Yang Hilang dari Juventus

Foto: Instagram @wojciech.szczesny1

Kiper lebih dari seorang pemain yang berdiri menghalau bola di depan gawang. Setiap kiper, termasuk Wojciech Szczesny, harus mampu menjadi pengunci kemenangan dan penangkal kekalahan.

Ketika memandu sesi wawancara untuk The Guardian, James Horncastle meminta Gianluigi Buffon untuk memberi saran kepada siapa pun yang bercita-cita menjadi penjaga gawang.

“Ganti cita-citamu. Jangan mau jadi penjaga gawang,” demikian Buffon menjawab pertanyaan tersebut.

Jawaban itu bukan sekadar punchline untuk mengundang gelak tawa pembaca. Sebagian besar pencinta sepak bola Italia tahu bahwa Buffon seperti Francesco Totti dan Alessandro Del Piero yang mahir mencairkan suasana dengan kalimat-kalimat nyeleneh. Namun, jawaban tadi bukan hanya untuk lucu-lucuan. Jawaban tersebut lahir dari pengalaman Buffon sebagai penjaga gawang.

Buffon tadinya tak punya keinginan untuk berlaga sebagai kiper. Keinginannya untuk menjadi penjaga gawang muncul saat menyaksikan laga Kamerun melawan Argentina pada 1990. Kiper Kamerun, Thomas N’kono, yang meninju bola untuk menghalau tembakan mencuri perhatiannya. Lagi pula, Buffon mengaku bahwa sebagai pesepak bola ia bosan berlari. Bagi Buffon, keputusan menjadi seorang penjaga gawang adalah gabungan dari kebosanan dan kebanggaan. 

Berlaga sebagai seorang penjaga gawang sama dengan menghidupi ironi. Meski berada di jauh garis riuh permainan ketika gol kemenangan dicetak ke gawang lawan, ia adalah orang yang teramat dekat dengan ancaman. Ia adalah paling pintu terakhir; penentu kekalahan dan kemenangan. Kiper lebih dari sekadar penjaga gawang. Ia adalah penjaga kemenangan, ia adalah penangkal kekalahan.


Sekitar 2005, seorang seniman Meksiko bernama Martina Castillo Deball mewawancarai Buffon. Dalam sesi tersebut ia menanyakan apakah Buffon tahu bahwa namanya dapat diartikan sebagai badut atau joker. Buffon mengaku bahwa ia tahu betul tentang penamaan itu. Ia bahkan turun arena dengan satu pengertian penuh bahwa badut atau joker bukan melulu tentang tingkah laku konyol dan bodoh. 

Tugas badut atau joker pada dasarnya adalah menghibur, membuat pesta, sirkus, atau apa pun menjadi lebih semarak. Itulah sebabnya Buffon memantik gelak tawa dan semarak laga sepak bola dengan caranya: Menjaga gawang timnya dengan sebaik-baiknya, dengan sehebat-hebatnya. Dengan cara itulah ia memastikan bahwa sepak bola adalah gabungan antara olahraga dan sirkus, sportivitas dan emosi, akal sehat dan romantisme.

Sebagian orang menonton Buffon bersepak bola sejak ia mengenakan seragam Parma, sebagian lagi ketika ia sudah berkostum Juventus. Namun, apa pun jersinya, Buffon bermain dengan satu watak yang sama. Ia tampil setangguh-tangguhnya di depan gawang, meneriaki kawan-kawannya yang mulai keteteran saat lawan memberondong serangan, menyuntikkan energi dari ujung lapangan kepada kawan-kawannya yang sedang menghimpun serangan dari ujung lapangan yang lain. 

Bila salah satu dari rekan-rekannya itu berhasil mencetak gol, Buffon akan melompat tinggi, mengepalkan tinju, dan berteriak seolah-olah dialah yang membobol gawang lawan. Dengan caranya itu ia memangkas jarak antara pemain lain dengan penjaga gawang. Dengan energinya tersebut ia mengenyahkan segala cerita muram tentang penjaga gawang yang berkawan karib dengan kesunyian.

