Dani Alves dan Sandal Jepit di Barcelona

Foto: Instagram @danialves

Jangan heran seandainya suatu saat nanti kita membaca kisah tentang Alves yang menggunakan sandal jepitnya untuk menempeleng pemain Barcelona yang berlaga tanpa gairah. Toh, untuk itulah Alves pulang ke Barcelona.

Dani Alves tidak berubah, ia tetap memakai sandal jepit ketika kembali ke Barcelona.

Foto saat Alves memamerkan jersi sebagai pertanda bahwa kini ia resmi menjadi pemain barcelona lagi beredar. Foto itu menyita perhatian karena memperlihatkan sandal jepit sebagai alas kaki Alves. tidak ada sepatu mewah, tidak ada sneakers yang membuatmu berharap bisa sekaya Elon Musk sehingga bisa membelinya tanpa berpikir apa pun. Alas kakinya terlalu sederhana, sesederhana yang ia gunakan saat pertama kali menjejak ke Barcelona.

Ketika sampai di lapangan Camp Nou, Alves bertelanjang kaki. Tanpa alas apa pun, kakinya dibiarkan menyentuh kembali rumput Barcelona. Bukan di atas rumput itu cerita sepak bola Alves bermula. Namun, rumput itulah yang menjadi tempatnya berpijak ketika ia bertumbuh, malih rupa menjadi pemain tangguh.

Bagi para profesional--khususnya--yang dituntut untuk selalu berpenampilan formal, sandal jepit adalah barang berharga.* Sepasang alas kaki ini ibarat harta karun yang disimpan baik-baik di tempat tersembunyi. Jika kalian adalah pekerja yang dituntut untuk berpakaian profesional, sesekali bisa melihat apa yang ada di kolong meja rekan kalian. Bukan tidak mungkin kalian akan menemukan sepasang sandal jepit butut di sana.

Umumnya, sandal jepit digunakan oleh mereka yang tidak betah berlama-lama memakai sepatu formal. Semahal apa pun sepatu, apalagi jika berhak tinggi, tentu kenyamanannya tidak akan pernah menang atas sandal jepit. Sepatu berhak tinggi memang akan membuat para penggunanya terlihat anggun. Namun, hei, kalian pikir itu nyaman?

Apa boleh buat, dunia profesional memaksamu untuk selalu berani menanggalkan kenyamanan. Demi menimbulkan citra yang baik sehingga membuat para calon kolega dan penyandang dana mengarahkan pandangan, tak sedikit pekerja kantoran yang rela bersakit-sakit dengan sepatu yang tak nyaman. Ketika segala urusan selesai, mereka akan segera mengganti sepatu dengan sandal jepit yang tersimpan rapi di kolong meja.

Tidak ideal, tetapi dibutuhkan, itulah hikayat sandal jepit di dunia profesional.

Jika bagi para profesional sandal jepit adalah manifestasi kejujuran akan ketidakbetahan terhadap formalitas yang melelahkan, dalam konteks sepak bola Barcelona, Alves yang kembali ke Camp Nou adalah sandal jepit itu sendiri.

Usianya 38 tahun. Mana ada pemain setua itu yang ideal untuk membela tim yang sedang dalam keadaan tidak baik-baik saja.

Gonjang-ganjing Barcelona belum berhenti. Segala carut-marut klub pada akhirnya bermuara pada buruknya penampilan di atas lapangan. Ronald Koeman dipecat, lalu Xavi diangkat sebagai nakhoda taktik. Di antara pusaran yang melelahkan itu, Alves tiba dengan senyum lebarnya.

Sejak kepergian Alves pada 2016, Barcelona menghabiskan 85 juta euro untuk mendatangkan para bek kanan. Sayangnya, tak ada satu pun yang bisa dikatakan sepadan dengan Alves.

Pemain asal Brasil ini menjejakkan kakinya pertama kali ke Barcelona pada 2008. Di Barcelona, Alves menjelma menjadi senjata mengerikan. Keberadaannya membuktikan bahwa urusan menyerang tidak hanya menjadi tugas para penyerang. 

Kualitas Alves sebagai bek kanan adalah kecepatan dan agresivitasnya. Ia gigih melakukan overlap, tetapi bisa dengan cepat kembali ke pertahanan. Hal ini menjadi salah satu senjata keberhasilan Barcelona ketika masih dibela Alves. 

Persoalan pertama jika bicara tentang Barcelona adalah skema serangan yang tertebak. Berkali-kali orang menyebut bahwa masalah ini disebabkan oleh ketergantungan menahun pada Jordi Alba dan Lionel Messi. 

Ketika Messi pergi, semuanya berantakan. Dalam kepelatihannya, Ronald Koeman berkeras untuk menjadi sektor bek sebagai hulu serangan. Sebenarnya tidak ada yang salah dengan ini. Namun, kondisi ini menimbulkan kekacauan ketika Barcelona mengabaikan lini tengah. 


Kekurangan orang di lini tengah membuat permainan melebar menjadi tanggung jawab para bek sayap. Skema ini dapat dibaca dengan mudah. Ketika para bek sayap sibuk membangun serangan dan terlambat kembali ke pertahanan, sistem hanya akan berubah menjadi mala.

