West Ham yang Mulai Kehabisan Bensin

Foto: @westham

Hanya satu kemenangan yang West Ham dapatkan di lima pertandingan terakhir. Well, ini jelas berbanding terbalik dengan di awal-awal musim ketika mereka sukses merangsek ke pos empat besar. Apakah pertanda The Hammers mulai melempem?

Kesempatan kedua selalu lebih berharga. David Moyes paham betul soal itu. Maka ketika West Ham United memanggilnya kembali, dia menyetujuinya. Kendati itu membuat Moyes kudu memutar otaknya kembali. Apa yang kurang di eranya dulu? Lantas, bagaimana caranya membuat West Ham menjadi tim yang kebih kuat lagi?

“Kupikir yang lebih penting, aku akan mencari tahu apa yang bisa kulakukan dan apa yang bisa diperbaiki di sini,” ucap Moyes dalam perkenalannya 2019 silam. Dia melanjutkan,  “Aku percaya bahwa skuad sekarang lebih baik daripada ketika aku mengambil alih sebelumnya. Aku jadi tak sabar menantikan untuk bekerja dengan mereka.”

Barangkali ucapan Moyes tampak seperti lip service belaka. Namun, kenyataannya tidak demikian. Apa yang dikatakan ada benarnya. Di awal musim 2019/20 itu, West Ham kedatangan Pablo Fornals dan Sebastien Haller. Itu belum ditambah dengan Declan Rice dan Tomas Soucek yang kemudian menjadi komponen vital di area sentral.

Belum, West Ham belum menunjukkan peningkatan signifikan di musim itu. Moyes hanya mampu membawa mereka nangkring di urutan ke-16 klasemen akhir Premier League. Di satu sisi, Moyes layak mendapatkan kredit bila melihat amburadulnya situasi West Ham musim itu.

Sebelumnya, di bawah asuhan Manuel Pellegrini, mereka keseringan nyangkut di papan bawah. Bahkan The Hammers terlempar di posisi 17 ketika manajemen memutuskan mendepak Pellegrini di pengujung Desember.

Baru di musim 2020/21 magi Moyes mulai menguar. Skuadnya menjadi lebih solid dan para pemain juga makin memahami keinginan Moyes. Antonio, misalnya, mulai nyaman dipasang sebagai penyerang tengah. Di di musim awal Moyes, pemain Jamaika itu berhasil merangkum masing-masing 10 gol di lintas ajang.

Pun dengan Soucek yang semakin komplet sebagai gelandang bertahan. Tak hanya sekadar mengikis serangan, tetapi juga mencetak gol. Torehan golnya menyentuh 10 (setara Antonio) sepanjang edisi 2020/21. Ngomong-ngomong, agresivitas serta keserbabisaan Soucek ini mengingatkan kita kepada Marouane Fellaini yang notabene anak kesayangan Moyes di Everton dan, ehem, Manchester United dulu.

West Ham finis di peringkat keenam musim itu. Jelas pencapaian fantastis. Mereka tak pernah masuk 6 besar selepas periode 1998/99. Dari sini konstelasi mulai berubah. Moyes perlahan mengikis label pelatih buangan usai gagal di Manchester United. Sementara West Ham, mulai dipertimbangkan sebagai penantang tim-tim mapan Premier League.

Benar saja, West Ham langsung menampakkan konsistensinya sejak awal musim 2021/22. Delapan poin sukses West Ham kumpulkan di empat pekan pertama. Mereka bahkan sempat bertengger sebagai runner-up. Dua kekalahan dari United dan Brentford di matchday 5 serta 7 bukan jadi persoalan besar. Toh, Aaron Cresswell cs. sukses menyapu bersih empat laga setelahnya.

Overall, formula 4-2-3-1 yang diusung Moyes ini cukup bakoh. Double pivot berperan vital dalam meyeimbangkan tim, baik itu dalam menyerang maupun bertahan. Rice khususnya, yang rajin turun membantu duo bek sentral. Makin spesial karena eks Chelsea ini juga piawai mengalirkan bola selain jago urusan tekel dan intersep.

Rice mencatatkan rata-rata 57 umpan di tiap pertandingan, sebagaimana disitat dari WhoScored. Jumlah itu menjadi yang tertinggi di tim. Sama halnya dengan rerata tekel dan intersep yang menyentuh 2,4 dan 1,6.

Fitur serbabisa Rice ini membuat pasangan full-back West Ham leluasa dalam melakukan overlap. Cresswell, yang jago perkara crossing, difungsikan sebagai kreator tambahan dari sisi kiri. Lalu Vladimir Coufal ditugaskan untuk melakukan penetrasi melalui tepi sebaliknya. Hasilnya tokcer. Cresswell dan Coufal sudah menyumbangkan 6 assist bila dikalkulasi.

Sementara komposisi gelandang serang Moyes cukup menarik. Mereka bisa bermain di tepi sekaligus menginisiasi serangan—bukan sekadar winger biasa. Ada Pablo Fornals, Said Benrahma, Manuel Lanzini, dan Jarrod Bowen. Di antara ketiganya, Bowen yang paling menonjol. Pemain 25 tahun itu diplot sebagai striker kedua West Ham.

