Watak Sepak Bola dan Manusia di Balik Kontroversi VAR

Ilustrasi: Arif Utama (Instagram: @arifutama)

VAR, pada akhirnya, hanyalah teknologi pembantu manusia. Yang seharusnya mendapatkan kritik adalah manusia yang bekerja di belakangnya. Kalau kritik juga membuat si manusia bergeming, bolehkah kita meminta transparansi saja?

Derbi Merseyside bergemuruh lagi. Setelah bertahun-tahun, akhirnya duel tim sekota ini berlangsung sengit juga. Rasanya agak ironis karena manusia sekalem Carlo Ancelotti bisa membentuk Everton menjadi tim yang sanggup menyulut Derbi Merseyside. Lantas satu persatu dari kita bergumam, ini baru namanya derbi.

Yang menjadi perhatian tak hanya gol demi gol yang muncul di sepanjang laga pada 17 Oktober 2020 di Goodison Park itu, tetapi juga sejumlah keputusan kontroversial. Sudah terbakar disiram bensin pula. Panasnya tambah menjadi-jadi.

Ada dua keputusan yang membikin sebagian besar dari kita geleng-geleng kepala. Yang pertama adalah pelanggaran keras Jordan Pickford kepada Virgil van Dijk pada menit 11. Alih-alih mengadang bola, manuver Pickford justru berubah menjadi sepakan gunting yang menerjang kaki Van Dijk. Bek asal Belanda ini langsung ditarik dari lapangan. Belakangan kita semua mengetahui bahwa Van Dijk divonis cedera ACL dan mesti beristirahat tujuh hingga delapan bulan.

Laga hampir sampai di akhir, Liverpool berpesta. Jordan Henderson berhasil membobol gawang Pickford dan mengubah skor jadi 3-2. Apes, pesta harus dihentikan secepat mungkin karena gol tersebut dianulir. Keputusan tersebut diambil setelah Michael Oliver meninjau ulang dengan bantuan VAR. Hasilnya, Sadio Mane--si pemberi assist--sudah terjebak offside. Apa lacur, laga tuntas dengan kedudukan imbang 2-2.

Yang bertanya-tanya bukan hanya kubu Liverpool, tetapi sebagian besar penikmat sepak bola. Barangkali Ancelotti dan para stafnya yang berdiri di pinggir lapangan pun bertanya-tanya mengapa tim mereka bisa dua kali diselamatkan VAR. Seandainya Ancelotti adalah pelatih Liverpool, bukan tak mungkin ia menyuarakan hal serupa Juergen Klopp: Mengapa Pickford tak dikartu merah, mengapa Mane dinyatakan offside, dan bukti apa yang memperkuat keputusan soal Mane?

Lalu sampailah kita pada pembahasan itu. Bahwa tampilan 3D mapping yang digunakan oleh para operator VAR benar-benar canggih. Jangan-jangan lewat ketajaman dan kedetailan monitor tersebut, orang-orang bisa melihat berapa milimiter alis Ancelotti terangkat saat Dominic Calvert-Lewin mencetak gol.

Foto: Twitter @Goal

Lewat penjelasan tersebut kita seperti diajak untuk memaklumi: Wajar kita tidak bisa melihat bahwa sebenarnya Van Dijk sudah offside sebelum ditekel Pickford dan bagian tubuh Mane yang mana yang dinyatakan offside.

Tidak satu suara dalam penggunaan teknologi, termasuk VAR, bukan perkara mengherankan. Namun, selama penggunaannya bertujuan untuk kebaikan olahraga atau kompetisi itu sendiri, melawan kontroversi adalah harga yang pantas buat dibayar.

Pada dasarnya aturan VAR dibuat untuk meminimalkan potensi kesalahan individu wasit saat bertugas. Mata wasit bukan kamera yang mampu menampilkan setiap detail dengan rinci. Wasit tak punya kemampuan untuk mengulang suatu kejadian dalam gerak lambat sebelum mengambil keputusan.

Masalahnya, aturan VAR pun dijalankan oleh manusia. Ada banyak hal yang terjadi di balik perubahan atau konfirmasi keputusan setelah tinjauan ulang tersebut: Mulai dari interpretasi operator VAR akan suatu kejadian, penggunaan teknologi macam 3D mapping tadi, hingga diskusi antara tim operator dan tim wasit yang bertugas di lapangan.

Dari situ muncul ironi. Jika VAR didesain untuk menyingkapkan apa-apa yang tidak tertangkap mata, mengapa segala proses yang terjadi di dalamnya tidak transparan? Mengapa ada selubung yang justru membuat kita tidak tahu apa yang terjadi di baliknya? Jangankan kita yang menyaksikannya lewat televisi, para pemain yang berlaga pun tidak tahu apa yang didiskusikan wasit dan tim operator. Yang mereka tahu ya keputusannya saja.

