Wonderwall

Foto: Twitter @B_Fernandes8

Bruno adalah 'Wonderwall' buat Manchester United karena berulang kali menjadi penyelamat mereka. Ia juga merupakan deus ex machina karena United sering berharap padanya untuk menciptakan keajaiban.

Lewat ‘Writing to Reach You’, Fran Healy mengutarakan kegelisahannya akan sesuatu (atau seseorang) sampai-sampai tak ada satu pun hal di sekelilingnya mampu membuatnya tenang.

Radio, kata dia secara tersirat, mulai terdengar membosankan. Lagu yang diputar cuma itu-itu saja. Pokoknya, ada saja yang terasa tidak beres. Healy mulai merasa dirinya jungkir-balik; yang semestinya berada di luar menjadi di dalam, dan begitu pula sebaliknya.

Dalam kegelisahan itu, ia sempat-sempatnya mengolok-olok lagu kebesaran Oasis, ‘Wonderwall’. Kata dia: “What’s a Wonderwall, anyway?” Memangnya, apa, sih, Wonderwall itu?

Tentu saja, olok-olok itu tidak serius. Healy tidak sedang menyindir Oasis atau bahkan meluapkan kebenciannya pada band asal Manchester tersebut. Sebaliknya, ia cukup gandrung dengan ‘Wonderwall’. Beberapa chord pertama yang ia masukkan untuk ‘Writing to Reach You’ sengaja ia pinjam dari ‘Wonderwall’.

Namun, saking bosannya Healy, ia tak lagi tahu apa yang bisa menyelamatkannya. Lagu yang ia gandrungi tak bisa lagi membuatnya merasakan sesuatu. Alih-alih begitu, ia jadi mempertanyakan apa makna di balik lagu tersebut.

Tidak ada yang benar-benar tahu apa maksud ‘Wonderwall’ selain Noel Gallagher. Ketika menggubah lagu tersebut untuk Oasis pada pertengahan 1990-an, ia menjudulinya dengan ‘Wishing Stone’. Katanya, lagu itu soal perempuan yang di kemudian hari menjadi istrinya, Meg Matthews.

Namun, setelah Gallagher bercerai dengan Matthews, makna ‘Wonderwall’ berubah lagi. Katanya, pada sebuah wawancara dengan BBC Radio, lagu itu adalah soal teman khayalan yang siap menyelamatkanmu bahkan dari kebodohanmu sendiri.

Apa pun itu kita bisa menggarisbawahi bahwa ‘Wonderwall’ adalah sebentuk entitas yang boleh jadi tak kasatmata. Ia bisa saja merupakan penyelamatmu atau sekadar tempatmu untuk mengadu. Manakala harimu tiba-tiba menjadi cerah tiap kali melihat Kang Seulgi menyunggingkan senyum hingga matanya menyipit, bisa jadi dialah ‘Wonderwall’-mu.

“Because maybe you’re gonna be the one that saves me…”

***

Sebetulnya, cukup aneh menggunakan ‘Wonderwall’, lagu yang merupakan signature band yang pentolannya pendukung Manchester City semua, untuk dia yang berulang kali meniupkan nyawa di ujung ajal Manchester United, Bruno Fernandes.

Alasan lainnya, ‘Wonderwall’ sesungguhnya mulai terdengar usang di telinga saking seringnya menjadi go-to song tiap orang menyebut nama Oasis. Padahal, Oasis punya setumpuk lagu lain yang boleh jadi lebih menyenangkan untuk didendangkan. Padahal lagi, ketika menyebut band asal Manchester, ada sederet lainnya yang lebih berpengaruh meski tidak sebesar Oasis.

Namun, Bruno dan ‘Wonderwall’ berada dalam tatanan yang sama. Keduanya adalah entitas penyelamat. Tiap kali napas United tinggal sejengkal, mereka pasti berpaling pada gelandang asal Portugal tersebut dan berharap dirinya membuat keajaiban.

Anggapan orang-orang bahwa Bruno adalah protagonis utama United pada separuh musim kemarin dan pada musim ini amat sulit untuk dibantah. Faktanya, cuma dengan kehadirannya, ia seperti menggerakkan keseluruhan mesin permainan United.

Jurnalis The Athletic yang kritis betul menyorot Ole Gunnar Solskjaer, Michael Cox, sampai-sampai menyebut bahwa ia tak pernah melihat sebuah tim bermain tanpa struktur jelas hingga harus mengandalkan kepiawaian satu orang pemain. Cox, tentu saja, mendapatkan cacian dan kritik balasan dari para pendukung United ketika mencuitkan hal tersebut di akun Twitter-nya. Namun, sulit untuk membantah opininya.