Buffon seperti itulah yang menjaga gawang Juventus selama 19 tahun. Dalam periode panjang itu, suporter Juventus mendapatkan rasa aman. Mereka tahu persis bahwa di ujung lapangan ada superman yang siap mengerahkan segala daya untuk menjauhkan kekalahan dari hadapan mereka.

Bagi para suporter Juventus, Buffon lebih dari sekadar penjaga gawang. Ia bukan hanya pemain yang membantu mengantarkan Juventus pada kejayaan, ia bukan cuma pemain yang mengawal Juventus merengkuh kemenangan demi kemenangan, gelar juara demi gelar juara. Buffon dianggap sebagai superman karena mampu mendekatkan kemungkinan pada kepastian dengan mempersembahkan 22 gelar juara selama membela Juventus. 

Orang akan selalu mengingat pekik garangnya saat mengantar Juventus menjuarai Serie B 2006/07. Dengan gelar juara itulah Juventus kembali menerima kehormatan mereka untuk berlaga di Serie A. Semua catatan itu tentu saja dapat ditambah dengan berbagai rekor yang diciptakan oleh Buffon.


Maka ketika Buffon pergi, saat tongkat estafet penjaga gawang Juventus diserahkan kepada Wojciech Szczęsny, suporter berharap rasa aman itu tetap ada. Permintaan itu rasanya tidak berlebihan. Toh, sebelum Buffon benar-benar pergi dari Juventus, Szczesny sudah ada di Turin. Penjaga gawang asal Polandia itu tiba di Juventus pada 2017. 

Dalam sesi konferensi pers pertamanya sebagai pemain Juventus ia menegaskan satu kalimat yang sepertinya cukup ampuh untuk membuat suporter Juventus merasa aman. Salah satu dari wartawan yang hadir dalam konferensi pers tersebut bertanya apa yang akan dilakukan Szczesny untuk mengatasi kelemahannya sebagai penjaga gawang. Lantas dengan kepercayaan diri yang entah dari mana, sambil tersenyum simpul Szczesny berkata, "Sekarang saya pemain Juventus. Saya tidak punya kelemahan."

Sekitar empat tahun setelah konferensi pers itu, Szczesny berkalang sumpah serapah dari suporter sendiri. Berlaga di pekan perdana Serie A, Szczesny sudah berulah. Unggul 2-0 atas Udinese hingga turun minum, Juventus gigit jari karena laga berakhir dengan kedudukan imbang 2-2. Kedua gol Udinese itu dicetak dengan memanfaatkan blunder Szczesny.

Gol pertama berasal dari sepakan penalti yang bermula dari tembakan Arslan yang ditepis Szczesny. Menyadari bahwa kesempatannya belum pupus, Arslan berusaha merebut bola rebound. Apes, Szczesny yang berupaya menangkap bola justru menyentuh kaki Arslan.

Roberto Pereyra yang jadi algojo tidak menyia-nyiakan peluang tersebut. Tendangan Pereyra ke sisi kiri berhasil mengecoh Szczesny. Blunder kembali dilakukan Szczesny menjelang laga usai. Menerima back pass Alex Sandro, Szczesny memainkan bola, bukannya melakukan sapuan bersih. Bola yang dimainkan Szczesny itu malah dihalau Stefano Okaka, lalu direbut Deulofeu, dan dikonversi menjadi gol penyeimbang.

Tentu saja caci-maki bertambah hebat karena Szczesny kembali melakukan blunder di laga ketiga saat Juventus kalah 1-2 dari Napoli. Salah satu penyebab kekalahan itu adalah gol Mateo Politano. Seharusnya gol tersebut bisa dicegah jika Szczesny menangkap bola sepakan Lorenzo Insigne. Toh, bola tersebut ada dalam jangkauannya. Alih-alih menangkap, Szczesny justru menepis bola yang sialnya bisa langsung disambar oleh Politano. Kekalahan tersebut terasa kian pahit karena pada pertandingan sebelumnya, Juventus kalah 0-1 dari Empoli, di Turin pula.