Jika berkeras untuk tetap menggunakan model serangan demikian, termasuk dalam kepemimpinan Xavi, Barcelona membutuhkan pemain sayap agresif, tetapi dapat menggalang pertahanan dengan cepat. Melihat watak bermain Alves pada tahun-tahun sebelumnya, ia bisa menawarkan solusi ini.

Agresivitas dan kecepatan bisa dimanfaatkan Xavi dengan memberinya kebebasan untuk tak hanya menyisir flank, tetapi juga mengokupasi half-space. Kebebasan akan membuat ruang bermain Alves bertambah luas. Dengan begitu, posisi untuk melepas umpan pun jadi lebih bervariasi, tak melulu dari sisi tepi.

Barcelona adalah tim yang sangat mengandalkan possession. Menguasai ruang akan membuatmu menguasai pertandingan. Akan tetapi, menguasai ruang tidak sama dengan hanya menumpuk pemain.

Melepas aksi defensif hanya dengan mengandalkan naluri akan membuat pertahananmu tidak terkendali. Meletakkan pemain di lini tengah dalam posisi sejajar akan membuka ruang lebar yang dapat dimanfaatkan oleh lawan. 

Ketika lawan menguasai bola dalam situasi demikian, para penyerang Barcelona juga mengalami dilema. Apakah mereka harus bergerak ke tengah untuk menekan beberapa posisi, tetapi membiarkan bek sayap tidak terlindungi atau bermain tetap melebar dan menanggung konsekuensi masing-masing?

Situasi tambah mengenaskan karena dalam sejumlah laga, Barcelona gagal mengimbangi ruang yang ditinggalkan oleh bek tengah. Pada akhirnya, kita hanya bisa melihat sekeropos apa lini pertahanan Barcelona.

Pressing juga menjadi persoalan Barcelona yang sedang goyah. Hingga kini, belum ada lagi pelatih yang mampu menerapkan skema pressing efisien dan efektif. Kecenderungannya adalah Koeman meminta para pemain dari lini tengah untuk bekerja keras demi menekan perusuh dari tim lawan.

Dalam beberapa situasi, taktik itu berhasil, tetapi tak jarang juga menimbulkan masalah baru. Posisi terdepan para gelandang meninggalkan celah besar di antara lini yang sangat sering dimanfaatkan. Jika cara ini ingin dipakai, Barcelona harus memiliki pemain yang tak hanya cepat, tetapi juga tangguh untuk segera menutup area itu.

Alves, jika kemampuannya tidak memudar, bisa dipakai dalam situasi tersebut. Ia tahu persis bagaimana melepas tekel-tekel tepat guna untuk menghentikan laju pemain, termasuk penyerang, yang sedang membawa bola ke arah gawang.

Selain kebutuhan taktik, keberadaan Alves penting karena dianggap sanggup menularkan mental petarung kepada tim. Barcelona yang sekarang adalah Barcelona yang berbeda. Tim sedang dalam masa transisi, pun demikian dengan klub. Yang namanya masa transisi, tidak akan berjalan mulus.

Xavi jelas tidak bisa bersikap naif dengan menempatkan seluruh beban untuk memperbaiki tim ke pundak Alves. Berharap pada Alves untuk rencana jangka panjang jelas bukan perkara masuk akal. 

Seharusnya justru di pundak para pemain muda dan bintang yang didatangkanlah harapan Barcelona diletakkan. Buat apa menghabiskan uang sampai klub hampir bangkrut jika pada akhirnya pemain tua yang dipulangkan kembali?

Namun, serupa sandal jepit yang memberi kelegaan kepada para pekerja kantoran yang letih dengan formalitas, Alves bisa menyulut renjana Barcelona yang lelah dengan labirin carut-marut yang ujungnya entah di mana. Tidak ideal, tetapi barangkali itulah yang paling dibutuhkan Barcelona saat ini.

"Daniel [Alves] kecil selalu bekerja di ladang. Ia terbiasa membawa machete (seperti parang) di pundaknya," ujar Antonio Damiao Oliveira da Silva, tetangga Alves, kepada BBC. Jika Alves menggunakan parangnya untuk bekerja di ladang saat bocah, sebagai pesepak bola ia memakai 'parang' yang tersimpan dalam kakinya untuk menebas lawan-lawannya.

Alves mungkin tidak akan turun arena pada setiap pertandingan Barcelona. Barangkali ban kapten tidak akan pernah melingkar di lengannya ketika bermain. Namun, selama membutuhkan pemain yang tahu persis bagaimana rasanya bertungkus lumus membela Barcelona dan tetap tangguh menghadapi situasi tak mudah, Xavi bisa berharap pada Alves.

Tak ada satu pun dari kita yang perlu bertanya-tanya lagi jika nantinya kepemimpinan Alves akan lebih sering terlihat dari pinggir lapangan. Jangan terlampau takjub kalau kita disuguhkan dengan video yang memperlihatkan Alves memberi semangat kepada timnya dengan menggebu-gebu di ruang ganti. 

Jangan heran pula seandainya suatu saat nanti kita membaca kisah tentang Alves yang menggunakan sandal jepitnya untuk menempeleng pemain Barcelona yang berlaga tanpa gairah. Toh, untuk itulah Alves pulang ke Barcelona.

===

*Kamu juga bisa membaca hubungan antara pekerja kantoran dan sandal jepit dalam esai Seno Gumira Ajidarma yang berjudul 'Kepribadian Sandal Jepit' dan 'Dasi vs Sandal Jepit'.