Sang Pembeda

Foto: @LFC.

Kita mengenal Divock Origi sebagai super-sub atau penyerang dadakan Liverpool. Dari situ ia berhasil memberikan impak positif dan menuliskan namanya di buku sejarah sebagai legenda Liverpool.

Izinkan saya memulai tulisan ini dengan bercerita soal Shaun Livingston.

Di era emas Golden State Warriors sekitar medio 2014-2019, kita mengenal tim itu dihuni oleh banyak pemain bintang. Stephen Curry, Klay Thompson, Draymond Green, sampai Kevin Durant semuanya kaliber All-Star. Ada juga nama macam Andrea Iguodala yang dikenal punya pengaruh besar.

Namun, kita juga tak bisa mengenyahkan peran Livingston dari tim ini. Oke, ia memang cuma pemain cadangan. Livingston didatangkan karena Warriors butuh seorang pemain dengan ball-handling bagus saat Curry sedang duduk di pinggir lapangan. Untungnya lagi, Livingston juga multifungsi. Ia bisa bermain di seluruh posisi guard.

Akan tetapi, seiring berjalannya waktu, peran Livingston justru makin krusial. Ia muncul jadi bagian penting di era emas Warriors. Livingston mampu memberikan perbedaan: Saat aksi defensif lawan lebih fokus untuk menghalau para pemain Warriors melepas tembakan tiga angka, Livingston akan muncul lewat lay-up atau tembakan mid-range andalannya.

Saat Warriors butuh pencetak skor tambahan di partai pertama Final Wilayah Barat NBA 2015, Livingston muncul dengan 18 poin. Di laga itu persentase field goals suksesnya mencapai 75%. Enam dari delapan tembakannya masuk. Kontribusi Livingston itu pada akhirnya jadi awal mula keberhasilan Warriors meraih gelar juara.

Jika satu laga itu belum cukup, kita bisa melihat aksi Livingston di laga-laga Final Wilayah Barat NBA 2018. Lawannya sama, Houston Rockets. Pada partai keempat, misalnya, dunk Livingston membuat Warriors mengunci kemenangan (secara agregat) ketiga Warriors. Di partai sebelumnya bahkan ada momen di mana Livingston berhasil membuat James Harden linglung. Membuat Warriors menang.

Livingston ada di sana, berperan besar, ketika Warriors tiga kali meraih juara dan lima kali masuk Final NBA selama era kesuksesan mereka itu. Ia muncul dari pemain dengan salah satu cedera terparah di NBA--pemain yang dianggap akan pensiun dini--menjadi salah satu sixth-man paling berpengaruh di NBA dalam satu windu terakhir.

Dan dari Livingston pula kita bisa melihat bahwa di era emas sebuah klub, kita acap menemukan seorang pemain cadangan dengan peran besar dan penting. Bahwa kendati secara kemampuan dan kebintangan kalah pamor dibanding pemain lain, pemain ini acap memberikan kontribusi besar ketika diturunkan. Jadi pembeda.

Di Liverpool, kita tahu ada sosok Divock Origi yang seperti ini.

***

4 Desember lalu, Liverpool hampir pulang hanya dengan satu poin dari Molineux Stadium, kandang Wolves. Liverpool kesulitan membongkar pertahanan rapat dan berlapis dari Wolves. Selama 90+2 menit, papan skor masih menunjukkan angka 0 untuk kedua tim. Belum ada gol yang tercipta, laga hampir habis.

Namun, semua berubah di menit 90+3. Virgil van Dijk awalnya melepas umpan lambung diagonal yang dengan ciamik sampai di kaki Mohamed Salah. Dari situ, Salah kemudian bergerak masuk ke dalam kotak penalti dan, ketika akan tiba di ujung lapangan, ia melepas umpan silang. Umpan silang itu mendarat sempurna di kaki Origi. Ia langsung menceploskan bola di kakinya ke gawang Wolves. Gol.

Liverpool pulang dengan tiga poin dan, lagi-lagi, Origi muncul sebagai pembeda. Ini sudah kesekian kalinya Origi masuk ke lapangan dan kemudian mencetak gol untuk memberi impak positif buat Liverpool. Entah itu menyelamatkan Liverpool dari kekalahan, mengunci kemenangan, atau jadi penentu tiga poin seperti di laga vs Wolves ini.

Sepanjang kariernya bersama Liverpool, Origi hanya mencetak 27 gol dari 138 penampilan di Premier League atau kompetisi antarklub Eropa (Liga Champions dan Liga Europa). Namun, boleh dibilang kebanyakan gol yang ia cetak adalah gol penting. Gol yang berimpak besar (dan positif, tentu) buat The Reds.

