Weston McKennie dan Habitat Kelas Pekerja Gelsenkirchen

Foto: Twitter @WMcKennie.

Weston McKennie terkesima dengan sepak bola pada usia amat belia. Ia kemudian mengasah skill dan mentalnya di Gelsenkirchen, kotanya kelas pekerja.

Kawasan Ruhr sudah sejak lama dikenal sebagai daerah pertambangan. Geliat pertambangan di sana sudah terasa bahkan sejak tahun 1850-an, tak terkecuali di kota Gelsenkirchen, salah satu kota yang berada di wilayah Ruhr.

Sejak lama, wilayah ini memang dikenal sebagai kawasan industri batu bara. Banyak tambang batu bara yang bisa ditemukan di sini, dan hal itu jadi kebanggaan warga Gelsenkirchen.

Bicara tentang industri dan pertambangan tentu saja berkaitan dengan kelas pekerja. Dengan statusnya sebagai kota tambang batu bara, banyak penambang batu bara bertebaran di Gelsenkirchen. Mereka juga jadi fans klub sepak bola Jerman yang berasal dari Gelsenkirchen, yaitu Schalke 04.

Dengan status mereka sebagai kelas pekerja, fans Schalke, laiknya fans sepak bola yang klubnya berasal dari wilayah Ruhr, memiliki hasrat yang tinggi dalam mendukung klub kesayangan mereka. Veltins Arena, sebelum pandemi COVID-19 menyerang, akan penuh sesak tatkala Schalke bermain.

Di wilayah yang penuh kelas pekerja inilah Weston McKennie memulai kariernya sebagai pesepak bola.

***

McKennie lahir di Little Elm, Texas, 28 Agustus 1998. Ketika kecil, McKennie tidak tahu bahwa sepak bola adalah olahraga. Yang ia tahu, olahraga adalah American football dan basket, dua jenis olahraga yang memang menjadi tren di Amerika Serikat.

Barulah ketika ia berusia enam tahun, ia harus pindah ke Jerman lantaran sang ayah, yang merupakan seorang staf sersan, ditugaskan ke sana. Kaiserslautern jadi tempat yang dituju keluarga McKennie saat itu. Di sana, McKennie kecil mengenal sepak bola.

Bersama klub lokal, FC Phoenix Otterbach, McKennie menghabiskan waktu bermain sepak bola sebagai kegiatan tambahannya sehari-hari. Sang ibu, Tina, adalah sosok yang sering mengantarnya. Talenta McKennie sudah tercium saat itu oleh pelatih Otterbach.

Di Kaiserslautern pula, McKennie mulai tahu bahwa sepak bola adalah olahraga yang menjanjikan. Pada 2007, McKennie yang saat itu berusia 7 tahun, menyaksikan laga Timnas Amerika Serikat melawan Polandia di Kaiserslautern. Ia terkesima. Ia sadar bahwa sepak bola adalah olahraga mendunia yang bisa membawanya ke mana saja.

Sayang, McKennie tidak lama tinggal di Jerman. Pada usia 9 tahun, ia kembali ke Amerika lantaran tugas sang ayah di sana sudah selesai. Namun, impresi McKennie terhadap sepak bola terbawa hingga ke tanah kelahirannya. Di Amerika, ia mulai menekuni sepak bola dengan serius.

McKennie bermain bersama tim muda FC Dallas. Ia meraih berbagai prestasi apik dan dipanggil ke Timnas muda Amerika Serikat beberapa kali. Ia dianggap sebagai salah satu gelandang tengah berbakat yang dimiliki Amerika Serikat.

Hingga akhirnya, pada 2016, McKennie mesti memilih. Tawaran beasiswa dari Universitas Virginia, plus tawaran main di tim senior Dallas muncul. Alih-alih menerima tawaran itu, McKennie memutuskan kembali ke Jerman, menerima tawaran untuk bergabung dengan akademi Schalke 04, Knappenschmiede.

Tawaran itu pada akhirnya benar-benar menentukan masa depan McKennie dalam kariernya di dunia sepak bola.

***

Bergaul dan terbiasa melihat kebiasaan kelas pekerja di Gelsenkirchen membantu McKennie dalam pembentukan karakternya sebagai pesepak bola. Pada dasarnya, ia memang punya talenta. Pelatihnya di tim muda Dallas, Brad Friedel, menyebutnya sebagai pemain dengan energi yang tidak habis-habisnya.

