X & Y Manchester United

Foto: Twitter @ManUtd.

Inkonsistensi Manchester United membuat pandangan soal mereka terpolarisasi. Padahal, semestinya inkonsistensi tersebut tak bisa dipandang dari cara seperti itu.

Kita bisa bersepakat bahwa Manchester United jauh dari kata konsisten sejauh musim ini berlangsung. Yang menarik, adalah bagaimana orang-orang memandang atau memaknai inkonsistensi tersebut.

Sebagian besar memilih untuk menunjuk batang hidung Ole Gunnar Solskjaer sebagai pelatih. Mereka, tentu saja, tidak sepenuhnya salah. Sebab, biar bagaimanapun pelatih adalah orang yang paling bertanggung jawab atas performa sebuah tim.

Namun, yang menyebalkan dari pembicaraan mengenai United dan Solskjaer adalah hampir seluruhnya terpolarisasi. Entah dia merupakan pelatih yang buruk sekali atau betul-betul genius karena selalu bisa keluar dari kesulitan.

Tidak sedikit pula mereka yang menyebut United inkonsisten, tetapi cenderung lebih terfokus pada catatan-catatan buruk. Padahal, ada banyak contoh di mana United tampil beres dan melakukan pekerjaan dengan baik—baik dari segi hasil maupun taktik.

Dua musim silam, misalnya, ketika menundukkan Manchester City di Etihad, Solskjaer dengan genial menginstruksikan kedua gelandang porosnya untuk melakukan man-marking kepada gelandang ‘free eight’ City. Ke mana pun mereka bergerak, kedua gelandang poros United selalu mengikuti.

Pada kesempatan lain, permutasi posisi pemain yang baik plus transisi yang cepat memungkinkan United untuk menundukkan Leeds United 5-1 dan Newcastle United 4-1. Sampai saat ini, kedua kemenangan tersebut adalah kemenangan terbesar ‘Iblis Merah’ sejauh musim ini berjalan.

Sayangnya, United tak pernah bisa memperlihatkannya dalam setiap kesempatan. Inilah yang membuat banyak pendukung heran sendiri. Namun, seperti itulah semestinya kita memandang inkonsistensi mereka: Seperti gelas dengan setengah air di dalamnya, tanpa melihatnya setengah terisi atau setengah kosong.

Sulit untuk menilai United (atau Solskjaer) dengan pandangan terpolarisasi tadi. Alih-alih begitu, mereka lebih cocok untuk dilihat dalam sebuah spektrum. Mereka bagus, tapi sebagus apa? Mereka jelek, tapi benarkah sejelek itu?

Penilaian terhadap United (dan juga Solskjaer) pun lebih pas diletakkan dalam grafik X & Y, di mana masing-masing orang bisa menaruh pandangan mereka pada titik-titik tertentu. Sebagai contoh, Jamie Carragher merasa semenjak ditangani Solskjaer, United mengalami perkembangan—dan Solskjaer layak mendapatkan kredit karenanya. Namun, ia tidak yakin bahwa Solskjaer adalah orang yang tepat untuk membawa United ke level berikutnya.

Itu, tentu saja, lebih adil ketimbang terus-terusan ngotot dan berdebat tak habis-habis soal perkara ‘Ole In’ dan ‘Ole Out’ saban hari di medsos. Hanya melihat pada satu poin secara absolut hanya akan menegasikan poin-poin lain yang biasanya emoh kita lihat. Dari situ, pandangan kita hanya akan menyempit dan menyempit.

***

Ketika melihat susunan starting XI United pada laga melawan Leicester City, semestinya sudah bisa diprediksi bahwa mereka bakal kerepotan menghadapi The Foxes. Pada edisi The Short Story yang tayang 15 Oktober 2021, The Flanker menyebut bahwa salah satu kekuatan Leicester terletak pada pressing mereka.

Jamie Vardy, yang kini sudah berusia 34 tahun, bukan cuma masih subur, tetapi work-rate-nya juga masih terjaga. Ia memang jarang betul turun untuk membantu timnya bertahan, tetapi ada alasan mengapa ia demikian.

Vardy tetap berada di lini depan untuk menunggu sodoran bola manakala timnya melakukan serangan balik. Selain itu, ia selalu mendapatkan tugas untuk memberikan pressing kepada bek-bek lawan yang menguasai bola.

Tanpa harus sering-sering turun untuk membantu timnya bertahan, Vardy bisa menyimpan energinya untuk melakukan pressing. Dengan begitu, kinerjanya menjadi lebih efektif.

Pada laga melawan United itu, Vardy diduetkan dengan Kelechi Iheanacho, yang sebelumnya cuma satu kali menjadi starter di Premier League musim ini. Kehadiran keduanya di lini depan semakin menegaskan niat Leicester untuk melakukan pressing sejak di lini depan.

