Bisakah Egy Maulana Vikri Memberikan Perbedaan?

Egy (kanan) ketika masuk sebagai pemain pengganti pada leg I melawan Thailand. Foto: Instagram @egymaulanavikri.

Untuk menjawab apakah Egy Maulana Vikri bisa menjadi pembeda atau tidak, kita mesti membedah masalah Timnas Indonesia pada leg I terlebih dahulu.

Egy Maulana Vikri datang jauh-jauh dari Serbia. Tujuannya satu: Memperkuat Timnas Indonesia di Piala AFF 2020, lalu mempersembahkan gelar juara. Peluangnya memang terbuka amat lebar lantaran Timnas sudah menembus semifinal begitu Egy tiba di Singapura.

Bagi skuat Garuda, hadirnya Egy adalah tambahan kekuatan yang tak sedikit. Semua tahu bagaimana jejaknya di Timnas kelompok umur. Egy juga sedang dalam bentuk terbaik. Ia gemilang dalam beberapa laga terakhirnya untuk FK Senica lewat torehan dua gol dan empat assist di seluruh kompetisi.

Namun, hingga kini tak sekalipun Egy tampil sejak menit awal, termasuk ketika Timnas takluk 0–4 dari Thailand pada final leg pertama. Lantas jelang leg kedua, sebagian dari kita berharap agar Egy bisa bermain sebagai starter. Pertanyaan besarnya: Bisakah ia memberi perbedaan?

Untuk menjawabnya, kita mesti tahu terlebih dahulu apa yang sebetulnya jadi kekurangan Timnas Indonesia.

Pada leg pertama, masalah Timnas bukan hanya transisi dari menyerang ke bertahan dan jarak antarlini yang buruk, melainkan juga aliran bola ke lini depan yang kerap terhambat. Padahal, peluang untuk membongkar lini belakang Thailand cukup terbuka mengingat garis pertahanan tinggi mereka.

Peluang itu makin besar jika kita melihat susunan pemain di lini depan. Semuanya pemain bertipe cepat sekaligus pandai membuka ruang: Mulai dari Witan Sulaeman hingga Irfan Jaya. Bahkan Dedik Setiawan, penyerang tengah Timnas pada laga itu, juga punya kecepatan yang cukup oke.

Satu peluang yang Timnas peroleh berasal dari skema ini. Berawal dari umpan panjang dari lini belakang, Witan yang sebetulnya beroperasi sebagai sayap kanan, bergerak cepat di sisi kiri. Ia lantas melepaskan umpan ke arah Alfeandra Dewangga yang sayangnya gagal dimaksimalkan.

Apa boleh buat? Pressing intens yang Thailand lakukan membuat hal tersebut amat jarang terjadi. Sejak Timnas menguasai bola di pertahanan sendiri, Thailand terus-menerus menekan sekaligus mempersempit jarak. Barangkali ini yang jadi penyebab tingginya garis pertahanan mereka.

Bahwa Thailand mampu menjalankannya dengan sempurna, erat kaitannya dengan mobilitas dan etos kerja gelandang dan penyerang mereka. Teerasil Dangda, misalnya, terlihat begitu fasih menutup arah operan Timnas. Bahkan Chanathip Songkrasin seolah tak pernah berhenti berlari.

Situasi jadi kian rumit karena, di sisi lain, Timnas tak memiliki para pemain yang lihai melepaskan diri dari pressing lawan di lini belakang. Fachrudin Aryanto, Rizky Ridho, hingga Edo Febriansyah tampak kelabakan begitu berhadapan dengan tekanan ketat Thailand.

Itulah kenapa, umpan panjang yang dilepaskan lebih mirip upaya menjauhkan bola dari pertahanan ketimbang merancang serangan. Hanya beberapa yang berhasil menjangkau Witan dan kolega. Sisanya kandas di tengah jalan. Bahkan gol pertama Thailand terjadi karena situasi ini.

Sudahlah serangan gagal, ditambah kebobolan juga. Lengkap.

Dalam kondisi sulit seperti itu, mestinya para gelandang Timnas bisa membantu melepaskan diri dari tekanan Thailand. Lagi pula, memang merekalah yang seharusnya bertugas menjadi solusi untuk menghubungkan lini belakang dengan lini depan.