Namun, selain pembentukan karakter, talenta McKennie benar-benar terasah di sini. Di tim U-19 Schalke, McKennie diasuh Norbert Elget, sosok yang melahirkan pemain-pemain seperti Mesut Oezil, Manuel Neuer, dan Leroy Sane.

Lebih jauh, Elget menyebut bahwa bukan skill McKennie yang pada akhirnya membuat ia mampu beradaptasi. Etos kerjanya yang apik membuat ia mudah berbaur dengan rekan setim. Ia mampu mengalihkan fokus dengan cepat, dari bercanda ke serius, dari serius ke bercanda lagi. Ia tidak jauh beda dengan para pekerja yang kerap hilir mudik di Gelsenkirchen.

“Wes (McKennie) menyebarkan kebahagiaan di tim. Ia membawa pengaruh positif untuk sekelilingnya. Namun, jangan salah, ia bisa dengan cepat berganti fokus,” ujar Elget, dilansir The Guardian.

“Dalam suatu momen, McKennie bisa jadi pemain yang berdansa di ruang ganti. Namun, di momen yang lain, ia juga bisa menjadi pemain yang serius, terutama ketika berlatih dan ketika tim akan menghadapi sebuah pertandingan,” tambahnya.

Etos kerja McKennie ini juga tercermin tiap kali ia berlaga. Dari total 91 laga yang ia jalani bersama tim utama Schalke, ia memang cuma mencetak 5 gol dan 7 assist. Namun, bukan itu yang bikin McKennie disegani; ia mampu memerankan peran sebagai gelandang box-to-box dengan fasih.

Energi lebih yang ia punya membuatnya mampu menjelajahi setiap jengkal lapangan tengah dengan baik. Ia mampu jadi jembatan antara lini tengah dan lini depan. Selain menjadi jembatan, ia juga jadi gelandang dengan aksi bertahan yang baik. Total Football Analysis mencatat, sepanjang musim 2018/19, McKennie mampu memenagi 72% dari duel yang ia lakukan dengan pemain lawan.

Selain itu, McKennie juga memiliki positioning dan kemampuan umpan yang baik. Entah itu dalam skema 4-4-2 atau 4-3-3, ia tahu kapan harus bertahan dan turut naik membantu penyerangan. McKennie juga mampu mendistribusikan bola dengan baik di area tengah. Pada musim 2018/19, ia mampu menorehkan persentase umpan sukses sebesar 83%, dengan rataan umpan kunci sebesar 1,5 kali per laga.

Tipikal McKennie inilah yang tidak dimiliki oleh kompatriotnya yang lain dari Amerika Serikat. Tidak melulu soal etos kerja, McKennie jadi pemain yang juga cerdas dalam bermain. Alhasil, tidak heran jika Juventus meminatinya dan per musim 2020/21, mereka meminjam McKennie dari Schalke yang tengah dilanda krisis keuangan.

***

Forrest Gump boleh saja memiliki intellectual diffability. Namun, talenta yang ia miliki, berpadu dengan etos kerja yang maksimal, membuat ia mampu menjadi atlet American football, tenis meja, catur, dan gulat yang apik. Ia selalu serius menekuni apa yang memang ada di hadapannya. Ia adalah ejawantah dari American Dream yang menyebut bahwa orang Amerika, dalam bidang apa pun itu, bisa meraih kesuksesan asal mau bekerja keras.

Nah, kini, ejawantah American Dream itu juga tersemat dalam diri McKennie. Setelah kesuksesan rekan-rekannya yang lain di tanah Eropa, termasuk Pulisic, ia juga mampu menorehkan tinta emasnya sendiri di Eropa. Berseragam Juventus, berlatih bersama Cristiano Ronaldo, dan dliatih oleh Andrea Pirlo, mungkin tidak pernah terbayangkan sebelumnya dalam pikiran McKennie.

Namun, dengan etos kerjanya yang baik, yang dilatih lewat atmosfer kelas pekerja Gelsenkirchen, McKennie mampu meraih itu semua. Ia mampu menjadi inspirasi bagi anak-anak Amerika Serikat yang lain, bahwa dengan bermain sepak bola, mereka dapat menggamit banyak hal dalam hidup.

Kini, jalan masih panjang buat McKennie. Di usianya yang masih 22 tahun, ia masih mampu mencapai banyak hal dalam hidup. Dengan etos kerja yang ia miliki, semestinya, ia dapat meraih apa-apa yang ia impikan.