Buku Catatan Brendan Rodgers

Foto: @lcfc

Bagi Rodgers, prestasi tidak hanya soal pemain mahal atau taktik jitu, tetapi juga komitmen, rasa memiliki, tanggung jawab, dan pribadi yang unggul.

Jika cara memperlakukan pemain sebagai satu-satunya variabel pengukur Manager of the Season, Brendan Rodgers mungkin sudah mendapatkannya sejak bertahun-tahun yang lalu.

Mulut besar adalah salah satu mukjizat yang diberikan oleh Tuhan kepada Mario Balotelli. Hampir semua ucapan yang keluar dari mulutnya, pasti akan berakhir dengan panasnya telinga lawan bicara. Rodgers salah satunya.

“Karier saya gagal di Liverpool karena tak cocok dengannya (Rodgers),” kata Balotelli suatu hari.

Mungkin jika yang mendengarkan ocehan Balotelli adalah Jose Mourinho atau Antonio Conte, ceritanya akan seperti yang Anda bayangkan. Namun, ini adalah Rodgers. Ceritanya jadi berbeda.

“Apa yang dikatakan oleh Mario memang benar. Saya memang orang yang buruk. Saya gagal membuatnya mencapai talenta terbaiknya,” jawab Rodgers. “Jika hubungan kami bisa diulang, sekarang, dia mungkin akan menjadi salah satu yang terbaik di dunia.”

***

Salah satu fragmen yang paling diingat dari karier Steven Gerrard adalah pertandingan Liverpool melawan Chelsea, 27 April 2014. Ia terpeleset dan membuahkan gol untuk Chelsea melalui kaki Demba Ba. Chelsea menang 2-0 dan peluang juara Liverpool mengecil.

Gerrard lantas disalahkan semua orang. Satu orang yang melindunginya dari kritik adalah Rodgers. Menurutnya, Gerrard tak pantas dijadikan kambing hitam karena kecerobohan adalah faktor non-teknis yang semua orang tak tahu kapan menimpanya.

Rodgers datang ke Liverpool dua tahun sebelumnya. Ia ditunjuk usai membawa Swansea City tampil apik di Premier League. Dengan membawa catatan sebanyak 180 halaman, ia menjelaskan visi dan misi yang ingin dicapainya bersama The Reds.

Musim pertama Rodgers di Anfield sebenarnya biasa-biasa saja. Inkonsistensi permainan masih sering terjadi. Mungkin satu-satunya perbaikan yang terlihat adalah bagaimana ia memperbaiki suasana ruang ganti.

Di tangannya, setiap individu di dalam tim berubah menjadi lebih baik. Menurut Gerrard, Rodgers mempunyai cara berbeda-beda dalam membentuk karakter pemain dan hal itu membuat mereka mau mengeluarkan seluruh kemampuannya.

Terpelesetnya Gerrard mungkin jadi satu-satunya noda pada musim keduanya. Tanpa adegan itu, Liverpool mungkin sudah mendapatkan gelar Premier League pertamanya. Namun, adegan tersebut terjadi dan orang tetap melihat Rodgers sebagai manajer tanpa nama besar.

Pemilik Liverpool, Fenway Sports Group (FSG), adalah salah satunya. Mereka memang menginginkan dan memiliki rencana dengan Rodgers, tapi sejak awal kedatangan, ia tak pernah sekali pun mendapatkan keleluasaan.

Setiap keputusan yang dibuat oleh Rodgers hampir selalu berakhir dengan dering telepon petinggi FSG, Mike Gordon. Pernah suatu ketika, ia ditelepon karena tak kunjung memainkan Emre Can. Suatu hari berikutnya, ia dimaki karena ketahuan berinovasi dengan formasi baru.

Hal serupa terjadi saat Balotelli datang. Rodgers tak pernah menginginkannya, tapi FSG ngotot mendatangkannya karena banderol yang dipasang AC Milan tak terlalu mahal. Rodgers tak bisa apa-apa saat bos besar sudah berbicara.

Hasil 1-1 saat Liverpool melawan Sion pada 1 Oktober 2015 jadi penentuan bagi Rodgers. Usai laga, ia ditelepon Gordon untuk bertemu petinggi klub, Ian Ayre, keesokan harinya. Keputusan pun diambil manajemen hari itu, tapi Rodgers belum tahu.

Tiga hari berikutnya, keputusan soal Rodgers jatuh. Keputusan tersebut datang bersamaan skor 1-1 saat menghadapi Everton. Ia dipecat oleh Ayre satu jam setelah pulang dari Anfield agar tidak ada pemain yang tahu.

