Everything is A Copy of A Copy

Everything is a Copy of a Copy. (Desain: Arif Prawira Utama)

Tak ada yang orisinal dalam sepak bola. Taktik Guardiola, misalnya, sudah dipikirkan orang-orang Skotlandia dari abad ke-19. Transfer ilmu antargenerasi itu terjadi berkat keberadaan para football guru seperti Cruijff, Bielsa, dan Rangnick.

Ketika Chuck Palahniuk menuliskan frasa "everything is a copy of a copy of a copy" dalam opusnya yang bertitel Fight Club, dia tengah berbicara soal laknatnya insomnia. Duplikasi objek di sekitar menjadi gambaran bagaimana insomnia membuat otak terpenjara dalam ilusi dan realitas terasa jauh dari genggaman.

Namun, kata-kata Palahniuk itu juga mengandung banyak penafsiran. Salah satunya, misal, soal kapitalisme. Bagaimana kapitalisme membuat orisinalitas tak lagi berharga. Bagaimana kapitalisme membuat manusia menjadi tak ubahnya sekumpulan batu bata di tembok (another brick in the wall). Semua dibuat serupa agar mudah digembala.

Dalam konteks sepak bola, frasa Palahniuk tadi bisa pula diartikan berbeda. Mungkin lebih secara harafiah. Yakni, bagaimana apa yang ada di sepak bola saat ini sebetulnya merupakan duplikat dari duplikat dari duplikat dari apa yang sebelumnya sudah eksis.

Ambil contoh sepak bola Pep Guardiola. Sudah jadi rahasia umum bahwa konsep bermain Guardiola sangat dipengaruhi oleh pelatihnya di Barcelona dulu, Johan Cruijff. Cruijff pun mempelajari itu dari sosok Rinus Michels yang mengasuhnya di Ajax dan Tim Nasional Belanda. Namun, mungkin tak banyak yang mengetahui bahwa sepak bola macam ini sudah eksis sejak abad ke-19.

Dalam bukunya yang berjudul Inverting the Pyramid, Jonathan Wilson menceritakan bagaimana pertandingan sepak bola internasional pertama antara Inggris dan Skotlandia pada 1872 berjalan. Dalam laga yang berakhir imbang tanpa gol tersebut, Skotlandia sudah memainkan apa yang lebih dari satu abad kemudian dikenal sebagai tiki-taka.

Inggris melihat sepak bola sebagai 11 pertandingan satu lawan satu. Sementara, Skotlandia yang pemain-pemainnya bertubuh lebih kecil melihat sepak bola sebagai satu pertandingan 11 lawan 11. Skotlandia sudah bermain dengan mengandalkan umpan pendek, pergerakan tanpa bola, dan penempatan posisi. Hal ini sekilas bisa disaksikan rekonstruksinya dalam serial Netflix berjudul The English Game.

Poster pertandingan internasional pertama antara Inggris dan Skotlandia, 1872. (WIkimedia Commons)

Kendati begitu, gaya Skotlandia ini entah mengapa justru menjadi tidak populer. Baru pada 1910-an, seorang Inggris bernama Jimmy Hogan memopulerkannya kembali di Eropa daratan. Hogan ketika itu banyak menghabiskan waktu di negara-negara seperti Belanda, Austria, serta Hongaria.

Dengan gaya Skotlandia itu, Hogan jadi sosok pembaharu di Eropa daratan. Bersama Hugo Meisl, dia mengonsepkan gaya bermain kolektif yang akhirnya jadi alasan mengapa Timnas Austria era 1930-an disebut sebagai tim ajaib (Wunderteam). Konsep bermain ala Hogan pulalah yang kemudian digunakan Hongaria untuk menaklukkan sepak bola pasca-Perang Dunia II.

Hogan adalah orang Inggris, tetapi Timnas Inggris-lah yang akhirnya jadi korban paling terkenal dari sepak bola bikinannya. Hongaria menghajar Inggris 6-3 dalam laga di Wembley tahun 1953 yang kemudian dikenal luas sebagai The Match of the Century. Usai laga, pelatih Hongaria, Gusztav Sebes berkata, "Kami memainkan sepak bola yang diajarkan oleh Jimmy Hogan."

