West Ham: Sebelum Gelembung Meletup

Ilustrasi: Arif Utama.

West Ham sudah terbiasa bermimpi hanya untuk melihat impan mereka itu terbang tinggi dan mati begitu saja. Musim ini, akankah cerita mereka berakhir berbeda?

Lewat “I’m Forever Blowing Bubbles”, para pendukung West Ham United mengingatkan bahwa hidup tak selamanya indah. Kadang, kamu cuma perlu menerima bahwa impianmu melambung hanya untuk meletup dan mati.

Tidak ada yang tahu pasti sejak kapan para pendukung West Ham mengadopsi lagu “I’m Forever Blowing Bubbles” sebagai chant mereka. Ada yang bilang bahwa suporter The Hammers menyanyikannya sejak 1920-an, tetapi cerita lain membantah seraya menyatakan bahwa chant tersebut baru terdengar pada 1940-an.

Satu yang pasti, “I’m Forever Blowing Bubbles” adalah chant nestapa. Ia tidak berbicara soal bagaimana derap langkah tim kebanggaan yang layak untuk ditakuti. Tidak pula ia berbicara soal langit cerah selepas mendung atau bagaimana semestinya sepak bola terbaik dimainkan.

Ia tidak peduli dengan segala tetek bengek penuh optimisme seperti itu. Yang penulisnya tahu, merayakan hidup yang medioker, biasa-biasa saja, dan penuh kesialan juga tidak apa-apa. Toh, pada setengah jalan hidupmu, mungkin kamu juga harus menerima bahwa demi hidup esok hari impianmu harus dibuang jauh-jauh ke dasar tong sampah.

Ada yang bilang bahwa chant itu adalah pengejawantahan kehidupan para pendukung West Ham dan segenap penduduk di London Timur. Mereka bukanlah orang-orang kaya yang menetap di Fulham dan sekitarnya, melainkan penjaja toko kelontong dan pekerja biasa yang saban hari mesti bergelut untuk hidup. Boro-boro mereka bisa bermimpi.

Gelembung-gelembung yang biasa berterbangan tiap West Ham bertanding pun menjadi manifestasi dari impian dari para orang biasa. Gelembung-gelembung itu fana, samar, dan rapuh. Ia melambung tinggi hanya untuk kemudian meletup begitu saja, pergi tanpa bekas.

West Ham tidak pernah menjadi kesebelasan yang betul-betul menakutkan di atas lapangan. Satu kali mereka bisa memukul para raksasa, berikutnya mereka kembali ke kemediokeran. Buku sejarah klub mereka menunjukkan, pencapaian terbaik selama 125 tahun berdiri hanyalah tiga kali menjuarai Piala FA.

Hidup yang biasa-biasa saja itu mereka terima dengan kelapangan. Berdiri pada batas di antara menjadi sesuatu yang menakjubkan dan sesuatu yang payah tidaklah buruk-buruk amat. Toh, West Ham bukannya tidak punya kebanggaan sama sekali.

Ketika Inggris menjuarai Piala Dunia 1966—satu-satunya trofi mayor mereka sampai saat ini—ada tiga pemain West Ham yang berperan besar. Mereka adalah Bobby Moore, kapten The Three Lions ketika itu, Geoff Hurst, dan Martin Peters. Bertahun-tahun kemudian, kita mengetahui bagaimana akademi West Ham menjadi kawah tempaan untuk talenta-talenta seperti Rio Ferdinand, Michael Carrick, Frank Lampard, dan Joe Cole.

Namun, selayaknya hidup yang biasa-biasa saja, hanya satu atau dua lonjakan yang berarti. Selebihnya, segalanya datar-datar kembali. Dalam kasus West Ham, ini adalah perkara finis di papan tengah dan papan bawah dari satu musim ke musim berikutnya.

Sepanjang era Premier League, West Ham sempat menjadi tim yo-yo yang turun-naik divisi. Ketika sudah mulai bisa menstabilkan diri di Premier League, West Ham pun mulai berani bermimpi. Namun, seperti gelembung-gelembung yang berterbangan tiap kali mereka bertanding, mimpi (atau impian) itu cepat pudar bahkan sebelum pagi datang menjemput.

Pada Mei 2018, Manuel Pellegrini datang untuk memperbaiki nasib West Ham. Semusim sebelumnya, The Hammers pontang-panting menyelamatkan diri untuk lolos dari jerat degradasi. Pellegrini, si charming man dari Cile, mendapatkan tanggung jawab untuk mewujudkan mimpi itu.

Kenyataannya, Pellegrini tak mampu berbuat banyak. Empat kekalahan beruntun pada awal musim 2018/19 berlanjut dengan performa turun-naik sepanjang September-November.

Lantas, ketika catatan mereka membaik pada Desember 2018—lewat lima kemenangan dalam tujuh pertandingan Premier League—pendukung West Ham mulai bersukacita. Mereka ikut-ikutan menyebut Pellegrini sebagai “This Charming Man” seperti yang biasa dulu pendukung Manchester City lakukan.

Manuel Pellegrini saat masih menangani West Ham. Foto: Twitter @BBCSport.

Namun, sebagus-bagusnya performa West Ham pada pertengahan musim itu, mereka akhirnya terjerembap juga. Pada akhir musim, mereka finis di urutan ke-10. Tidak buruk, tetapi juga tidak hebat. Biasa-biasa saja.

