiket langsung ke putaran final berhasil mereka genggam.

Persiapan menuju Euro 2020 pun dimulai. Nahas, pada uji tanding internasional yang digelar Maret 2021 lalu, tiga pemain dipulangkan akibat melanggar protokol COVID-19. Salah satunya adalah Hal Robson-Kanu, yang menjadi penyerang utama mereka di Euro 2016.

Pemulangan Robson-Kanu ternyata berdampak panjang terhadap kariernya di Wales. Sejak itu, ia tidak lagi pernah mendapatkan panggilan, termasuk dalam skuat yang dipersiapkan untuk gelaran Euro 2020.

Setelah Kanu, giliran pelatih Ryan Giggs yang dibebastugaskan sementara dari Wales. Giggs, yang membesut Wales sejak 2018, dibebastugaskan 3 minggu sebelum Euro 2020 terkait kasus penyerangan terhadap mantan pasangannya. Posisi lowong sepeninggal Giggs akhirnya diisi asistennya, Rob Page.

Serangkaian masalah tersebut membuat perjalanan Wales di Euro 2020 tidak akan berlangsung lama. Belum lagi lawan Wales di Grup A, memiliki materi pemain yang lebih solid, seperti Italia dan Turki.

***

Mepetnya masa persiapan membuat Page tidak banyak melakukan perubahan untuk taktik yang bakal digunakan Wales. Warisan Giggs, yakni pola 4-1-4-1 dan 3-4-3, bergantian digunakan sebagai formasi dasar.

Penggunaan pola tersebut bergantung pada lawan yang akan dihadapi. Jika Wales berhadapan dengan tim yang lebih kuat, 3-4-3 jadi pilihan. Saat melawan tim dengan kualitas setara atau lebih rendah, pola 4-1-4-1 bakal digunakan.

Wales bertumpu pada build-up yang efektif. Sepanjang babak kualifikasi, mereka terhitung sebagai tim yang minim melakukan serangan. Namun, sekalinya menyerang, mereka langsung mendapatkan peluang.

Dari babak kualifikasi pula, tampak bagaimana Wales menjadikan Bale dan Daniel James sebagai pusat serangan Wales. Hal tersebut membuat serangan Wales dari tepi selama kualifikasi mencapai 77,3%.

Pemilihan sayap menjadi kunci serangan juga masuk akal mengingat Wales memiliki Kieffer Moore di lini depan. Penyerang Cardiff City ini punya tinggi 196 cm dan berhasil mencetak 5 gol lewat sundulan di Divisi Championship musim lalu.

Ketika bertahan, Wales menekankan pada rapatnya jarak antarpemain. Kerapatan ini pada akhirnya memaksa lawan mengarahkan serangan via sayap yang diakhiri lewat umpan silang. Jika sudah demikian, peluang Wales untuk menghentikannya semakin besar karena punya deretan pemain belakang dengan tinggi proporsional.

Gaya di atas terlihat pada laga perdana mereka di Euro 2020 saat menghadapi Swiss. Di laga tersebut, 4 dari 6 umpan kunci yang dilepaskan dari sayap. Satu gol yang dicetak oleh Moore juga terjadi dari sayap.

Cara Wales bertahan juga tidak jauh berubah. Mereka membuat Swiss sulit menekan dari tengah hingga kemudian satu-satunya pilihan adalah menyerang lewat sayap. Jika ditotal, Swiss menciptakan 25 umpan silang hari itu.

Dalam pertandingan kedua, melawan Turki, Wales bermain dengan gaya serangan serupa. Bedanya, cara tersebut berhasil diantisipasi Turki. Nah, jika sudah demikian, satu-satunya cara yang dapat mereka lakukan adalah bertumpu pada Bale.

Satu yang tidak bisa diantisipasi oleh Turki dari Wales adalah rapatnya pertahanan. Seperti Swiss, Turki amat kesulitan menembus pertahanan mereka dan lagi-lagi, umpan silang jadi pilihan anak asuh Senol Gunes melancarkan serangan.

Nah, lambatnya build-up tidak tampak saat Wales bersua Italia. Di laga tersebut, Wales berusaha secepat mungkin mengarahkan bola ke sepertiga akhir pertahanan Italia. Hasilnya, dari 13 umpan yang dilepaskan, hanya ada 5 yang berujung peluang.

Pada laga ini, pertahanan Wales kembali menjadi kunci. Namun demikian, tampak sedikit lubang dari pertahanan Wales yang bisa dimanfaatkan lawan. Masalah itu bisa terjadi karena lambatnya pemain belakang dalam mengantisipasi pergerakan lawan.

***

Dari tiga pertandingan tampak bagaimana disiplin pemain Wales saat bertahan menjadi kunci mereka membuat lawan kesulitan. Pendekatan ini tidak jauh berbeda dengan apa yang mereka lakukan saat tampil mengejutkan di Euro 2016 lalu.

Satu hal yang harus jadi perhatian Wales kini adalah menambah cara menembus pertahanan lawan. Hanya mengandalkan umpan silang dan kreativitas Bale seorang sudah seharusnya membuat mereka belajar.