Selain di Hongaria, pengaruh Hogan juga amat dirasakan oleh persepakbolaan Belanda. Hogan memulai karier kepelatihan di klub bernama Dodrecht sebelum menangani Timnas Belanda pada 1910. Kiprahnya memang singkat, tetapi ide Hogan diwarisi oleh Jack Reynolds yang membawa Ajax juara Belanda 8 kali.

Reynolds mulai menangani Ajax pada 1915 dan pensiun sebagai pelatih pada 1947, juga di Ajax. Dalam kurun waktu tersebut dia tidak selalu menjabat sebagai trainer Ajax. Dia pernah pula menangani Timnas Belanda, MVV Maastricht, Blauw Wit, dan AFC. Namun, Reynolds memang identik dengan Ajax karena dia menghabiskan tiga periode berbeda bersama klub Amsterdam itu (1915-1925, 1928-1940, dan 1945-1947).

Reynolds inilah yang kemudian menularkan konsep sepak bola Hogan kepada Michels. Sebagai pemain, Michels menghabiskan seluruh kariernya di Ajax dari 1946 sampai 1958. Meski cuma semusim dilatih oleh Reynolds, gaya sepak bola ala Hogan tadi betul-betul terserap dalam otak Michels. Sampai akhirnya, ketika menjadi pelatih, gaya main itu pulalah yang dia terapkan.

Foto Jimmy Hogan yang diambil tahun 1908. (Wikimedia Commons)

Dengan bantuan Cruijff, Michels menciptakan totaal voetbal. Totaal voetbal ini sendiri merupakan intepretasi ekstrem dari sepak bola kolektif Hogan. Dalam totaal voetbal, hal-ihwal khas Belanda seperti cara memanipulasi ruang turut pula dimasukkan. Dalam perkembangannya, Cruijff membawa sepak bola ini ke Barcelona dan sisanya adalah sejarah.

Sepak bola ala Guardiola sudah bisa ditemukan bahkan sejak abad ke-19. Akan tetapi, sosok yang benar-benar mengonsepkan lalu memopulerkannya adalah Hogan. Sayangnya, Hogan sendiri tidak pernah betul-betul mengecap kesuksesan selama berkarier. Bahkan, karena terlalu kerap berada di Eropa tengah, Hogan diperlakukan sebagai musuh negara saat kembali ke Inggris usai Perang Dunia II.

Terlepas dari nasib buruknya itu, pengaruh Hogan tak terbantahkan. Boleh dibilang, dia adalah mentor sepak bola pertama di dunia. Hogan adalah pelatih yang tidak sukses sebagai pelatih tetapi mampu menghasilkan sistem yang dianut oleh pelatih-pelatih hebat di kemudian hari. Saat ini, sosok seperti Hogan bisa dijumpai di bangku cadangan Old Trafford.

Harus diakui, Ralf Rangnick tidak terlalu sukses sebagai seorang pelatih. Namun, dia menciptakan sebuah sistem yang digunakan pelatih-pelatih kelas satu macam Juergen Klopp, Thomas Tuchel, dan Julian Nagelsmann. Oleh media, Rangnick dijuluki sebagai Bapak Gegenpressing.

Selain itu, Rangnick juga seorang pendidik. Barangkali, ijazah guru penjaskes yang didapatkannya di Universitas Stuttgart turut berpengaruh dalam keberhasilan mendidik banyak murid. Selain tiga nama di atas, masih ada sosok-sosok macam Ralph Hasenhuettl, Jesse Marsch, serta Markus Gisdol. Pendek kata, seperti halnya Hogan, Rangnick adalah pelatih yang lebih dari sekadar pelatih. Mereka berdua adalah guru sepak bola.

Keberadaan guru sepak bola pun sesungguhnya bisa ditemukan di banyak tempat. Di Argentina, ada sosok Marcelo Bielsa yang berpengaruh besar pada Guardiola, Mauricio Pochettino, Jorge Sampaoli, Eduardo Berizzo, serta Gerardo "Tata" Martino. Di Argentina pula, ada nama Osvaldo Zubeldia yang jejak filosofinya bisa ditemukan dalam diri Diego Pablo Simeone.