Penurunan performa Szczesny sebenarnya sudah terlihat sejak musim lalu. Sebelum sampai ke sana, ada baiknya kita mengingat seperti apa penampilannya pada musim 2018/19 yang merupakan periode pertamanya sebagai kiper nomor satu Juventus. Ketika itu, Szczesny berhasil mencegah 5,3 gol per pertandingan Serie A. Torehan itu menjadikannya sebagai kiper dengan penyelamatan keempat terbaik di kompetisi liga. Pada 2019/20 jumlahnya menurun menjadi 4,3 per pertandingan. Catatan tersebut belum mengkhawatirkan karena pada kenyataannya Szczesny menjadi kiper dengan penyelamatan terbanyak di Serie A.

Mengutip statistik Statsbomb dan The Analyst, performa Szczesny mulai membikin kening berkerut pada musim 2020/21. Jumlah kebobolannya di Serie A mencapai 26, padahal nilai xGOT (rerata tendangan ke arah gawang yang menjadi gol) adalah 24,4. Sebenarnya xGOT dipakai untuk mengukur seberapa efektif tendangan mengarah gawang seorang pemain. Namun, statistik tersebut juga bisa mengukur performa kiper. Bagaimanapun, menggagalkan tendangan mengarah gawang menjadi gol adalah tugas utama seorang kiper. 

Dari nilai xGOT dan kebobolan tadi dapat ditarik kesimpulan bahwa gawang Szczesny kemasukan gol 1,6 kali lebih banyak daripada rata-rata seluruh kiper di kompetisi tersebut. Lantas, pada musim ini persentase penyelamatannya menurun dari 70,5% menjadi 66,7%.

Rangkaian statistik itu memberi sinyal bahwa pertahanan, terutama gawang, Juventus sedang dalam bahaya. Benar bahwa kiper tidak bisa menjadi satu-satunya orang yang dituding jika bicara tentang kemasukan gol. Bagaimanapun, di dalamnya ada pengaruh taktik pelatih dan struktur pertahanan tim. Namun, kondisi tersebut bakal menjadi tanda bahaya jika gol lahir dari blunder seorang kiper.

***

Seorang kawan pernah berkata bahwa kiper adalah posisi yang rentan, rapuh, dan ringkih. Kiper bergantung pada bek. Kalau gawangnya kebobolan, kiper yang disalahkan. Kalau timnya menang, yang dipuji adalah yang mencetak gol. Dari kondisi itulah muncul narasi tentang kesoliteran seorang kiper.

Namun, zaman berubah, sepak bola bertumbuh. Kiper tidak lagi melulu tentang kisah melankolis. Lihatlah bagaimana Alisson Becker mengangkat derajat seorang penjaga gawang lewat penampilan briliannya. 

Lihat pula seperti apa Gianluigi Donnarumma membuat para petinggi Paris Saint-Germain rela merogoh kocek sedalam lesung pipi Kim Seon-ho mungkin untuk mendapatkan tanda tangannya. Begitu pula dengan performa heroik yang ditunjukkan oleh Edouard Mendy dan Mike Maignan, serta legenda yang dituliskan oleh Buffon sebagai penjaga gawang.

Penjaga gawang di era modern memiliki peluang besar untuk melepaskan diri dari narasi semuram yang diutarakan Albert Camus. Bahwa sejauh apa pun mereka dari perayaan gol, kemenangan tak akan muncul tanpa penampilan mereka di depan gawang.

Puja-puji kepada kiper tidak datang dari langit. Itu adalah buah yang diupayakan dan diusahakan dengan sekuat-kuatnya. Penghormatan kepada kiper tidak lahir dari selucu apa celoteh mereka di konferensi pers dan semeriah apa kostum yang dipakainya. 

Penghormatan kepada kiper lahir dari aksi penyelamatan mereka karena bagi mereka yang duduk dan berdiri di tribune-tribune stadion, penyelamatan itu yang mampu memberikan rasa aman hingga peluit panjang dibunyikan. Barangkali, rasa aman di mulut gawang inilah yang sedang beranjak pergi dari Juventus.