Bamford Hidup dalam Pengecualian

Foto: Instagram @patrick_bamford

Kata siapa sepak bola hanya untuk anak miskin yang ingin mengubah nasib? Kata siapa juga tugas penyerang hanya mencetak gol?

Sepak bola seringkali dianggap sebagai pintu ajaib untuk mengubah takdir. Sudah banyak contoh seorang pemain dari keluarga middle dan low income class menjajaki sepak bola demi kehidupan yang lebih layak.

Patrick Bamford mungkin jadi pengecualian dari kenyataan di atas. Keluarganya termasuk golongan terpandang di East Midlands. Ayah Bamford, Russell, bahkan memiliki hubungan saudara dengan pengusaha alat besar terkaya di Inggris.

Berbekal kedaulatan finansial, Russell tak pernah mengekang segala keinginan Bamford dan bahkan selalu memberikan dukungan maksimal. Tak heran, saat Bamford berusia 12 tahun, ia sudah mahir biola dan piano serta jago berbicara bahasa Prancis, Jerman, dan Spanyol.

Di luar berbagai keahliannya, Bamford memang jatuh hati pada sepak bola. Saat berusia delapan tahun, ia dinilai memiliki kemampuan sepak bola di atas anak-anak seusianya. Dan, alasan tersebutlah yang membuatnya diterima akademi Nottingham Forest.

Bergabung Forest seakan membuka mata Bamford untuk hidup dari sepak bola. Kenyataannya tidak demikian. Sebagai pemain yang memiliki latar belakang dari keluarga kaya, ia dianggap sebagai sosok berbeda.

Salah satu privilege yang dimiliki oleh Bamford saat berada di akademi Forest adalah Russell. Entah apa pekerjaannya, Russell punya banyak waktu untuk mengantar dan menemani Bamford berlatih di akademi.

Russell selalu memberikan masukan terkait penampilan Bamford saat melakoni perjalanan pulang. Ia tidak jarang melempar kritik pedas dan menunjukkan kekecewaan apabila anaknya tampil buruk dan mengecewakan.

Masalahnya, tidak semua anak mendapatkan keistimewaan yang sama. Jangankan diantar dan dijemput orang tua, banyak anak yang justru memulai sepak bola tanpa dukungan penuh orang tua. Dari peristiwa tersebut, sindiran untuk Bamford lahir.

“Ia menerima sindiran tersebut setiap saat. Tak terhitung berapa kali saya mengomel kepadanya karena hal itu membuatnya malas berlatih,” kata Russell. “Jika ia tidak mau mendengar itu, sudahlah, tidak usah lagi memimpikan sepak bola.”

Bamford butuh waktu sebentar untuk bangkit dari peristiwa tersebut. Di usia yang kian matang, ia tak peduli dengan latar belakang dan omongan orang. Bamford mengunci mulut orang-orang yang meledeknya dengan cara yang elegan: Bergabung ke Chelsea.

Foto: Twitter @Squawka.

Demi mendapatkan kesempatan bermain, Chelsea lantas meminjamkan Bamford ke MK Dons pada 2012/13 selama satu setengah musim. Pada putaran kedua 2013/14, ia kembali dipinjamkan meski kini ke Derby County.

Bamford mengoleksi 26 gol selama dua musim di masa peminjaman. Catatan tersebut membuatnya yakin bisa menembus tim utama Chelsea musim 2014/15. Ia semakin yakin saat Demba Ba dilepas dan Romelu Lukaku tinggal selangkah untuk pergi ke Everton.

Keyakinan tersebut ternyata hilang dalam sekejap. Jose Mourinho yang menukangi Chelsea saat itu memutuskan untuk bereuni dengan Didier Drogba dan mempersilakannya bergabung Middlesbrough, yang menawarinya kesempatan lewat status pinjaman.

Kegagalan bermain untuk Chelsea pada musim tersebut membawa Bamford ke kegagalan-kegagalan lain. Pada musim 2016/17, ia memutuskan bergabung Middlesbrough secara permanen.

***

Bamford pernah merasakan tangan dingin banyak pelatih, mulai dari Aitor Karanka, Sean Dyche, Alex Neil, Alan Pardew, dan Tony Pulis. Namun, menurut The Athletic, semua pelatih di atas tak ada yang memiliki hubungan baik dengan Bamford.

Pada 31 Juli 2018, Middlesbrough resmi melepas Bamford ke Leeds United. Di Leeds, Bamford akan bersua Marcelo Bielsa, yang datang 16 hari sebelumnya dan tak punya pengalaman melatih di Inggris sebelumnya.

Tak butuh waktu lama untuk melihat Bamford dan Bielsa cocok. Bahkan, Russell yang tahu bagaimana karakter anaknya berubah sejak dipegang Bielsa, berani menjamin itu. “Hubungan ini yang membuat penampilannya membaik,” kata Russell.

Ada banyak contoh soal bagaimana Bielsa amat bergantung pada Bamford. Salah satunya adalah dibuangnya Kemar Roofe pada musim panas 2019. Padahal, selama musim 2018/19, Roofe memiliki jumlah gol yang lebih banyak daripada Bamford.

Phil Hay, jurnalis The Athletic, menelusuri bagaimana kebutuhan Bielsa dalam permainan hanya dimiliki oleh Bamford seorang. Terutama soal pergerakan dan kemauan menjajaki setiap sudut lapangan. Nah, hal inilah, yang kata Hay, tidak mampu dilakukan oleh Roofe.

Bamford seringkali ditampilkan sebagai garis terluar pertahanan Leeds. Ia tidak hanya diinstruksikan untuk menutup jalur operan lawan, tapi juga selalu siap untuk melakukan pressing agar lawan melakukan kesalahan.

Peran tersebut pada akhirnya membuat Bamford memiliki jumlah yang tinggi dalam aspek defensif. Per catatan Squawka, Bamford rata-rata melakukan 0,6 tekel dan 0,3 intersep per pertandingan di Premier League musim ini.

Ketika menyerang, Bamford tak jarang turun hingga pertahanan sendiri dan menahan bola. Tujuannya, agar rekan setimnya punya waktu untuk bergerak dan mencari ruang di daerah lawan. Ia lantas ditugaskan untuk memberikan bola kepada Jack Harrison atau Mateusz Klich, yang bisa saja menjadi kreator atau penyelesai.

Hingga pekan ke-22, Bamford membukukan rata-rata 3,4 percobaan ke gawang lawan. Angka ini membuatnya sebagai pemain dengan rata-rata percobaan terbanyak ketiga di bawah Harry Kane dan Kevin De Bruyne.

Besarnya angka tersebut tak sebanding dengan koleksi golnya. Sejauh ini, ia hanya mengoleksi 11 gol, 7 di antaranya dicetak melalui kaki kiri. Conversion ratio-nya juga termasuk buruk, yakni hanya 19,6%.

Namun, sekali lagi, Bielsa tak butuh penyerang yang hanya mampu mencetak gol dan Bamford mampu mengemban tugas yang diberikan. Pada akhirnya, ia mampu membuktikan diri dan mengubah caci maki menjadi peran berarti.