Pellegrini kemudian bertahan sampai 28 Desember 2019. Ia didepak setelah West Ham menelan empat kekalahan kandang beruntun dan tersungkur di urutan ke-17 klasemen. Sekali lagi, mereka harus bergelut untuk lepas dari jerat degradasi.

Satu hari setelah Pellegrini pergi, David Moyes datang kembali.

***

Tidak ada yang berharap banyak pada Moyes ketika ia ditunjuk sebagai pelatih West Ham. Beberapa media besar Inggris, seperti The Guardian, justru menyangsikan kemampuannya.

Sekalipun Moyes berhasil menyelamatkan West Ham dari degradasi, satu musim sebelum Pellegrini datang, media-media masih mengingat pencapaiannya di Sunderland. Moyes adalah pelatih terakhir The Black Cats di Premier League sebelum akhirnya terdegradasi dan tak kunjung kembali ke level teratas sampai saat ini.

Moyes akhirnya memang bisa mencapai target minimum yang dibebankan kepadanya pada 2019/20: Menyelamatkan West Ham dari degradasi. Namun, pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana ia menjalankan kesebelasan pada musim berikutnya.

Setelah menelan kekalahan beruntun pada dua pertandingan pertama, dan naik-turun performa sepanjang September-Desember 2020, West Ham baru benar-benar tancap gas pada Januari 2021. Semenjak pergantian tahun hingga menjelang akhir Februari, mereka hanya menelan satu kekalahan dari total sembilan pertandingan di Premier League. Sisanya, mereka meraih tujuh kemenangan dan satu hasil imbang.

Dengan catatan tersebut, West Ham pun duduk di posisi keempat klasemen setelah menyelesaikan 25 pertandingan. Pada titik ini, mereka adalah tim London terbaik, bukan Chelsea, Arsenal, atau bahkan Tottenham Hotspur. Nasib baik sedang berpihak, tetapi entah sampai kapan.

Hitung-hitungan Opta, berdasarkan kemampuan West Ham dalam aspek defensif dan ofensif plus siapa lawan-lawan yang akan mereka hadapi menjelang akhir musim, menunjukkan bahwa cepat atau lambat West Ham akan terdepak dari zona empat besar.

Paling banter, mereka bakal finis di urutan ketujuh klasemen. Buat West Ham, prediksi demikian tentu saja bukan sesuatu yang mengejutkan. Yang mengejutkan justru kalau akhirnya mereka bisa mematahkan prediksi tersebut dan betul-betul finis di empat besar.

Namun, sebelum gelembung itu meletup, ingatlah bahwa Moyes kini sudah memiliki tulang punggung yang kokoh untuk timnya. Per catatan The Athletic, setidaknya ada tujuh pemain yang selalu tampil dalam starting XI tim. Ketujuhnya tampil dalam 80% atau lebih dari seluruh menit bermain yang tersedia bagi pemain-pemain West Ham musim ini.

Di lini belakang, ia memiliki Craig Dawson, Aaron Cresswell, dan Angelo Ogbonna—plus Issa Diop sebagai pelapis. Di tengah, Moyes memiliki duet Tomas Soucek dan Declan Rice. Di lini depan, selain masih mengandalkan kehadiran Michail Antonio, West Ham mendapatkan suntikan darah segar pada diri Jesse Lingard.

Moyes cukup beruntung karena timnya juga memiliki pemain-pemain yang vokal. Rice, meski baru berusia 22 tahun, tidak pernah segan menyemangati rekan-rekannya di ruang ganti. Begitu juga dengan Lukasz Fabianski, Dawson, Ogbonna, Antonio, dan Mark Noble.

Dengan tulang punggung yang kokoh itu, Moyes menjadi lebih leluasa untuk menyusun timnya. Ia membangun tim dari pertahanan dulu. Begitu aspek defensif sudah beres, baru ia membenahi aspek ofensif timnya.

Tidak ada yang menyangkal bahwa Moyes masih cukup konservatif ketika membangun taktik untuk timnya. Yang terpenting, timnya punya keseimbangan yang tepat lebih dulu di lini belakang dan lini tengah, sisanya bisa dituntaskan dengan para gelandang serang dan sayap yang lincah seperti Lingard, Said Benrahma, Manuel Lanzini, atau bahkan Antonio sendiri.

Lingard, yang biasanya mendapatkan peran sederhana di Manchester United—entah untuk sekadar membuka ruang atau melakukan pressing kepada pemain belakang lawan—tampil subur. Kemampuannya untuk tiba-tiba muncul dari second line dimanfaatkan betul oleh Moyes.

Sejauh ini, Lingard sudah mencetak 3 gol kendati angka expected goals-nya (xG) hanya mencapai 0,6. Jelas bahwa Lingard melebihi angka harapan golnya sendiri—yang artinya ada faktor eksternal yang membuat catatan golnya lebih banyak dari yang seharusnya.

Namun, selama itu bisa mengangkat performa West Ham, rasa-rasanya Moyes atau pendukung mereka tidak akan peduli. Lagi pula, sebagai orang-orang biasa, tidak ada yang lebih menyenangkan ketika keberuntungan berpihak mutlak-mutlak kepada mereka.