Humbug

Foto: Instagram @HarryMaguire93.

Harry Maguire adalah produk termutakhir Sheffield setelah baja, Jarvis Cocker, dan Arctic Monkeys. Segala cemoohan untuknya semestinya diperlakukan selayaknya humbug (omong kosong) belaka.

Harry Maguire berkepala besar dan hidup di dalam dunia yang dipenuhi orang-orang bermulut besar.

Seketika Maguire mendapatkan beban berupa nilai transfer 80 juta poundsterling, orang-orang itu tak pernah berhenti membuka mulut. Rata-rata yang keluar dari mulut-mulut itu adalah ocehan pongah, cemoohan tak berkelas, dan pameran kemalasan.

Semuanya segendang sepenarian, menertawai harga yang disematkan pada Maguire. Katanya, ia tidak pantas dihargai semahal itu. Namun, siapa juga yang meminta dihargai semahal itu ketika urusan jual-beli bukan perkara yang bisa ia pegang?

Banyak urusan transfer pemain ditentukan oleh kuat-kuatan posisi tawar antara klub penjual dan pembeli. Dalam kasus Maguire, Leicester City paham bahwa Manchester United sedang butuh-butuhnya seorang bek tengah. Oleh karena itu, memasang harga mahal adalah sebuah kewajaran.

Sudut pandang lain yang acap ditawarkan belakangan ini, ketika kita membahas nilai seorang pemain adalah seberapa penting si pemain untuk klub pemiliknya. Jika ia termasuk pemain yang amat krusial, sudah wajar sebuah klub menghargai salah satu aset terpentingnya dengan harga mahal.

Orang-orang boleh beranggapan bahwa si pemain tidak pantas dihargai semahal itu. Namun, penghargaan klub terhadap si pemain jelas berbeda dengan pandangan orang-orang luar. Si pemain penting dan mahal untuk klub, bukan untuk orang-orang luar.

Tentu saja, ada faktor yang lebih lugas dan sederhana seperti bisnis; si klub menjual pemain lebih tinggi dari harga belinya demi keuntungan. Namun, tetap saja meributkan harga si pemain sebagai satu-satunya tolok ukur kualitas adalah sesuatu yang banal.

Repotnya, bagi Maguire, orang-orang sudah kadung berkubang pada opini buruk bahwa dia cuma bek medioker yang kebetulan saja dihargai mahal. Maka, manakala ia melakukan kesalahan atau tampil buruk, orang-orang itu bakal menjadikannya sebagai justifikasi atas opini mereka.

Simak apa yang dikatakan eks gelandang Tottenham Hotspur yang kini bekerja sebagai pundit, Rafael van der Vaart. Tak lama setelah Maguire tampil pas-pasan pada laga melawan AFC Bournemouth, Juli 2020, Van der Vaart mencemoohnya. “Aku pikir, Maguire pulang ke rumah dan bilang kepada istrinya: ‘Aku payah, tetapi dapat banyak uang. Sepertinya mereka yakin bahwa aku memang sebagus itu’. Aku pikir, dia mengelabui semua orang,” kata Van der Vaart.

Sebuah tulisan di The Athletic, yang ditulis oleh Daniel Taylor dan Adam Crafton, kemudian balik mengkritik Van der Vaart. Mereka bilang, hanya dengan sedikit riset Van der Vaart semestinya tahu bahwa Maguire belum menikah. 

Tulisan yang sama juga menyebut bahwa sulit untuk membayangkan Maguire berlagak sesesengak itu karena ia tumbuh dalam lingkungan keluarga old-fashioned yang tak akan mau menepuk dada ketika mendapatkan pencapaian medioker dalam pekerjaan.

Yang bikin rumit, ucapan-ucapan setengah matang seperti yang dilontarkan Van der Vaart kadung dijadikan alat patok kebenaran. Ia teramplifikasi ke segala penjuru, membuat opini bahwa Maguire adalah pemain payah yang saban bermain pasti akan melakukan kesalahan melulu. Betul bahwa Maguire pernah membuat satu atau dua blunder, tetapi bukan berarti ia selalu tampil jelek tiap kali turun ke lapangan.

Memukul semua hal menjadi sama rata tanpa mempertimbangkan beragam faktor—dan biasanya emoh juga untuk membuka mata—adalah sebuah bentuk kemalasan. Padahal, menyaksikan Maguire bermain tanpa mendengarkan opini-opini buruk yang acap dijatuhkan padanya terbilang menyenangkan. Kamu bisa melihat sederet kontribusi positif yang biasa ia buat untuk timnya.