Sayangnya, United dan Solskjaer alpa mengantisipasi ini. Munculnya duet Nemanja Matic dan Paul Pogba sebagai gelandang poros dalam starting XI justru bikin khawatir. Pada pertemuan dengan Leicester di Piala FA musim lalu, terlihat jelas bahwa Matic kerepotan menghadapi lawan yang bermain dengan intensitas tinggi. Pogba, sementara itu, tak memiliki atribut defensif yang baik.

Statistik memperlihatkan bahwa Pogba hanya memenangi 2 dari 16 ground duels sepanjang laga. Ia dan Matic sama-sama kerepotan untuk keluar dari tekanan para gelandang Leicester. Imbasnya, ketika para gelandang tidak bisa membendung tekanan, lini belakang pun terekspos.

Repotnya, hari itu justru menjadi hari di mana Harry Maguire—salah satu penampil United paling konsisten pada musim kemarin—cukup sering kehilangan fokus. Alhasil, ia pun andil pada terciptanya beberapa gol Leicester.

Persoalan-persoalan di atas bisa kita lihat dari berbagai sudut pandang. Pertama, bagus atau tidaknya penampilan United amat tergantung dari siapa-siapa saja yang diturunkan. Kedua, belum ada sistem yang bisa dijalankan dengan baik untuk melindungi lini pertahanan.

Pada musim ini, kita sering melihat garis pertahanan United naik cukup tinggi. Tujuannya adalah untuk bermain lebih ofensif dan menginisiasi serangan kembali secepat mungkin. Sialnya buat mereka, niat tersebut tak dilengkapi dengan kemampuan untuk menghadapi serangan balik lawan dengan baik.

Anggapan bahwa United tidak memiliki taktik ataupun strategi—dan lebih banyak mengandalkan kemampuan individu pemain—sesungguhnya tak sepenuhnya benar. Yang bisa terbaca dari cara bermain mereka dari satu pertandingan ke pertandingan lainnya adalah bagaimana caranya membawa bola secepat mungkin ke depan.

Hal tersebutlah yang membuat United acap kesulitan ketika menghadapi lawan yang bermain rapat, disiplin, dan biasanya tampil dengan low-block. Cara bermain United yang direct memang lebih cocok dengan transisi cepat ke lini depan. Namun, begitu membentur tembok, dan mereka diharuskan melakukan sirkulasi bola untuk membuka ruang, biasanya mereka kerepotan.

Sebetulnya, ada sejumlah momen di mana United masih mampu membongkar pertahanan lawan sembari tetap mempertahankan gaya direct mereka. Laga melawan Leeds, Newcastle, dan sejumlah momen pada laga melawan Atalanta, memperlihatkan bahwa mereka bisa melakukannya dengan permutasi posisi pemain yang baik. Namun, entah mengapa mereka tak bisa melakukannya pada setiap laga.

Salah satu dugaan yang bisa menjawab keheranan itu adalah para pemain United terlalu banyak mendapatkan kebebasan untuk berkreasi dan mengambil risiko. Alhasil, ketika performa pemain drop, skema pun ikut drop.

Padahal, untuk bisa melakukan sesuatu secara konsisten dan terus-menerus dibutuhkan sebuah kedisiplinan. Permutasi posisi pemain memang bagian dari kreativitas, tetapi bukannya tidak bisa dilakukan secara terproses lewat penerapan instruksi yang lebih disiplin kepada pemain.

United memiliki salah satu gelandang terbaik Premier League pada diri Bruno Fernandes. Situs Premier League menunjukkan bahwa Bruno adalah salah satu big chances creator terbanyak musim ini. Ia sudah mengkreasikan 5 kesempatan emas—hanya kalah dari Mohamed Salah yang sudah mengkreasikan 6 kans emas.

Understat, di sisi lain, juga mencatat bahwa Bruno rata-rata mengkreasikan 3,76 umpan kunci per 90 menit. Jumlah yang cukup banyak. Catatan apik ini tak lepas dari gaya main Bruno yang senang betul mencari ruang dan melepaskan operan berisiko.

Big chances creator Premier League 2021/22. Foto: Premier League.

Gaya main tersebut, diakui Bruno, memang membuat kansnya untuk kehilangan bola menjadi lebih besar. Namun, ia juga paham bahwa dengan keberanian mengambil risiko, kesempatan untuk mendapatkan sesuatu yang lebih besar juga semakin terbuka.

United sesungguhnya bisa mengkomplementasikan gaya bermain Bruno tersebut dengan permutasi posisi pemain yang lebih terproses tadi. Sebab, dengan begitu ada kemungkinan Bruno lebih mudah menemukan ruang atau pemain yang bisa ia berikan operan.

Weekend ini, United akan berhadapan dengan Liverpool. Sekalipun bermain dengan pola permainan direct, The Reds memiliki lini tengah yang lebih disiplin dan cukup jarang mengambil risiko. Oleh karena itu, menarik untuk melihat bagaimana United dan Solskjaer menghadapi ini.