Kepergian Rodgers tak berarti apa-apa bagi manajemen. Namun, jawabannya berbeda apabila pemain yang berbicara. Gerrard salah satunya. “Dia mengatur setiap pemain secara berbeda. Dia tahu kami memiliki karakter yang berbeda di ruang ganti,” kata Gerrard.

“Dia selalu berhasil membuat pemain masuk ke lapangan dengan kepercayaan diri yang tinggi dan keyakinan untuk menang. Kemampuan taktikal dan kedewasaannya membuat saya belajar banyak darinya,” tambahnya.

***

Empat tahun setelah pergi dari Premier League, Rodgers akhirnya kembali. Bukan ke Liverpool, tapi ke Leicester City.

Rodgers datang saat Leicester tengah jadi pesakitan. Mulai dari efek dari kepergian Riyad Mahrez, strategi transfer yang berantakan, dan tak adanya mental juara jadi beban yang harus ditanggung olehnya.

Ia datang pertama kali ke Leicester dengan catatan serupa yang dibawa saat datang ke Liverpool dulu. Belakangan, catatan diketahui itu berisi empat landasan yang selalu dipegang olehnya, yakni komitmen, rasa memiliki, tanggung jawab, dan pribadi yang unggul.

Suatu hari, ia membuka presentasi kepada staf kepelatihan dan pemain dengan topik landasan yang ia pegang. Dalam prestasinya, ia menekankan bahwa pemain bagus dan taktik jitu akan berhasil apabila dibarengi dengan empat elemen di atas.  

Rodgers menjelaskan empat hal ini sebagai poin yang dipenuhi oleh semua elemen yang ada di dalam sebuah klub sepak bola. Tak peduli staf kepelatihan atau pemain, kitman. Semua harus memberikan dedikasi yang sama.


Rodgers melakukan apa yang dilakukan oleh pendahulunya, Claude Puel atau bahkan Claudio Ranieri di atas lapangan. Pola 4-1-4-1 atau 4-2-3-1 digunakan secara bergantian. Pun dengan Jamie Vardy yang masih menjadi andalan satu-satunya di lini depan.

Secara gaya permainan, ia juga mengikuti gaya mereka: Menekankan pada pentingnya pertahanan yang kokoh dan garis pertahanan rendah. Saat menyerang, mereka memilih untuk mengalirkan bola dengan banyak umpan jauh ke pertahanan lawan.

Namun, secara hasil dan permainan, Leicester-nya Rodgers dan Puel--bahkan Ranieri--tampak seperti tim yang berbeda. Di bawah Rodgers, Leicester memiliki barisan pertahanan yang lebih kokoh. Begitu pula gaya permainan yang lebih ngotot.

Menurut Vardy, dua pendahulunya melatih Leicester selayaknya pelari yang berkompetisi 100 meter. “Rodgers berbeda. Ia meminta kami berlatih seperti kami berlatih seperti tim yang berlatih maraton,” kata Vardy.

Hal serupa juga dijelaskan oleh James Maddison. “Rodgers selalu meminta kami bermain dengan intensitas tinggi. Tak peduli saat kami sudah unggul atau pada akhir pertandingan. Latihan itu mengubah kami menjadi tim yang lebih bertenaga,” terang Maddison.

Latihan keras ini membuahkan hasil. Badai cedera yang dialami oleh banyak tim akibat padatnya jadwal seakan tak membuat Leicester terpengaruh. Mereka bahkan mampu menunjukkan bahwa ada banyak pemain muda yang siap untuk diorbitkan.

Di luar permainan, Rodgers juga memperbaiki ruang ganti tim. Di awal kedatangannya, ia memilih untuk memperpanjang kontrak Wes Morgan dan Christian Fuchs, dua pemain yang membawa Leicester juara, tapi dilupakan di era Puel.

Adanya Morgan dan Fuchs tak hanya membuat mereka kembali bersemangat, tapi juga memacu pemain-pemain muda. Manfaat mereka di dalam tim pun dirasakan. Salah satunya oleh James Justin yang musim lalu diberi tugas untuk sering berbicara dengan Fuchs.

Perlahan, Leicester merasakan manfaat dari memberikan keleluasaan kepada Rodgers. Keberhasilan Leicester memuncaki klasemen sekarang seakan membuktikan bahwa ia tak hanya memikirkan apa yang terjadi saat ini, tetapi juga masa depan.