Carlos Bilardo (tengah) dan Osvaldo Zubeldia (kanan) mengangkat trofi Piala Interkontinental. (Wikimedia Commons)

Zubeldia adalah sosok yang lekat dengan cap anti-football. Dia lebih suka menegasi lawan alih-alih memerintahkan pasukannya untuk bermain proaktif. Dengan pendekatan ini, dia sempat membawa Estudiantes menjadi juara Copa Libertadores sekaligus Piala Interkontinental (cikal bakal Piala Dunia Antarklub) pada dekade 1960-an.

Apa yang dilakukan Zubeldia di Estudiantes itu tak bisa dilepaskan dari status klub tersebut dalam persepakbolaan Argentina. Estudiantes bukan klub besar seperti Boca Juniors, River Plate, atau Racing Club. Kualitas pemain mereka tak bisa disetarakan dengan klub-klub tersebut. Maka, Zubeldia pun memutar otak. Dia memanfaatkan keterbatasan timnya dan mengubah itu semua jadi sebuah keuntungan.

Pada dasawarsa 1970-an dan 1980-an, Argentina sempat merasakan alotnya diskursus sepak bola yang mewujud pada sosok Cesar Luis Menotti dan Carlos Bilardo. Menotti adalah evangelis sepak bola indah, sementara Bilardo merupakan anak didik Zubeldia yang mempersetankan segala yang disukai Menotti.

Perang ideologi Menotti vs Bilardo itu sendiri berakhir imbang. Sebab, mereka berdua sama-sama sukses mempersembahkan satu trofi Piala Dunia. Menotti membawa Argentina juara pada 1978 dengan bantuan Mario Kempes, Bilardo mengantarkan Albiceleste juara pada 1986 dengan sokongan Diego Armando Maradona. Bilardo punya kans mengungguli Menotti pada 1990 tetapi Argentina dikandaskan Jerman Barat via penalti Andreas Brehme di partai puncak.

Apa yang ditampilkan Bilardo dulu bisa disaksikan di tim asuhan Simeone sekarang. Ini bukan hal mengejutkan karena Simeone memang pernah jadi anak didik Bilardo saat memperkuat Sevilla di awal 1990-an. Bilardo sendiri, pada paruh kedua 1960-an, merupakan salah satu pemain andalan Zubeldia di Estudiantes. Lagi-lagi, everything is a copy of a copy of a copy terejawantahkan dalam sepak bola.

Bicara soal duplikasi dalam sepak bola, Rangnick yang mengajarkan gegenpressing ke banyak pelatih itu sebenarnya juga bukan pencetus pertama sepak bola menekan. Ide untuk menjauhkan bola dari gawang sendiri ini pertama kali muncul dari sosok bernama Viktor Maslov.

Mural Viktor Maslov di Moskow. (Twitter/@manuelveth)

Maslov lahir pada 1910 dan sudah melatih sejak 1942. Akan tetapi, cara tim-tim asuhan Maslov bermain sudah seperti tim-tim era modern. Dengan pakem 4-4-2, Maslov menerapkan pressing yang bertujuan menjauhkan bola dari gawang sendiri sekaligus mempersempit jarak tim asuhannya dengan gawang lawan.

Pada 1964, Maslov dipercaya menangani raksasa Ukraina, Dynamo Kyiv. Di situ, dia bertemu dengan seorang pemain sayap hebat yang tak jarang menciptakan gol-gol sensasional, seperti gol dari sepak pojok. Nama pemain itu Valeriy Lobanovskyi. Meski begitu, Maslov tak menyukai Lobanovskyi yang dianggapnya terlalu banyak gaya. Lobanovksyi pun ditendangnya ke Odessa.

Menariknya, meskipun saat menjadi pemain dianggap tidak cocok dengan sepak bola kolektif, Lobanovskyi menjelma jadi sosok pelatih yang menerapkan ide besar serupa dengan Maslov. Setelah gantung sepatu bersama Shakhtar Donetsk pada 1968, Lobanovskyi memulai karier kepelatihan bersama Dnipro.

Kesuksesan membawa Dnipro promosi ke Soviet Top League (kompetisi level teratas Uni Soviet) membawa Lobanovskyi ke kursi kepelatihan Dyamo Kyiv. Di sinilah Lobanovksyi merasakan kesuksesan besar sebagai pelatih dengan gaya main yang diadopsi dari Maslov, sosok yang mencampakkannya.