Fans Liverpool pasti ingat gol penyelamat ke gawang West Brom di menit 96 pada musim penuh pertama Origi. Atau gol penentu kemenangan ke gawang Everton pada musim 2018/19 setelah pemain berpaspor Belgia mampu memanfaatkan blunder Jordan Pickford. Ada juga gol penentu ke gawang Newcastle di musim yang sama untuk membuat Liverpool terus berada di jalur perburuan juara.

Seluruh penikmat sepak bola rasanya juga tak akan lupa dengan dua gol Origi ke gawang Barcelona di semifinal Liga Champions 2018/19. Dua gol yang membuat Liverpool comeback, menang 4-0 di leg kedua, setelah keok 0-3 pada leg pertama yang berlangsung di Camp Nou. "Corner taken quickly, Divock Origi," bahkan masih menggema di telinga (dan selalu tertanam di kepala saya) sampai saat ini.

Kita juga mengingat bahwa gelar Liga Champions keenam Liverpool di musim yang sama itu dikunci oleh gol dari Origi. Ia masuk sebagai pengganti pada laga vs Tottenham Hotspur itu dan mencetak gol di menit 87. Gol itu membuat skor 2-0 dan Tottenham, yang sebenarnya menggila di babak kedua, tak punya asa lagi untuk membalikkan keadaan.

Jika mau ditarik ke belakang, Origi sebenarnya direkrut pada 2014 untuk jadi penyerang masa depan Liverpool. Musim 2015/16 jadi musim percobaannya. Pada musim itu, ia berhasil mencetak 10 gol dalam 33 pertandingan di seluruh kompetisi. Awal yang baik. Sayangnya, cedera engkel kemudian membuat semuanya berubah.

Origi absen lama dan, ketika kembali, ia tak bisa menunjukkan performa segemilang di musim 2015/16. Memang pada musim 2016/17 itu Origi bisa mencetak 11 gol dari 43 penampilan di seluruh kompetisi, tapi Klopp masih belum percaya padanya. Mantan pemain Lille ini justru dipinjamkan ke Wolfsburg pada musim 2017/18.

Setelahnya, seiring dengan matangnya trio Salah, Roberto Firmino, dan Sadio Mane, Origi lebih banyak menghabiskan waktu di bangku cadangan. Ia lebih sering turun gelanggang sebagai pemain pengganti. Dan dari situlah kita mengenal Origi sebagai sang pembeda, sebagai super-sub (atau penyerang dadakan) Liverpool.

Bahkan, sebelum dimasukan pada menit 68 di laga vs Wolves itu, Juergen Klopp memberi pesan sederhana kepadanya: "Be Divock. Try and contribute and in the end help the team." Klopp tahu, bahwa di momen-momen alot seperti itulah ia membutuhkan sosok Origi. Klopp membutuhkan gol magis yang biasanya datang dari pemain berusia 26 tahun itu.

Kebetulan, statistik juga mencatat bahwa Origi memang acap mencetak gol di momen-momen tak terduga. Artinya, meski angka harapan peluang (xG)-nya kecil, Origi tetap mampu membobol gawang lawan. Tak peduli sekecil apa pun kualitas peluang itu, Origi selalu siap untuk bikin perbedaan.

Di musim ini, misalnya, dua gol yang sejauh ini ia ciptakan di Premier League berasal dari xG yang hanya 0,7. Pada musim 2018/19, saat mencetak empat gol di liga, Origi cuma mencatatkan xG sebesar 2,2. Bagi Origi, selalu ada kesempatan untuk cetak gol di tengah kualitas peluang yang begitu kecil.

***

Seorang pesepak bola bisa menjadi legenda dengan berbagai cara: Mencetak banyak gol, memenangi banyak trofi, setia di sebuah klub, tampil dominan di turnamen bergengsi, sampai dengan cara sering muncul sebagai pembeda--memberikan perubahan signifikan, terutama soal hasil, di sebuah laga.

Divock Origi masuk kategori terakhir dan, iya, dia seorang legenda. Juergen Klopp pun mengakuinya. "Divock Origi, Liverpool legend. I love it!" Begitu ujar Klopp setelah laga vs Wolves. Kendati sang manajer punya niat untuk menjualnya pada musim panas lalu--dan batal karena tak ada klub yang mau--Klopp dan Liverpool memang harus mengakui bahwa Origi adalah legenda klub mereka.

The Reds kudu berani mengakui, meski di musim panas tahun depan Origi kemungkinan besar pergi. Pengakuan sebagaimana yang dilakukan Warriors untuk menghormati peran besar Livingston--meski di akhir karier kontrak Livingston tidak diperpanjang Warriors.