Starting poin Bowen memang akan berada di sebelah kanan. Akan tetapi, dia bakal aktif bergerak ke half-space dan merangsek ke kotak penalti untuk membuka ruang. Pergerakan semacam ini bisa menunjang Antonio sebagai penyerang utama.

Ini yang membuat West Ham-nya Moyes menarik. Tak ada striker murni dalam skuadnya. Antonio-lah yang menjadi tumpuannya di lini depan. Bisa diingat bahwa Antonio sebelumnya pernah bermain sebagai full-back dan winger (kanan-kiri), dan wing-back kanan.

[Baca Juga: Metamorfosis Michail Antonio]  

Sejak dua tahun lalu, Moyes mulai menahbiskan Antonio untuk menjadi striker primer. Hengkangnya Marko Arnautovic ke Shanghai Port dan cedera Sebastian Haller menjadi alasannya. Keputusan Moyes tidaklah keliru. Toh, nyatanya Antonio subur bukan main. Dia bahkan berhasil melampaui torehan gol Paolo Di Canio sebagai topskorer sepanjang masa West Ham.

Masalahnya, ketergantungan Moyes terhadap Antonio kelewat tinggi. Ini jelas bukan hal bagus. Apalagi sampai sekarang West Ham juga belum memiliki alternatif striker. Ya, mereka belum mendatangkan satu pun penyerang sejak second coming Moyes pada 2019.

Di bursa transfer musim dingin lalu West Ham sempat mengincar beberapa nama macam Darwin Nunez (Benfica), Duvan Zapata (Atalanta), Ben Brereton Diaz (Blackburn Rovers) dan Jonathan David (Lille). Namun, tidak ada satu pun yang terealisasi.

Opsi Moyes menjadi kian sempit. Siasat untuk mencoba Andry Yarmolenko juga alpa. Tak ada gol yang dicetak personel Ukraina itu dari 11 pementasan—semuanya sebagai pemain cadangan. Mau tak mau, Antonio yang menjadi andalan rutin Moyes. Padahal, di musim ini West Ham juga menjalani Liga Europa selain bertarung di kompetisi domestik.

Sebagai gambaran, sejauh ini Antonio sudah mengecap 2.890 menit main (termasuk besama Timnas Jamaika). Sementara hingga akhir musim lalu, dia memainkan “hanya” 2.073 menit. Fisik yang terforsir berimbas kepada performa Antonio di lapangan. Dalam 5 pertandingan terakhir dia nihil gol. 

Selama kurun waktu itu pula West Ham anjlok. Cuma sebiji kemenangan yang mampu mereka bungkus. Sementara masing-masing dua laga berujung imbang dan kalah. Untungnya, Bowen masih tampil konsisten. Dia menyumbang 50% dari total 6 gol terakhir West Ham di lima laga ke belakang. Kondisi mereka bisa saja lebih buruk bila Bowen absen.



Rapuhya departemen pertahanan juga menjadi sebab lainnya. Hanya satu nirbobol yang West Ham ukir sejak lima pertandingan terakhir. Mereka kemasukan 1,4 gol bila dirata-rata per laga.

Intensitas pressing West Ham juga tak bisa dibilang bagus. Mengacu The Analyst, passes per defensive action (PPDA) West Ham ada di angka 13,8 (tertinggi ketujuh di liga). Dengan kata lain, mereka “membiarkan” lawan melepaskan 13,8 umpan sebelum akhirnya berhasil merebut kembali penguasan bola.

Ini makin diperparah dengan rendahnya persentase duo bek sentral West Ham dalam memenangi duel. Menyitat Fbref, rasio kesuksesan tekel Craig Dawson hanya 41,2%. Angelo Ogbonna lebih parah lagi karena mengukir 28,6%. Sementara Kurt Zouma yang paling mending dengan mencatatkan 50% tekel sukses.

Titik lemah West Ham yang paling kentara ada di sektor kanan. Lima dari tuhuh gol terakhir yang masuk ke gawang mereka lahir dari sana. Cukup logis sebenarnya, mengingat Coufal dan Dawson—yang menjaga sisi kanan—tak jago-jago amat dalam bertahan. Coufal, misalnya, tercatat sudah dilewati lawan 17 kali sejauh ini. Bandingkan dengan full-back kiri, Cresswell, yang baru dilewati 8 kali.

Momen gol ketiga Leeds United bisa menjadi sampel. Jack Harrison berdiri bebas saat menerima umpan diagonal dari Raphinha. Coufal, yang seharusnya menjaga sisi kanan, terlambat turun. Sementara Dawson berada terlalu dalam sehingga menciptakan ruang yang relatif lebar untuk Harrison.

Secara garis besar, apa yang membuat West Ham mulai melempem adalah nihilnya pengganti Antonio. Situasi ini memaksa Moyes untuk menurunkannya di hampir setiap pertandingan dan praktis memengaruhi kebugarannya. Memang, West Ham masih memiliki Bowen sebagai opsi produsen lain. Akan tetapi, itu tak lantas menyelesaikan perkara. Belum lagi dengan tepi kanan pertahanan yang rawan.