Yang jadi masalah, Rachmat Irianto dan Alfeandra Dewangga yang malam itu bertugas sebagai double pivot bukanlah pemain yang lihai melepaskan diri dari pressing. Mereka lebih pas disebut sebagai pemain bertipikal petarung yang berfungsi untuk memutus serangan.

Well, Dewangga sebetulnya tidak benar-benar identik seperti itu. Meski jiwa petarungnya lebih kentara, ia juga terbilang piawai melakukan build up dari belakang. Laga melawan Thailand sendiri ibarat pengecualian dari performa apiknya sepanjang Piala AFF edisi kali ini.

Barangkali minimnya pengalaman dalam laga-laga krusial menjadi penyebab performa buruknya kala itu, sebagaimana sebagian besar pemain Timnas lainnya. Terlebih, Dewangga tampak kelelahan usai tampil hampir 120 menit dalam laga intens melawan Singapura.

Karena hal buruk mesti diubah, pelatih Shin Tae-yong mesti memikirkan solusi terbaik atas kondisi ini. Jika masih berencana mengandalkan skema 4–2–3–1, ia punya beberapa opsi yang bisa dicoba. Salah satunya menggeser Ricky Kambuaya untuk menjadi salah satu dari dua pivot.

Perubahan ini bisa berdampak positif karena Kambuaya memiliki kemampuan bertahan dan menyerang yang sama baiknya. Dengan begini, memberinya peran yang lebih defensif bukan masalah. Lagi pula, posisi Kambuaya pada awal kariernya memang sebagai gelandang bertahan.

Ia juga bisa menjadi solusi untuk melepaskan diri dari tekanan lawan, masalah utama Timnas saat ini. Simak saja leg pertama saat ia berulang kali melepaskan diri dari dua hingga tiga kawalan pemain Thailand. Beberapa peluang Timnas bahkan berawal dari aksinya.

Untuk nama baru seperti dirinya, Kambuaya memang memiliki ketenangan yang luar biasa. Ini jelas memberi rasa aman, terlebih ia juga memiliki kemampuan build up yang tak kalah jempolan.

Bagi Timnas sendiri, susunan itu bukan hal asing. Kambuaya pernah memerankannya saat menghadapi Malaysia pada babak grup. Hasilnya positif karena Timnas berhasil menang dengan skor 4–1. Tentu, Thailand bukan Malaysia, tetapi setidaknya akan ada perubahan yang dihasilkan.

Kalau sudah begini, yang mesti dipikirkan berikutnya adalah lini serang. Bergesernya Kambuaya bakal membuat pos nomor sepuluh kosong. Nah, di sinilah peran Egy. Kemampuan dribel, kecepatan, serta kreativitasnya bisa menjadi senjata untuk membongkar garis pertahanan tinggi Thailand.

Jangan lupa pula bahwa Egy punya mobilitas yang tinggi. Saat berada di lapangan, ia bakal bergerak ke sana-sini, entah sekadar membuka ruang ataupun memancing pergerakan lawan. Egy juga bisa bertukar peran dengan Witan Sulaeman di sisi kanan sehingga lini depan Timnas lebih bervariasi.

Jika serangan bervariasi, akan ada lebih banyak opsi untuk mencetak gol.

Shin sebetulnya bisa saja menurunkan Evan Dimas, alih-alih Egy. Namun, Evan tak se-mobile Egy. Memainkannya menghadapi tim seperti Thailand juga ibarat perjudian mengingat kemampuan pressing Evan yang tidak terlalu baik. Lihat kembali pergerakannya saat masuk sebagai pengganti di leg I.

Satu hal yang mungkin membuat skema ini tidak terjadi adalah kendala stamina. Egy baru saja menjalani musim panjang bersama FK Senica. Perjalanannya menuju Singapura pun tak kalah panjang. Ia juga baru bergabung dengan Timnas saat Piala AFF sudah mendekati akhir.

Bagaimanapun, Shin Tae-yong-lah yang menentukan. Sudah barang tentu ia berpikir keras mencari solusi terbaik agar setidaknya Timnas Indonesia bisa tampil lebih baik ketimbang leg pertama. Barangkali solusi itu adalah Egy, bisa pula nama atau hal lain.