Maguire lahir di Sheffield, sebuah kota di selatan Yorkshire yang pada masa lalu terkenal sebagai kota penghasil baja. Ia bukan kota yang mewah, tetapi orang-orangnya paham bagaimana caranya berpikir dan bekerja keras. Dari situ, Sheffield mengemuka. Maguire adalah produk termutakhir Sheffield setelah baja, Jarvis Cocker, dan Arctic Monkeys.

Sedari kecil, Maguire tidak terbiasa minder. Ayahnya, yang merupakan mantan pemain sepak bola amatir, terbiasa menanamkan sifat kompetitif terhadap anak-anaknya, termasuk Maguire. Oleh karena itu, tidak mengherankan Maguire bisa menembus dan menaiki tingkat hingga akhirnya bisa menjadi pemain kelas Premier League.

Dari Sheffield United, ia pindah ke Hull City. Dari Hull, ia mematenkan diri di Leicester City. Di tiap-tiap klub, baik dari Sheffield hingga Hull, bertebaran cerita bagaimana Maguire, perlahan tapi pasti, menanamkan pengaruh di dalam ruang ganti. Di Hull, dia terbiasa berbicara dengan analis tim untuk mengecek performanya dari satu pertandingan ke pertandingan lain dan menambah porsi latihannya. Di Leicester pun juga tidak jauh berbeda.

Ron Reid, mantan manajer tim akademi Sheffield United ketika Maguire masih menimba ilmu di sana, hanya bisa tersenyum melihat bek bertinggi 194 cm itu sekarang. Kendati begitu, Reid sama sekali tidak heran. Baginya, Maguire dan Kyle Walker—produk akademi Sheffield United lainnya—memang ditakdirkan menjadi pemain kelas satu.

Reid menyebut, Maguire adalah pemain yang tidak suka basa-basi, terlepas dari siapa pun lawannya. Ia kemudian mengambil contoh duelnya dengan Thomas Mueller pada pertandingan melawan Jerman.

“Aku pikir, dia tampil bagus dan solid. Dia pernah tampil lebih baik daripada itu, tetapi ketika menghadapi lawan yang lebih berat seperti lini serang lawan yang dihadapi Inggris malam itu, dia layak untuk puas,” kata Reid.

“Pertarungannya dengan Mueller pada awal-awal pertandingan amat luar biasa. Aku sering melihat Harry melakukannya selama bertahun-tahun, mempertahankan teritorinya dengan baik,” lanjutnya.

Maguire memang punya arketipe unik. Tubuhnya tinggi-besar dan ia tidak cukup memiliki kecepatan. Dengan atribut seperti itu, ia lebih cocok memainkan peran sebagai seorang no-nonsense center-back alias bek tengah yang tidak banyak basa-basi. Tugasnya hanyalah mempertahankan area dan menghalau semua serangan yang datang.

Kendati begitu, Maguire punya kemampuan lain. Ia bisa melepaskan operan akurat dan cukup nyaman menguasai bola. Oleh karena itu, kita sering melihatnya menggiring bola sendirian atau melepaskan umpan direct ke lini tengah (atau bahkan langsung ke lini depan). Dengan kemampuan ini, Maguire sering digunakan untuk mendobrak lini (breaking the lines).

Sepanjang perhelatan Premier League 2020/21, ia tidak hanya menghasilkan rata-rata 1,8 intersep dan 0,9 tekel sukses per laga, tetapi juga membuat 0,2 umpan kunci per laga, jumlah yang terbilang lumayan untuk ukuran bek tengah. Rata-rata, Maguire membuat 65,5 operan per laga.

Permainan Maguire yang cenderung direct cocok dengan skema Inggris. Dia bisa digunakan untuk menjaga sirkulasi bola di lini tengah atau memberikan operan langsung kepada para gelandang atau siapa pun full-back yang beroperasi di sisi kirinya.

Heatmap Harry Maguire di Euro 2020. Sumber: Sofascore.

Heatmap Maguire sepanjang turnamen Piala Eropa 2020 menunjukkan bahwa ia cukup rajin untuk naik hingga ke tengah lapangan atau bahkan melebihinya meski tidak sampai mendekati sepertiga akhir lapangan. Senjatanya yang lain adalah kemampuannya menyambut bola dari situasi bola mati.

Mengingat Inggris cukup rajin memanfaatkan set piece, Maguire pun tidak cuma menjadi andalan di lini belakang, tetapi juga bisa dijadikan senjata di lini depan.

Kalau sudah begini, segala opini buruk seputar dirinya, semestinya bisa sedikit ditepikan. Kritik sudah semestinya disajikan sewajarnya manakala dia memang tampil buruk. Namun, kalau melihat Maguire sepanjang musim 2020/21, ketika ia lebih sering tampil kokoh ketimbang tampil jelek, opini-opini itu sudah selayaknya diperlakukan selayaknya humbug (omong kosong atau bualan) belaka.