Terlepas dari beragam hasil impresif yang pernah ia raih--melakukan comeback atas PSG, berulang kali menundukkan Pep Guardiola dalam semusim, dan sebagainya--Solskjaer masih jauh dari kata sempurna. Kecakapannya masih harus diuji oleh sebuah hal bernama konsistensi, terutama ketika bertanding pada laga-laga penting.

Kemampuan Solskjaer menundukkan tim-tim jempolan berpangkal pada kemampuannya menyesuaikan timnya pada taktik lawan. Ini menjadikan United tim yang reaktif, alih-alih proaktif. Oleh karena itu, sulit untuk menebak apakah United akan meraih hasil yang sama baiknya hari ini seperti kemarin.

Solskjaer memang terbilang sering memasang 4-2-3-1. Namun, siapa berperan sebagai apa, bagaimana pemain harus bertindak atau bergerak ketika sudah sampai final-third, atau bagaimana penempatan posisi (dan pergerakan tanpa bola) mereka ketika sedang mengurung pertahanan lawan rasa-rasanya masih perlu diperbaiki.

Kamu tentu sering merasa frustrasi melihat Marcus Rashford atau Anthony Martial mengambil keputusan yang buruk ketika sudah berada di sepertiga akhir lapangan. Padahal, untuk sebuah tim yang (masih) mengandalkan kemampuan individu pemain, teknik dan pengambilan keputusan yang tepat adalah perkara penting.

Dari sisi hasil, United memang terlihat konsisten begitu Bruno bergabung pada Januari 2020. Sebuah tabel menunjukkan bahwa jika Premier League hanya dihitung dari Januari 2020 hingga pekan teranyar Premier League 2020/21, United berada di posisi kedua alias hanya kalah dari Liverpool.

Yang orang-orang lupa, United berulang kali meraih kemenangan dengan susah payah. Artinya, terlepas dari pencapaian apik dari sisi hasil, permainan mereka masih cukup bikin garuk-garuk kepala. Kalau pendukungnya saja selalu bersiap mengumpat tiap kali United bermain, saya tidak bisa membayangkan betapa frustrasinya para pemain tiap turun bertanding.

Bruno adalah deus ex machina pada United yang serba-kusut itu. Pokoknya, oper saja bola pada Bruno, niscaya keajaiban bakal terjadi. Beruntung buat United, Bruno punya beragam atribut yang cocok untuk diandalkan.

Pertama-tama, Bruno adalah pemain yang gemar mengambil risiko. Ia sering melepaskan operan vertikal dan jarang betul menahan bola manakala melihat kesempatan terbuka. 

Wyscout menempatkannya di posisi ketiga dalam hal jumlah melepaskan smart passes (operan jitu) di Premier League musim ini (18 kali). Wyscout mendefinisikan smart passes sebagai operan kreatif dan penetratif, yang dimaksudkan untuk menerobos pertahanan lawan dan mendapatkan keuntungan dari sebuah serangan.

Mengingat Solskjaer senang melakukan transisi cepat dari bertahan ke menyerang, Bruno pun menjadi sosok yang tepat. Tak heran apabila ia menjadi lebih penting dari Paul Pogba yang acapkali menahan bola. Dalam skema Solskjaer, Bruno memang lebih pas untuk menjadi kreator peluang ketimbang Pogba.

Per catatan Understat, jumlah xG (expected goals) dan xA (expected assist) Bruno bahkan melampaui Marcus Rashford musim ini. Jika Rashford memiliki 3,82 xG dan 1,17 xA, Bruno mencatatkan 4,90 xG dan 4,44 xA. Padahal, menit bermain Rashford (843) lebih banyak daripada Bruno (793). Total, Bruno sudah mencetak 7 gol dan menyumbang 4 assist di Premier League musim ini.

Sedemikian pentingnya Bruno hingga kita tak akan heran melihatnya tiga kali menyabet penghargaan pemain terbaik bulanan Premier League semenjak bergabung ke United. Teranyar, ia menjadi peraih penghargaan tersebut untuk November 2020.

Sudah memiliki pemain seandal ini, semestinya United (dan Solskjaer) paham bahwa taktik bisa dibangun di sekelilingnya. Mengapa tidak mencoba membangun struktur yang tepat, misalkan, dengan menentukan ke mana pemain bergerak, ruang dan area mana yang mesti diincar, siapa yang harus membuka ruang tersebut, dan blablabla ketika Bruno tengah mengontrol bola?

Ketika banyak orang bertanya siapa yang lebih baik di antara Kevin de Bruyne dan Bruno Fernandes, saya merasa pembedanya ada pada cara bermain tim masing-masing. Sementara De Bruyne adalah bagian dari sebuah sistem yang teratur (dan ia merupakan bagian penting dari sistem itu), Bruno adalah sistem itu sendiri.