Ketika melatih Dynamo Kyiv itu, Lobanovskyi secara tidak sengaja menularkan ilmunya kepada Rangnick. Pada 1983, Rangnick bertugas sebagai player-manager di klub kota asalnya, Viktoria Backnang. Dynamo Kyiv saat itu tengah berkunjung ke Jerman untuk menjalani pertandingan antarklub Eropa.

Sebelum menjalani pertandingan resmi, Dynamo Kyiv menggelar laga pemanasan menghadapi Viktoria Backnang. Tentu saja, klub asuhan Rangnick kalah. Akan tetapi, yang membuat Rangnick tercengang adalah bagaimana Dynamo Kyiv tak sekali pun memberi kesempatan bagi tim asuhannya untuk memberi perlawanan.

"Biasanya, melawan tim yang lebih kuat kami juga kalah tetapi setidaknya kami bisa menekan sekali dua kali. Melawan Dynamo Kyiv, kami sama sekali tak diberi kesempatan," kenang Rangnick.

Valeriy Lobanovskyi, sosok yang berpengaruh pada pemahaman sepak bola Ralf Rangnick. (UEFA.com)

Berangkat dari sana, dipadukan dengan kekaguman terhadap sosok Arrigo Sacchi yang juga menerapkan sepak bola ala Maslov, Rangnick mengembangkan metodenya sendiri. Jika Sacchi menggunakan 4-4-2 flat dan Lobanovskyi menggunakan 4-1-3-2, Rangnick memilih pakem dasar 4-2-2-2 seperti yang digunakan Manchester United dalam laga kontra Crystal Palace, Minggu (5/12/2021) malam WIB.

Ah, ya, bicara soal Sacchi, berarti juga bicara soal Milan. Bicara soal Milan, berarti bicara soal Nereo Rocco. Kebesaran Milan saat ini tidak bisa dilepaskan dari kiprah gemilang mereka pada dekade 1960-an. Pada masa itu, Milan tak cuma berjaya di Italia tetapi juga Eropa. Tim sekota mereka, Internazionale, pun merasakan hal serupa.

Rocco di Milan dan Helenio Herrera di Inter menggunakan taktik yang sama, yaitu catenaccio. Karena kesuksesan Milan dan Inter pada era 1960-an, ditambah lagi dengan keberhasilan Italia menjuarai Piala Eropa 1968 di bawah asuhan Ferruccio Valcareggi, catenaccio pun jadi identik dengan persepakbolaan Italia.

Padahal, taktik ini tidak berasal dari Italia, melainkan Austria. Adalah Karl Rappan yang pertama kali memperkenalkan taktik ini pada dekade 1930-an. Di tangan Rappan, catenaccio masih disebut verrou (gerendel) dan dengan taktik itu dia memimpin Timnas Swiss di tiga Piala Dunia berbeda (1938, 1954, dan 1962).

Apa yang ditampilkan Rappan, Rocco, dan Herrera itu sebetulnya sudah kedaluwarsa sejak dekade 1970-an, terutama setelah totaal voetbal ditemukan. Itulah mengapa Italia pun melakukan modifikasi dengan menciptakan apa yang disebut zona mista. Prinsip utama catenaccio masih digunakan tetapi penjagaan tak lagi dilakukan secara man-to-man, melainkan zonal.

Dengan zona mista, Italia berhasil menjadi juara Piala Dunia 1982. Pada 2010, cara serupa diterapkan Jose Mourinho tatkala membawa Inter menjuarai Liga Champions. Sampai kini pun, gaya bermain itu yang melekat dengan sosok Mourinho meskipun sebetulnya dia juga bisa menampilkan sepak bola menyerang, khususnya saat di Real Madrid.

Jadi, semakin jelas bahwa tidak ada yang benar-benar orisinal di sepak bola saat ini. Apa yang tampak revolusioner sesungguhnya sudah pernah dipikirkan oleh orang-orang hebat dari masa lampau. Namun, untuk menularkan ilmu yang ada, dibutuhkanlah sosok-sosok football guru seperti Cruijff, Bilardo, Bielsa, Rangnick, sampai Guardiola. Kepada merekalah sepak bola punya utang budi besar.