Industri raksasa seperti Premier League rasanya perlu menunduk sedikit dan mengarahkan pandangan mereka kepada A-League di Australia sana. Contohnya adalah apa yang terjadi saat Sydney FC berlaga melawan Melbourne City pada 29 Desember 2019. Bek Sydney, Rhyan Grant, dikartu merah akibat pelanggaran. Keputusan itu diambil setelah wasit melakukan tinjauan VAR. Yang menarik barangkali adalah perbincangan antara wasit dan operator VAR yang juga ditayangkan di siaran pertandingan.

Pengaplikasian aturan VAR yang demikian memang tidak serta-merta menghapus seluruh kontroversi. Kenyataannya, VAR sempat tidak digunakan saat A-League 2019/20 dilanjutkan pasca-terhenti akibat pandemi COVID-19. Akan tetapi, setidaknya, para penonton dapat mengetahui atau bahkan memahami sudut pandang dan interpretasi yang digunakan VAR.

Toh, sepak bola bukan tentang tim A dan B saja, tetapi juga para suporter. Jika para penonton juga merupakan bagian dari sepak bola, rasanya mereka berhak mengetahui apa yang terjadi di balik tinjauan VAR.

Itu tentang transparansi. Kejanggalan lainnya adalah keputusan wasit untuk tidak menghukum Pickford. VAR pada dasarnya memang tidak bisa digunakan untuk melihat dua kejadian langsung, dalam fragmen ini adalah pelanggaran Pickford dan offside Van Dijk.

Namun, rasanya kita tidak perlu VAR untuk melihat pelanggaran Pickford. Dibandingkan dengan menentukan offside atau tidak sampai harus menggunakan VAR, sepertinya ada yang lebih genting dan kasatmata, yang dalam Law of the Game FIFA disebut dengan serious foul play alias pelanggaran serius (dalam Law 12, halaman 112).

Seorang pemain disebut melakukan serious foul play jika menerjang lawan dari samping, depan, atau belakang dengan satu maupun dua kaki dengan tenaga berlebih atau membahayakan. Hukuman bagi pemain yang melakukan serious foul play adalah kartu merah alias diusir dari lapangan.

Berangkat dari situ, rasanya pengaplikasian VAR juga harus dibarengi dengan interpretasi aturan yang seragam, termasuk menentukan apa-apa saja yang harus diutamakan jika kasus seperti itu terjadi lagi. Bagaimanapun, VAR dan segala macam teknologi yang ada dalam sepak bola bertujuan untuk meningkatkan mutu laga itu sendiri, bukan sebaliknya.

****

Pada suatu waktu, entah saat angin apa, Jorge Luis Borges dan Adolfo Bioy Casares menulis cerpen sepak bola. Borges tidak seperti orang Argentina kebanyakan yang menggilai sepak bola. Baginya sepak bola adalah dosa yang tidak mungkin dimaklumi, apalagi dimaafkan.

Cerpen itu berjudul 'Esse Est Percipi'. Kata Borges dan Casares dalam cerpen tersebut, sepak bola itu sebenarnya sudah lenyap. Sepak bola yang selama ini dinikmati orang-orang lewat siaran hanyalah ulah para komentator dan penyiar. Cuap-cuap heboh mereka adalah upaya meyakinkan orang-orang bahwa mereka sedang menikmati tayangan sepak bola, bahwa sepak bola tetap berlangsung seperti biasa.

Lewat cerpen itu Borges tidak sedang mencecar kita dengan rasa tidak sukanya akan sepak bola. Sebaliknya, ia hanya ingin mengajak kita berpikir bagaimana jadinya jika sepak bola yang selama ini kita bahas, jika sepak bola yang entah sudah berapa tahun kita saksikan lewat televisi tak ubahnya tumpukan selubung belaka.

Pertanyaannya tentu apa yang ada di balik selubung itu. Salah satu jawabannya adalah bahwa sepak bola yang kita agung-agungkan itu tidak seromantis dan sesakral yang kita bayangkan. Bahwa di balik kemampuan sepak bola menggugah dan menggerakkan emosi entah berapa banyak orang di dunia, ada tangan-tangan industri yang perkasa. Dalam konteks itu, tentu saja industri penyiaran dan media.

Senapas dengan cerpen Borges tadi, jangan-jangan kontroversi Derbi Merseyside juga membukakan selubung yang memperlihatkan watak sepak bola yang selama ini belum pernah kita lihat dengan jelas, tentang kasak-kusuk yang sampai jelang derbi itu cuma kita dengar samar-samar: Bahwa sepak bola (dan manusia di baliknya) belum becus-becus amat di hadapan aturan yang mereka buat sendiri.